Selasa, 03 Februari 2009

Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang sudah umum dewasa ini.

Klasifikasi :
Prahipertensi, sistole <139>170 mmHg, diastole >110 mmHg

Meningkatnya stressor dalam kehidupan sekarang ini menyebabkan sejumlah orang mengalami hipertensi. Adanya kecenderungan genetik, kegemukan dan asupan garam yang tinggi, semuanya merupakan faktor resiko untuk hipertensi. Jantung memompa ke arteri dengan tekanan. Besar kecil tekanan tergantung sistem arteri. Ukuran pembuluh darah ikut menentukan daya resistensi. Semakin kecil ukurannya, semakin tinggi resistensi dan semakin besar daya yang dibutuhkan untuk mendorong memompa darah ke seluruh tubuh.
Otot dinding arteri dikendalikan oleh sisten saraf simpatetik. Adanya tekanan akan merangsang dilepaskannya hormon Katekolamin yaitu noradrenalin dan adrenalin, yang menyebabkan pembuluh darah berkontraksi dan tekanan darah meningkat.
Meningkatnya tekanan darah merupakan salah satu penyebab utama terjadinya penebalan dinding arteri karena arterisklerosis. dan peningkatan kadar diastole lebih besar. semakin tinggi tekanan darah semakin cepat perkembangan penyakit, dan semakin besar kerusakan pada arteri. Hipertensi jarang menimbulkan gejala. Memeriksakan tekanan darah secara teratur merupakan suatu keharusan. Sekitar 10% kasus hipertensi disebabkan oleh gangguan ginjal dan hormon. Sisanya, 90% tidak ditemukan adanya penyebab fisik. Tipe ini disebut hipertensi esensial. Banyak dokter meyakini bahwa kepribadian dan stres merupakan faktor penting dalam hipertensi esensial. Kepribadian tipe A adalah salah satu tipe kepribadian yang memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena hipertensi dan penyakit jantung.

Merokok dan Penyakit Jantung

Tidak diragukan lagi bahwa merokok merupakan salah satu penyebab utama kematian dini dan penyakit jantung. Selama bertahun-tahun industri rokok telah menggunakan berbagai macam metode untuk menyembunyikan informasi ini dari konsumen. Parahnya lagi, mereka mendorong generasi muda untuk mulai merokok.
Semakin besar jumlah rokok yang diisap, semakin besar pula resiko terkena penyakit jantung koroner. Para perokok memiliki resiko sekitar 3-9 kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner dibanding yang bukan perokok. Bahkan asap rokok yang dihirup bisa membuat anggota keluarga dan anak-anak terkena stroke, kanker, asma, dan kelainan pembekuan darah. Asap rokok mengandung tar penyebab kanker dan karbon monoksida (CO) yang berbahaya.
CO akan berikatan dengan haemoglobin (Hb) dan mengambil tempat oksigen dalam darah. Asap rokok juga dapat merusak dinding arteri dan mempercepat penimbunan kolesterol pada dinding arteri. Nikotin dalam rokok jika dihirup akan menyebabkan keluarnya hormon Katekolamin dan meningkatkan tekanan darah dengan cepat, memicu aritmia, dan pada beberapa kasus dapat berakibat fatal.
Sekalipun merokok hanya sekali sehari, tetap dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung. Dan bagi yang telah memiliki penyakit jantung, tetap merokok merupakan tindakan bunuh diri.

Cerpen Kids 2

NURI DAN BURUNG GEREJA


Pagi-pagi benar, burung gereja telah pergi, keluar dari sarangnya. Ia terbang membelah langit dan hinggap di puncak tiang listrik bersama sederatan burung gereja lainnya. Kala fajar menyingsing, saat yang tepat baginya. Butir-butir beras yang berserakan adalah sasarannya. Ia pun terbang menukik dan mendarat di atas tanah yang becek oleh guyuran hujan. Semalaman hujan terus turun tak kunjung henti. Namun, pagi ini cuaca tampaknya cukup cerah.
Baginya mencari makan di pagi hari sudah menjadi rutinitasnya. Kadang ia berpikir sandainya ia secantik Merpati, Cendrawasih, Beo dan burung-burung lainnya, pasti akan ada manusia yang mau merawatnya. Andai ada manusia yang memeliharanya, ia tak perlu repot mencari makanan dalam pagi yang dingin seperti ini. Ia akan punya sangkar yang hangat dan nyaman. Namun hal-hal seperti itu rasanya tak mungkin terjadi pada seekor burung gereja.
Ia pun mematuk biji demi biji beras. Beberapa burung gereja lainnya tampak tengah mengikuti tindakannya. Salah satu burung gereja bercuit riang dan yang lain pun menyahut. Ia berhenti mematuk ketika didengarnya suara nyanyian panjang yang memecah keheningan. Nyanyian seekor burung yang terdengar lebih menyerupai sebuah ratapan penuh kesedihan
Ia pun terbang menembus udara beku dan kabut pekat. Cahaya mentari masih begitu redup, hangatnya tak seberapa. Tetes-tetes embun pun bergayut di tiap pucuk dedaunan yang hijau segar. Si burung gereja mencoba mencari asal suara ratapan itu. Dan Ia pun berhenti di depan sebuah rumah besar layaknya istana.
Ia menelengkan kepalanya, memandang berkeliling. Dan matanya yang bulat coklat menangkap bayangan seekor Nuri cantik berwarna kuning dengan semburat hijau di sayapnya. Burung Nuri itu terus mengeluarkan nyanyian sendunya seakan tidak menyadari kehadiran si burung gereja.
“Kelihatannya kau sedang bersedih,” kata burung gereja tiba-tiba, membuat Nuri itu menghentikan nyanyiannya.
“Kau? Bagaimana bisa kau ke sini?” tanya Nuri keheranan. Ia tampak begitu cantik dalam sangkar emas yang besar, sementara itu burung gereja terus memperhatikan sangkar yang berkilauan tertimpa cahaya matahari
Andai saja aku punya tempat tinggal seindah ini dan bukannya sarang dari jerami kering. Pikir burung gereja iri.
“Hei, kau belum jawab pertanyaanku,” seru Nuri dengan suara melengking tinggi, “Kenapa kau ada di sini?”
“Aku mendengar nyanyianmu,” ucap burung gereja akhirnya, “Nyanyianmu terdengar begitu sedih, jadi aku kemari.”
Wajah nuri seketika itu kembali muram dan ia menggelelng, “Yah kau benar.”
“Memangnya apa yang membuatmu murung seperti itu?”
“Aku ingin pergi dari sini.”
Burung gereja terkejut mendengar ucapan Nuri, “Kenapa? Bukankah seharusnya kau bahagia menjadi hewan peliharaan. Tak perlu kedinginan. Makanan selalu tersedia kapanpun kau mau.”
Nuri langsung melotot marah, “Tapi di sini aku tak punya teman. Aku sangat kesepian—”
“Begitu?”
“Hei, apa kau belum mengerti juga,” kata Nuri bertambah kesal, “Hal terpenting bagi makhluk Tuhan adalah kebebasan. Itu yang tidak aku miliki, kau mesti bersyukur bisa pergi kemana pun kau suka, melihat pemandangan-pemandangann indah dan punya banyak teman. Sementara aku, terus terkurung dalam sangkar ini.”
Burung gereja hanya terdiam. Kata-kata Nuri begitu menyentuh hatinya. Ia tak pernah mengira hidup sebagai hewan peliharaan akan seperti itu.
Nuri benar, Tuhan menciptakan setiap makhluknya baik dalam wujud yang cantik ataupun buruk pasti ada maksudnya. Seperti halnya Nuri yang cantik tapi tidak bahagia karena terus terkurung dalam sangkar emasnya.
Walaupun burung gareja tidak secantik burung-burung lainnya, tapi ia memiliki kebebasann dan itu adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya. Dan setiap makhluk Tuhan seharusnya bersyukur atas setiap yang dimilikinya.


Karya Sri Sugiarti
atty_131186@yahoo.com

Cerpen 6

PRETTY OR UGLY


Masa Orientasi Siswa akhirnya usai sudah. Satu minggu yang teramat berat. Pergantian dari fase SMP ke SMA. Menyisakan duka? Tentu! Berpisah dengan teman se-geng dan mesti beradaptasi di lingkungan baru yang tak seorang pun bisa menjamin akan lebih menyenangkan daripada masa SMP dulu. Sungguh masa-masa sulit yang harus dilalui Zia. Dan gadis itu menghela nafas dengan berat.
Hari pertama tahun ajaran baru diawali dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Zia menempatkan dirinya di pojok kelas. Sendiri! Rasanya ia sungguh tak tahan harus mendengar bisik-bisik mencemooh dan tatapan jijik dari sekelilingnya. Lima menit yang lalu …
Zia mengayunkan langkah kakunya dan menghampiri satu demi satu kursi yang masih kosong, “Permisi, gue boleh duduk di situ?” tanyanya sembari bersikap seramah mungkin. Namun bukan jawaban yang ia peroleh, seorang cewek jangkung langsung bergidik ngeri seperti baru saja melihat hantu.
Hati Zia semakin kecut. Ia pun beranjak menghampiri tempat duduk yang lain dan melayangkan pertanyaan yang sama. Kali ini seorang cowok pura-pura muntah di hadapannya.
“Udah lo duduk sono aja, jauh-jauh dari kita. Bau tau,” teriak cewek lain yang berambut kribo.
Zia hanya bisa menggigit bibirnya yang bergetar. Matanya telah memanas dan ia berusaha keras agar kristal bening itu tak menyeruak. Ia sudah memperkirakan hal ini sebelumnya. Tapi ia tak pernah menyangka, kenyataannya jauh lebih menyakitkan dari apa yang dibayangkannya. Hingga akhirnya ia jadi penghuni sudut kelas. Di sinilah ia sekarang! Meratapi nasib!
Bel masuk memekik sejadi-jadinya, menandakan pelajaran harus segera dimulai. Bu Endang, guru Bahasa Indonesia seakan memaksakan setiap siswanya untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Alasannya ‘tak kenal maka tak sayang’. Klise banget!
Tibalah pada giliran Zia. Sudah dapat dipastikan, puluhan pasang mata tak bisa lepas dari sosok gadis itu. Dan hanya ada satu kesamaan, mereka seperti sedang menatap makhluk luar angkasa atau monster yang sedang dijadikan bahan eksperimen. Bahkan Bu Endang sampai meneguk ludah dan berkeringat dingin. Bukankah seharusnya Zia yang merasa panas dingin?
Zia berjalan semakin tertunduk dalam. Ia meremas ujung jemarinya yang membeku. Rasa gugup telah menyumbat tenggorokannya sampai ia sangat sulit untuk bernafas.
“Pe—perkenalkan nama saya—Prettyzia Azmaningtyas—” Zia tergagap. Tak sekali pun ia berani menegakkan kepalanya. Belum juga ia selesai berkata, sebuah celetukan tajam menggema di ruangan itu.
“Nama sih pretty, tampang ugly,” seru cowok yang tadi menghina Zia dengan berpura-pura muntah. Dan …
GEERRRR!
Tawa seisi kelas pun meledak yang kemudian disusul ejekan yang lain.
“Heran deh gue, kok ada ya manusia jelek kayak lo.”
“Pantesnya sih lo di kebun binatang atau di museum purba, bukan di sekolah elit kayak gini. Lo ngaca dulu dong.”
“Lo sadar nggak sih kalo muka lo tuh—SEREEEMM!”
Mereka pun semakin terpingkal-pingkal. Kelas yang tenang kini riuh oleh siswa yang tak henti-hentinya mengomentari betapa mengerikannya Zia. Tangis Zia pun tak terbendung lagi dan ia berdiri terpaku dengan air mata yang telah berurai.
“Maaf Bu, saya permisi,” kata Zia minta diri. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Endang yang masih tampak shock, gadis itu segera berhambur keluar. Dan sorak sorai ber’huuu’ ria mengiringi kepergiannya.
Di toilet sekolah ia masih terisak. Cermin yang super bersih itu memantulkan bayangan yang membuatnya semakin terbenam dalam tangisan panjang, “Seandainya mereka tahu apa yang menimpa gue,” ratapnya menyesali diri. Ia meraba wajahnya yang terlihat begitu hancur dan menjijikan hingga ia tak sanggup untuk tidak menjerit keras-keras.
BRAAKK!
Pintu toilet terbuka seketika menyebabkan Zia terlonjak kaget, “Gue denger teriakan. Lo nggak papa?” tanya seorang cowok yang masuk dengan nafas terengah-engah.
Zia berbalik dan cowok itu langsung berjengit, mengerutkan hidung. Reaksi yang sangat wajar bagi siapa saja yang melihat Zia. Tapi tetap saja semua itu membuat Zia sakit hati.
“Lo nggak papa?” tanya cowok itu lagi, berusaha bersikap sebiasa mungkin.
Zia mengangguk dan mengusap pipinya yang sekarang tak lebih dari gumpalan daging lengket dan kasar.
“Oya, gue Irfan. Sorry, harusnya gue nggak masuk toilet cewek. Tadi pas kebetulan lewat, gue denger lo teriak, jadi gue kira—” Irfan angkat bahu, merasa tak enak hati.
“Thanks,” Zia memaksakan sebuah senyum. Setidaknya ia bersyukur masih ada manusia yang tidak lari ataupun menghinanya begitu melihat wajahnya yang demikian rusak.
“Gue belum tau nama lo.”
“OH!” Zia tersentak, tak terpikirkan sedikit pun cowok itu berkenan mengenal dirinya. Sungguh keajaiban! Kedengarannya hiperbol memang, tapi begitulah adanya, “Gue—Prettyzia, tapi panggil aja gue Zia.”
“Sweet name,” puji Irfan.
Zia mendesah sedih seraya berkata, “Tapi nggak semanis tampang gue.”
“Lo jangan pesimis gitu dong,” ujar Irfan mencoba menyemangati, “Asal lo tau, ibarat buah mengkudu, dari luar kelihatan jelek. Baunya juga bikin orang eneg. Tapi ternyata khasiatnya, jangan ditanya. Lo ngerti kan maksud gue?” lanjutnya melankolis.
Zia hanya bisa memandang cowok di depannya dengan berkaca-kaca, “Ya, gue paham maksud lo,” ucapnya terharu.
“Intinya gue mau ngomong, sekurang apapun fisik lo, lo mesti terima dengan lapang dada. Gue yakin, di balik sosok Zia pasti ada mutiara yang bersinar. Itu yang harus lo tunjukin, sisi baik lo dan segala kelebihan lo. Sekarang saatnya lo tutup mata dan telinga. Nggak usah peduliin orang mau bilang apa. Dengerin aja kata hati lo. So don’t give up. Ok?!”
Zia mengiyakan dengan hati trenyuh. Sebelumnya tak pernah ada cowok yang memujinya. Tak pernah ada yang melihat keindahan dalam dirinya. Orang-orang itu selalu saja memandangnya dengan sebelah mata. Namun sekarang saatnya bangkit dari segala keterpurukan. Zia sungguh bahagia sampai butir hangat itu tak tertahankan dan terus mengalir indah bagai sungai-sungai di surga.
***
Zia menghembuskan nafas tertahan. Itu adalah email dari Kak Sam untuk kakak kembarnya, Prettania Azmaningtyas atau kerap dipanggil Nia. Bukan hanya sekali, tangannya selalu gemetar tiap menggerakkan mouse untuk membuka internet. Rasa sesal dan pedih itu menyusup di dadanya. Harusnya ia tak berhak membaca pesan itu, namun bagaimanapun juga Kak Nia takkan bisa lagi menerima email dari Kak Sam.
Dear Nia,
Apa kabar? Gue terus-terusan mikirin lo. Kalo keadaan gue sih baik. Email gue yang lalu kok nggak dibalas sih? Lo nggak pernah hubungi gue dan nomer Hp lo juga nggak aktif lagi. Lo nggak kangen ya sama gue (Hehe bercanda).
Nia, nggak tau kenapa, akhir-akhir ini perasaan gue nggak enak banget. Gue jadi pengin balik ke Indonesia, tapi mungkin liburan nanti. Lo mesti nunggu gue ya …
Kemarin gue ke East Coast bareng temen. Indah banget! Gue jadi inget Ancolnya Jakarta, tempat kita biasa ngedate dulu. Bedanya di sini lautnya jauh lebih bersih. Di East Coast juga ada kebunnya lho, banyak pohon-pohon gede and rindang abis kayak di Kebun Raya. Gue jadi ngerasa seperti berada di dua tempat yang berbeda. Sebenarnya gue pengin banget suatu saat nanti ngajak lo ke sini. Kalo bisa sih lo juga sekolah di Singapore bareng gue. Tapi semuanya terserah lo aja. Udah dulu ya, gue tunggu kabar dari lo. Love you so much.
Zia merebahkan diri dengan mata terpejam. Dadanya kian sesak mengingat hari naas itu. Yah, tepat sebulan yang lalu. Hidupnya yang semula nyaris sempurna, lebur bersama jilatan lidah api raksasa yang melahap seluruh kebahagiaannya.
Malam itu, yang Zia ingat adalah kepulan asap pekat yang membangunkan tidurnya. Ia terbatuk, tak bisa bernafas. Udara menjadi sangat panas diiringi jeritan-jeritan ketakutan memecahkan keheningan. Dalam kepanikan luar biasa, keluarganya berusaha menyelamatkan diri. Namun Zia masih terjebak. Si jago merah menyala di pintu kamarnya dan Zia menggedor-gedor jendela yang berterali itu, meminta pertolongan. Ia menangis, seakan bisa melihat maut yang sudah di depan matanya. Kak Nia yang sudah berada di luar rumah bersama orang tuanya, kembali masuk. Semua itu demi Zia. Demi menyelamatkan adiknya.
Kebakaran itu telah merampas istana, harta benda, kecantikan dan kepopulerannya. Tapi lebih dari segalanya, takdir merenggut Kak Nia dari sisi Zia. Zia semakin terisak. Luka bakar di wajahnya amat nyeri. Namun bekas dan rasa sakit di hatinya karena kepergian Kak Nia takkan pernah pudar oleh waktu sekalipun, “Kak Nia, gue harus gimana? Gue nggak sanggup bilang ke Kak Sam kalo Kak Nia udah meninggal. Kenapa Kak, kenapa semua ini mesti terjadi?” ratapnya pilu. Ia memeluk lututnya dan sepanjang sore itu ia lewati dengan tangisan.
***
“Jadi lo belum ngomong ke Kak Sam soal kakak kembar lo itu?” tanya Irfan prihatin setelah Zia menyelesaikan ceritanya.
Gadis itu hanya menggeleng lemah, “Gue nggak tega. Kak Sam itu cinta banget sama Kak Nia. Sampe sekarang aja gue masih sulit terima kenyataan kalo Kak Nia udah nggak ada,” gumamnya.
Irfan duduk termangu di taman berumput sebelah Zia, membiarkan dirinya terpapar hangatnya sinar mentari pagi, “Boleh gue minta nomer Hp Kak Sam?”
“Untuk apa?” Zia mendongak kaget.
“Just believe me,” kata Irfan berusaha meyakinkan. Cukup lama Zia terheran-heran dan berpikir, tapi akhirnya dia menyerah juga. Semenit kemudian hubungan telepon pun tersambung ke Singapore.
“Halo, Samuel ya?” tanya Irfan mengawali pembicaraan dan cowok itu langsung menekan tombol loud speaker agar Zia juga bisa ikut mendengarkan.
“Irfan, lo mau ngapain?” desis Zia panik. Dan Irfan cuma menoleh ke arah Zia yang duduk dengan gelisah.
‘Iya, ini siapa?’ terdengar sahutan dari seberang telepon.
“Gue Irfan di Jakarta. Gue tau nomer lo dari Nia.”
‘Nia? Maksud lo, Nia cewek gue?’
“Bener banget, tapi kayaknya ada yang harus diralat nih,” Irfan berpaling dengan sebelah alis terangkat. Dilihatnya Zia yang ternganga cemas, “Mungkin dulu Nia cewek lo, tapi sekarang dia cewek gue,” lanjutnya tajam.
Zia langsung tersedak mendengarnya, “Fan,” pintanya setengah memelas, berharap Irfan segera mengakhiri pembicaraan itu. Tapi rupanya Irfan tak peduli.
‘Maksud lo?’ tanya Kak Sam tak mengerti.
“Gue sayang Nia dan gue udah jadian kira-kira sebulan yang lalu.”
‘Nggak mungkin, gue nggak percaya. Gue tau, di situ pasti ada Nia. Gue pengin ngomong sama dia.’
Irfan mengedikkan kepala dan menyerahkan ponselnya pada Zia. Zia masih belum tersadar dari keterkejutannya tapi gadis itu seolah tahu apa yang harus dilakukan.
“Sam—maafin gue,” kata Zia dengan suara bergetar.
‘Nia, gue yakin lo nggak mungkin selingkuh kan?’
“Gue—gue udah duain lo.”
‘Please don’t lie to me,’ Kak Sam mengiba sampai Zia merintih perih.
“Sam, gue nggak cinta lagi sama lo. Apa lo pikir gue mau pacaran long distance terus? Gue capek, Sam,” pekik Zia berusaha menahan tangis tapi air matanya jatuh juga. Ia bisa membayangkan Kak Sam yang begitu terluka. Tapi akan jauh lebih menyakitkan kalau Kak Sam tahu soal kematian Kak Nia.
‘Tapi Nia—’
“Lo mesti lupain gue. Ngerti!” Zia menukas dingin walaupun benaknya bagai tercabik. Semakin ia mendengarkan Kak Sam bicara, ia semakin menderita. Keberadaan Kak Sam hanya akan membuatnya teringat pada Kak Nia. Sakit!
Usai percakapan itu, tanpa sadar Zia menangis di bahu Irfan lama sekali, “Udah Zi,” bisik Irfan membelai lembut rambut Zia, “Maaf gue nggak bermaksud bohongin Kak Sam. Gue cuma nunda aja, sampe lo siap ngomong yang sebenarnya. Lo dan Kak Sam wajib terima kenyataan ini. Sepahit apapun. Meski kesannya kejam, tapi itulah hidup.”
“Gue tau,” Zia menengadah dengan pipi yang telah basah dan ia tersenyum, “Thanks ya lo udah bantuin gue.”
“Tapi dari semua yang gue omongin ke Kak Sam, ada satu hal yang gue nggak bohong,” ucap Irfan lirih. Zia mengerutkan kening, bingung. Dan cowok itu mencoba menghindar dari tatapan Zia, “Gue sayang lo, Zi.”
Zia tercengang, tak sanggup berkata-kata. Tak pernah seorang pun menyatakan cinta padanya, apalagi dengan kondisinya yang sekarang buruk rupa. Hati Zia perlahan meleleh bersama air mata bahagia.


Karya Sri Sugiarti
atty_131186@yahoo.com

Cerpen Kids 1

AYAHKU TUKANG BECAK


Rena berjalan tergopoh-gopoh melintasi halaman sekolah. Matahari siang itu begitu terik. Ia menenteng tas bututnya dan menerobos kerumunan siswa yang tengah asyik berbincang-bincang. Bel pulang telah berdering sejak 15 menit yang lalu. Dan Rena ingin segera pulang. Sore itu ia harus belajar kelompok di rumah Dina yang ada di pusat kota. Jadi ia tak boleh membuang waktu lagi. Ia berpikir mungkin ada baiknya jika ia menunggu bus di perempatan jalan. Dengan begitu, ia akan bisa lebih cepat sampai di rumah. Namun sebuah seruan membuatnya menoleh.
“Rena!” laki-laki tua itu melambai, lengkap dengan kaosnya yang compang-camping dan becak tuanya yang sangat usang.
Rena ternganga dan semakin mengayunkan langkah lebarnya, “Pak, ngapain ada di sini?” tandasnya dengan muka bersemu merah karena malu. Ia celingukan ke sana kemari, berharap tak bertemu salah seorang dari sahabatnya. Bersekolah di SD negeri favorit itu dengan bea siswa saja sudah cukup mebuatnya minder. Apalagi kalau teman-temannya tahu ayahnya tak lebih dari tukang becak keliling.
“Katanya kamu hari ini mesti pulang cepat. Jadi Bapak jemput kamu,” wajah Bapak yang hitam terbakar sinar matahari kini tampak berkeringat dan kelelahan. Kerutan-kerutan tergores tegas di dahinya, menandakan usianya yang kian lanjut, “Ayo kita pulang.”
Rena naik ke becak reyot itu dengan menggerutu. Kadang ia berpikir, hidup sungguh tidak adil. Kenapa ia harus terus-terusan miskin. Untuk membeli pakaian saja orang tuanya tak sanggup. Seragamnya juga bekas pakai kakaknya dan sekarang sudah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Kenapa ia tak bisa seperti teman-temannya, mendapatkan apa saja yang ia mau?
Sore itu udara cukup panas dan suasana hati Rena masih belum pulih juga sejak kejadian tadi siang. Belajar kelompok di rumah Dina pun rasanya jadi tidak menyenangkan lagi.
“Ren, tadi siang siapa yang jemput kamu? Itu ayah kamu ya?” tanya Dina tiba-tiba, menyebabkan Rena tersentak kaget. Dari mana Dina tahu?
Gadis kecil itu langsung gelagapan. Kini rahasianya telah terbongkar. Dan ia takut teman-teman akan menjauhinya karena ia miskin, “Itu—” gumamnya terbata-bata. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Kalau tukang becak itu benar ayah kamu, nggak papa kok. Nggak usah malu,” sahut Silvi ikut menanggapi.
“Iya, harusnya kamu bersyukur, Ren, punya ayah sebaik itu. Kan jarang-jarang ada ayah yang perhatian banget sama anaknya sampai bela-belain jemput ke sekolah,” timpal Nanda yang tengah mengerjakan soal terakhir PR Matematikanya, “Contohnya aku. Papaku terlalu sibuk dan nggak pernah peduliin aku. Lagi-lagi ke luar negeri dan kita ketemu cuma sebulan sekali.”
Dina mengangguk setuju, “Bener tuh. Orang tuaku bercerai 5 tahun yang lalu dan aku nggak pernah lagi ketemu Papa.”
“Dan aku nggak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah,” Silvi mendesah sedih, “Katanya ayahku meninggal sejak aku masih bayi.”
Mendadak suasana hening dan jadi tidak mengenakkan. Rena terdiam dan tertunduk semakin dalam. Ucapan teman-temannya mengenai tepat di hatinya. Rupanya selama ini ia telah berprasangka buruk. Seharusnya ia tak perlu malu kalau ayahnya hanya seorang tukang becak. Yang penting itu kan pekerjaan yang halal. Dan ketakutannya sangat tidak beralasan. Buktinya teman-temannya masih mau menerima dia walaupun dia miskin. Dina, Silvi dan Nanda memang anak orang kaya tapi mereka tidak punya ayah sebaik Bapak. Dan untuk pertama kalinya Rena merasa jadi orang paling beruntung sedunia. Ia masih memiliki orang tua yang lengkap. Dan setiap hari ia selalu mendapat kasih sayang dari keluarga yang utuh.
Dalam hati Rena berjanji. Mulai saat ini ia tidak akan malu lagi punya ayah tukang becak. Justru ia sangat bangga dengan pekerjaan Bapak.

Karya Sri Sugiarti

Cerbung Golden Village "part 4"

Liburan semester itu Mona memutuskan untuk menerima ajakan Florence mengunjungi tantenya di luar kota. Setidaknya itu bisa jadi cara jitu untuk menenangkan diri dan mengurangi segala kepenatan.
“Gue nggak tau kalo lo ternyata punya kakak laki-laki,” ujar Mona memecah kebisuan. Kaget juga saat Florence tadi menjemputnya bersama cowok cakep banget yang diperkenalkan sebagai Charles, “Gue kira kakak lo tuh ya Kak Diva.”
Florence yang sedang baca majalah senyum-senyum sendiri, “MB,” celetuknya jahil.
“MB? Apaan tuh?”
“Emang bener,” sahut Florence cekikikan dan sebagai balasannya sebuah jitakan kecil mengenai ubun-ubun cewek itu, “Kakak gue ya cuma Kak Diva. Kalo Kak Charles sih kakak sepupu. Kebetulan dia lagi main so Mom langsung nyuruh dia buat nganterin kita ke stasiun.”
“Oh,” Mona manggut-manggut, “Tau nggak, dari dulu gue pingin banget punya kakak.”
“Lho kok?” Florence menengok dan menatap sahabatnya—heran, “Bukannya lebih enak jadi anak tunggal?”
“Iya sih. Gue jadi nggak berebut apapun sama orang lain kayak adik kakak pada umumnya,” renung Mona membasahi bibir, mengingat kesehariannya, “Tapi gue lebih sering kesepian. Bokap sibuk kerja di kantor dan nyokap asyik banget sama butiknya. Coba kalo tiap hari lo ke rumah gue.”
“Your wish,” Florence terkekeh dan kembali memusatkan perhatiannya pada majalah remaja itu.
Mona terdiam. Ia menyandarkan kepalanya dalam sebuah helaan nafas. Pandangannya beralih keluar jendela. Langit tampak jingga. Hatinya miris melihat bola api merah yang perlahan bergerak mendekati garis cakrawala. Cahaya keemasan masih berpendar indah di atas kemilau laut biru yang bergelombang. Senja!
Mona memejamkan mata. Senja di pantai! Entah kenapa rasanya semua itu tak asing lagi baginya. Dan bayangan itu melintas di otaknya.
Ia tengah duduk di bibir pantai ketika cowok itu menghampirinya. Sesekali angin berdesing atau sekedar mengacak-acak rambut panjangnya. Sementara camar nan jauh di sana memekik dan terus berteriak nyaring bersama kawanannya.
“Sebelumnya gue nggak pernah lihat sunset,” kata Mona. Suara debur ombak yang memecah pantai membuatnya demikian rileks. Bahkan ia bisa mencium bau air laut yang asin, “Indah banget ya,” dan ia pun menoleh ke arah cowok itu.
“Gue juga nggak bakal lupa saat-saat ini,” cowok itu terus memandang ke arah lautan, “Mon, boleh nggak gue minta satu hal?”
“Apa?”
Cowok itu berpaling dan menelengkan kepalanya hingga kesenduannya mampu menembus mata Mona yang kelam, “Jangan pernah tinggalin gue, please,” ucapnya lirih, “Gue sayang lo, Mon.”
Mona trenyuh. Untuk pertama kali ia merasakan hatinya bergetar begitu kerasnya, “Tapi kita kan baru 13 tahun. Mana boleh kita pacaran.”
“You are my first love,” ujar cowok itu dalam, “Mungkin lo bisa bohongin gue tapi lo nggak akan bisa bohongin diri lo sendiri. Lo juga sayang gue kan, Mon?”
Mona membisu.
“Mon?”
“Yes, I do,” gumam Mona dengan suara parau.
“Berarti hari ini kita jadian.”
Mona tersentak dan bangkit dari duduknya dengan terengah-engah.
“Mon, ada apa?” seru Florence terkejut.
“Gue—” sengal Mona menyeka keringat dingin di pelipisnya “Cowok itu—pantai—”
“Udah, lo duduk aja dulu,” Florence berbisik di telinganya, “Malu diliatin orang.”
Masih dengan dada kembang kempis Mona memandang berkeliling dan ia baru sadar puluhan pasang mata di gerbong itu terarah padanya, penuh rasa ingin tahu.
“Duduk sini,” bimbing Florence menuju kursi mereka sedangkan Mona masih terlihat limbung seperti orang yang terhipnotis, “Sebenernya ada apa sih, Mon?” tanya Florence ketika keadaan sahabatnya sudah mulai tenang.
“Gue inget siapa cowok itu,” ucap Mona datar. Tatapannya kosong seolah dia berada di dunia lain, “Dia pacar gue. Cinta pertama gue.”
Florence terperangah. Selama beberapa detik ia tak sanggup bicara, “Pacar lo?” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Mona mengangguk yakin, “Di pantai, kita liat sunset bareng. Dia bilang dia sayang gue dan gue juga punya perasaan yang sama. Kita jadian. Waktu itu kita baru tiga belas tahun—” dan ia tertegun menyadari sesuatu, “Tiga belas tahun?”
“Ada apa?” dahi Florence semakin berkerut.
“Sekarang umur gue 18 tahun dan kecelakaan itu terjadi lima tahun yang lalu. Lo paham kan maksud gue? Itu artinya semua ini nyata. Dan cowok itu bukan khayalan gue.”
“Dengan kata lain ingatan lo bener pulih,” komentar Florence mulai paham, “Terus siapa nama cowok lo itu?”
“Namanya—siapa ya namanya?” Mona pun mendesah kecewa, “Itu dia—gue juga belum tau.”
“Udah nggak papa,” Florence menepuk-nepuk punggung Mona, berusaha menyemangati, “May be next time. Tapi yang jelas, lo udah mengalami suatu kemajuan yang besar. Suatu hari pasti ada yang bisa lo inget lagi.”
“Ya,” sahut Mona suram.
Kereta terus melaju dan laut itu masih berkilauan. Warnanya yang semula biru kini oranye seiring matahari yang terbenam. Cahayanya meredup dalam bias ungu lembayung, meninggalkan kesan yang amat dramatis. Senja di pantai itu!
***
Mona dan Florence turun di stasiun tujuan kala hari telah benar-benar gelap. Arloji mereka menunjukan pukul 21.00 dan biasanya jam segini Mona sudah mulai mengantuk.
“Habis ini kita kemana lagi nih, Flo?” tanya Mona membenarkan letak ranselnya yang super berat.
“Ya nunggu,” sahut Florence berhenti saat terjebak antrian kecil untuk bisa keluar dari gerbong itu, “Tante Linda janji mau jemput kita di sini. Yang penting lo jangan jauh-jauh dari gue. Lo kan nggak tau daerah ini. Bisa-bisa lo nyasar. Gue nggak tanggung jawab lho.”
“Lagian ngapain juga gue pisah dari lo,” cibir Mona manyun, “Kan lo yang ngajak gue ke sini. Jadi lo bosnya,” dan ia tertawa geli melihat Florence repot menyeret kopernya yang sedikit kebesaran untuk ukuran seorang Florence yang mungil.
Mereka menyusuri peron yang panjang dan hitam. Di sisi mereka tampak berjejer kios yang tak henti-hentinya menawarkan barang dagangan. Dan Florence mendudukan dirinya di sebuah kursi kayu panjang yang jadul banget, “Capek juga ya.”
Sebagai jawabannya Mona hanya mengangguk. Stasiun itu cukup lengang dengan penerangan lampu-lampu boghlam yang tak lebih dari 60 Watt. Agak remang memang, tapi setidaknya cukup memadai.
“Tante Linda itu adik Dad. Gue lebih deket sama dia daripada adik Mom yang di Paris itu. Mungkin karena jarang ketemu. Tante Linda nikah sama Om Billy setahun yang lalu dan beli satu hektar tambak di sini—” Florence masih bercerita soal usaha wiraswasta milik tantenya. Namun Mona tidak lagi mendengarkan karena perhatiannya kini terpusat pada sosok cowok tinggi putih yang berjalan cepat menuju tanda exit. Entah kenapa rasanya Mona pernah melihat laki-laki itu sebelumnya.
“Mon, lo dengerin gue nggak sih?” tandas Florence kesal.
Mona sama sekali tidak menyahut. Ia bangkit dan bergegas lari menyusul sosok yang baru saja dilihatnya. Cowok itu! Cowok yang sama dalam mimpinya.
“MONA, LO MAU KEMANA?” Florence memekik kaget. Ia menggeram dan mengejar sobatnya sebelum kehilangan jejak, “Nih anak cari perkara aja. Udah dibilangin jangan jauh-jauh dari gue malah pergi seenaknya sendiri nggak jelas gitu,” makinya ngos-ngosan.
Mona terus mengayunkan langkah lebarnya sampai di pintu keluar. Sepi! Ia memandang berkeliling, sangat berharap matanya menangkap bayangan cowok itu sekalipun. Namun sia-sia. Dan ia tersentak ketika sesuatu menyambar tangannya keras-keras.
“Lo apa-apaan sih, Mon?” teriak Florence mencengkram pergelangan tangan Mona.
“Gue—tadi gue liat dia di sini—” gagap Mona dengan tersengal.
“Dia siapa?” tuntut Florence tak sedikitpun menutupi kemarahannya.
“Cowok itu!”
“Cowok di mimpi lo?” hardik Florence pedas. Menurutnya Mona sekarang sudah sangat keterlaluan. Kekonyolan ini sudah tidak lucu lagi.
“Iya.”
Florence mengernyit dengan tatapan prihatin, “Mon, gue jadi takut. Kayaknya tadi lo cuma berhalusinasi deh.”
“Nggak! Gue yakin banget. Cowok itu tadi ada di sini,” seru Mona keras kepala dan kabut hangat itu mulai menghalangi pandangannya, “Cowok itu tinggi, baby face banget dan dia pakai kameja merah.”
“Sori, gue nggak liat ada cowok kayak yang lo deskripsiin itu,” tukas Florence menggeleng lemah. “Tapi gue nggak bohong, Flo,” jerit Mona berurai air mata, “Gue nggak bohong!”
“Gue ngerti ini berat banget buat lo,” desah Florence merangkul sahabatnya, “Mungkin aja ingatan lo mulai pulih. Tapi gue rasa lo udah terobsesi keinginan lo untuk cari tau masa lalu lo yang hilang itu.”
Mona menghapus air matanya, “Maksud lo, apa yang tadi gue liat cuma imajinasi gue?” sahutnya terisak.
Florence mengiyakan dalam anggukan kecil, “Lo mesti percaya takdir, Mon. Kalo lo emang berjodoh sama tuh cowok, kalian pasti ketemu lagi.”
Sejenak Mona lega mendengar penjelasan itu. Selalu saja Florence yang bisa memahami perasaannya. Seandainya Papa dan Mama bisa sebijak Florence dan tidak menyembunyikan kenyataan ini, tentu Mona tidak akan demikian resah. Tapi Mona sadar kalau jodoh takkan lari kemana. Dan ia berdoa agar dipertemukan dengan cowok itu.
Bersambung ...

Cerbung Golden Village "part 3"

Detik terus merambah di jam mungil itu, pelan tapi pasti. Langit semakin kelam dan Mona bisa mendengar samar-samar gemuruhnya hujan di luar sana. Ia termenung di meja belajar dengan Golden Village yang besarnya tak lebih dari kepalan tangannya.
“Jadi namaku Mona ya, Ma?” tanya gadis itu pada Sang nyokap di minggu pertama setelah ia sadar dari komanya.
“Iya, Sayang.”
“Ma, cerita dong kenapa aku bisa sampai kecelakaan begini,” tuntut Mona lagi.
Dan wanita paruh baya itu langsung berkaca-kaca, “Mama juga nggak tau.”
“Aku pingin cepet sembuh, terus sekolah lagi deh. Tapi aku sekolah dimana ya? Kok aku nggak inget apa-apa,” kata Mona muram, “Kenapa temen-temenku nggak ada yang jenguk aku?”
“Sayang, tolong jangan tanya lagi. Mama nggak sanggup jawabnya,” ratap Mama lalu isak tangisnya pun pecah.
Mona akan terdiam. Ia tak ingin melihat Mama bersedih lagi. Ia selalu menerima penjelasan apapun dari orang tuanya. Ia tak berani membantah, apalagi meragukannya. Namun sekarang, sesuatu seakan mengusik benaknya. Ia tahu ada yang salah.
Mona menghembuskan nafas panjang dan cukup lama memandangi bola kaca itu, ‘—gue harap Golden Village ini bisa buat lo inget terus sama gue,’ begitulah yang dikatakan cowok itu dalam mimpinya.
“Masalahnya gue amnesia,” erang Mona memijit keningnya dengan frustasi, “Lo siapa sih? Apa bener kalo lo tuh bagian dari masa lalu gue?”
Hening! Yang terdengar hanya suara guntur yang menggelegar. Mona menimang Golden Villagenya, “Seperti apa kata Flo, I have to find out the truth,” gumamnya penuh tekad. Seketika kilat menyambar, menerangi kamarnya yang gelap gulita.
Bersambung ...

Cerbung Golden Village "part 2"

Siang itu sudah bisa dipastikan kantin Mang Diun penuh sesak. Cowok-cewek rela mengantri, berjubel ria demi mendapatkan soto Mang Diun yang terkenal lezatnya. Bahkan mereka tak keberatan walau harus makan sambil berdiri karena tak kebagian tempat duduk. Beruntung Mona datang lebih awal di saat kantin itu belum ramai benar.
“Golden Village?” Florence mengernyit usai Mona menjelaskan kisahnya. Dan teman sebangku Mona itu otomatis menguncir rambut ikalnya yang kecoklatan begitu pesanan mereka tiba.
Mona mengiyakan dan mengeluarkan bola kacanya dari sebuah mini bag, “Sebenarnya lima tahun yang lalu gue amnesia. Kata nyokap, gue kecelakaan dan pas gue bangun, gue udah ada di ruang ICU salah satu RS swasta di Jakarta. Masalahnya, keluarga gue nggak pernah cerita apa-apa soal masa lalu gue. Kayaknya emang ada sesuatu yang mereka sembunyiin. Tapi apa?”
Florence mengambil alih Golden Village dari tangan sobatnya. Dan mata biru cewek blesteran Indo-Prancis itu meneliti dengan seksama ke dalam benda yang sama sekali tak terlihat janggal itu, “Gue ngerti kenapa ini dinamai Golden Village,” ujarnya menggoyang-goyangkan bola kaca Mona sampai glitter emas di dalamnya malayang indah berkilauan di antara miniature desa, lengkap dengan bukit kecil dan sungainya.
“Ya,” gumam Mona merenung, “Bola kaca itu udah bertengger di kamar gue sejak gue pulang dari rumah sakit. Gue juga nggak inget apa-apa. Gue pikir itu cuma penghias ruangan biasa. Tapi sejak mimpi gue semalem, gue jadi ngerasa Golden Village pasti punya arti tertentu dalam hidup gue meski gue nggak tahu apa.”
“Apa lo yakin?” tanya Florence mengembalikan milik Mona, “Mungkin aja itu cuma mimpi. Kan lo tau kalo mimpi itu kembangnya orang tidur,” ucapnya seraya menyuapkan sesendok soto ayam ke mulutnya.
“Flo, gue nggak pernah seyakin ini,” Mona berkeras. Ia seakan telah melupakan makanan kesukaannya yang sudah sejak tadi bersanding di depannya, “Jangan-jangan ingatan gue mulai pulih nih,” serunya antusias.
Florence langsung tersedak hingga cairan itu tersembur kemana-mana. Seruan-seruan seperti, ‘Jorok banget sih lo’, ‘Jijey booo’ dan yang semacam itu tak dihiraukannya.
“Bisa jadi tuh,” Florence menenggak es jeruknya dalam satu tegukan dan terbatuk beberapa kali sebelum kembali bicara, “Tapi menurut gue sih mendingan lo nggak usah ngomong dulu sama keluarga lo kalo lo udah mulai inget lagi.”
“Maksud lo?” tanya Mona keheranan, “Bukannya itu kabar bagus. So kenapa gue nggak boleh bilang ke bonyok gue?”
Florence menangkupkan jemarinya di atas meja, “Denger ya Mon, keluarga lo nggak cerita soal masa lalu lo karena mereka nggak mau lo tau soal itu. Ngerti?”
Mona tercenung. Perkataan Florence seperti sebuah pukulan keras yang menghantam alam bawah sadarnya dengan telak—nyeri, “Of course,” pekiknya terkejut menyadari kenyataan itu, “Apa mungkin cowok itu benar-benar ada? Cowok di mimpi gue.”
“Seandainya iya, mungkin keluarga lo nggak mau lo deket sama tuh cowok.”
“Apa mereka sengaja mau jauhin gue sama dia ya?” tebak Mona ternganga tak percaya. Kenapa kebenaran selalu saja menyakitkan?
Florence cuma angkat bahu, “Let’s find out.”
Mona terpekur, sibuk dengan berbagai pikiran yang memenuhi kepalanya.
Bersambung ...

Cerbung Golden Village "part 1"

“Gue kasih ini buat lo,” cowok ABG itu menyerahkan benda bulat dari kaca yang kini tampak bersinar keemasan.
Mona hanya bisa menatapnya bingung. Rambut panjangnya yang lurus melayang lembut dalam hempasan angin, “Apaan nih?”
“Golden Village.”
“Golden Village?” Mona tertawa pelan dan menerima pemberian itu.
Anak laki-laki itu mengangguk mantap, “Bola kaca itu gue namai Golden Village,” sahutnya berbinar-binar. Ia pun meraih tangan mungil Mona dan mendaratkan sebuah kecupan di atasnya, “Just for you my Princess. It’s shinning like your smile. Gue harap Golden Village ini bisa buat lo inget terus sama gue.”
Mona terpaku. Diam! Hatinya keruh.
Mendadak sekelilingnya tampak gelap. Awan hitam berarak cepat ke arahnya diselingi angin kencang yang berdesir. Tapi kali ini lebih dingin. Dan beku! Dedaunan rontok begitu hebatnya dan rumput hijau di sekelilingnya mulai berlapiskan es. Mona masih terpana dengan tubuh kaku sementara laki-laki itu melangkah mundur, kian menjauhinya. Mona ingin berteriak memanggil namun mulutnya terkunci rapat. Lidahnya teramat kelu dan yang terdengar hanya sebuah rintihan pelan.
“Oh, God!” gadis itu terjaga, bermandikan keringat. Nafasnya menderu dan selama beberapa saat ia mematung. Duduk dengan memeluk lututnya yang gemetar di kamarnya yang gelap. Tampak pilar cahaya mentari yang menembus celah korden, “Cuma mimpi!” gumamnya berusaha meyakinkan diri. Meskipun begitu, kegundahannya belum sirna juga.
Sekian kali ia memimpikan hal yang sama, cowok yang sama. Di lain kesempatan cowok itu hanya tampak sekelebat, atau sekedar tersenyum padanya dan melambaikan tangan. Tapi kian hari apa yang dilihatnya semakin jelas. Mona pun jadi ragu, apa benar itu cuma sekedar mimpi. Dan yang jadi pertanyaan, siapa cowok yang selalu hadir dalam mimpinya itu?
Mona mendesah dan bergegas bangkit. Dengan satu gerakan ia menggeliat, menyibakkan selimutnya yang kini basah. Langkah kecilnya membawa Mona menyibakkan tirai satin bergaya Spanyol itu. Cahaya yang menyilaukan segera menyambutnya, bagai puluhan jarum yang menusuk kelopak matanya. Nyeri! Sejenak ia mencoba menyesuaikan diri dan menghirup sejuknya udara pagi. Namun ketika ia membalikkan badan, matanya tertuju pada sesuatu yang bersinar di atas meja riasnya.
“Golden Village,” serunya nyaris berteriak dan dengan tergopoh-gopoh ia menyambar bola kaca itu.
Bersambung ...

Cerpen 5

PESAN BIRU


Seminggu yang lalu aku masih memiliki perasaan yang sama. Cinta yang sama! Namanya Dewa. Dia tak lain adalah cinta pertamaku sejak aku duduk di bangku SMP. Dia datang saat aku mulai mengenal apa itu rindu. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga brokenhome membuatku semakin berempati dan menyayanginya. Begitu banyak kenangan antara aku dan dia. Kenangan yang tak bisa kulupakan sedikit pun bahkan saat tiba-tiba dia pergi meninggalkanku tanpa sebab, tanpa alasan.
Berhari-hari aku menangis dan bertanya apa salahku hingga dia pergi begitu saja. Bertahun-tahun aku menunggunya, berharap dia kembali. Berharap memiliki cintanya lagi. Namun semua itu sia-sia. Kami nyaris tak pernah bertemu dan dia tak pernah mau mengucapkan sepatah kata pun padaku. Dia selalu membuang muka dan mengernyit jijik layaknya aku seonggok sampah. Hingga kami laksana sepasang insan yang tak pernah mengenal sebelumnya.
Lalu seseorang hadir di kehidupanku dalam pertemuan yang tak kuduga. Arzi! Cowok yang dengan begitu sabar mengobati sayapku yang patah. Meskipun aku sadar luka itu takkan pernah bisa sembuh dan akan terus membekas sampai kapanpun. Tapi Arzi sepertinya tak peduli. Ia tak pernah mau berhenti bersabar demi aku. Arzi yang selalu memberiku sejuta tawa di setiap tangisku.
“Kamu bener-bener suka Dewa ya?” tanyanya suatu ketika dengan sorot mata yang jauh lebih sendu dari biasanya.
Aku hanya bisa mengangguk sedih setiap ingat masa lalu itu, “Dan aku juga udah janji nggak akan jatuh cinta lagi.”
Arzi hanya diam dan aku merasa semakin sakit melihat cinta yang tersirat di wajahnya. Aku tak mau Arzi kecewa dan hancur seperti aku. Namun aku tak bisa memberinya lebih dari sekedar kasih sayang sebagai sahabat.
“Ehm—aku ke sini cuma mau berpamitan,” Arzi tertunduk, berusaha menyembunyikan kesedihannya dalam bayang-bayang senja.
Aku terperangah, nggak ngerti apa maksud omongannya. Tapi mendengar kata ‘berpamitan’, hatiku langsung tak enak. Pastilah bukan sesuatu yang menyenangkan.
“Aku diterima di UGM,” lanjut Arzi tak berani menatapku sedikit pun.
Aku langsung merasa sangat miris. Apa yang kutakutkan pun terjadi, “Artinya kita akan berpisah?” tanyaku dengan suara bergetar. Aku tahu aku tak sepandai Arzi dan aku hanya bisa kuliah di perguruan tinggi di kota kecilku. Bukannya di PTN bergengsi seperti Arzi. Satu hal yang tak sanggup ku mengerti. Aku telah kehilangan Dewa dan sekarang aku harus kehilangan sahabat yang begitu menyayangiku.
“Kita nggak benar-benar berpisah ya kan?” Arzi menoleh dan memaksakan sebuah senyuman yang rasanya amat menyakitkan, “Maksudku kita masih bisa saling menelepon atau kirim sms. Dan aku akan sering mengunjungimu.”
Aku mengiyakan seraya menghapus air mata yang mulai jatuh, “Aku nggak mau kamu ninggalin aku kayak si Dewa yang pengecut itu,” isakku memohon.
“Aku janji,” kata Arzi sungguh-sungguh kemudian ia menatapku dengan penuh arti dan itu membuatku bertambah sedih, “Apa sih yang lebih penting dari persahabatan kita?”
Aku semakin meratap mendengarnya bicara seperti itu. Arzi lebih mengutamakan persahabatannya dibanding perasaannya sendiri. Aku tahu semua itu pasti sangat melukainya. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa. Bukankah cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Cinta tak bisa dipaksakan dan cintaku hanya untuk Dewa.
Arzi pun menepati janjinya. Hari-hariku diisi sms dan telepon dari dia. Kami saling bertukar kabar, mensupport satu sama lain karena ternyata kuliah tidak semudah yang kubayangkan kala SMA dulu. Dan setiap bulan Arzi pasti mengunjungiku. Dia selalu ada di saat aku butuh. Bahkan saat aku sekarat karena divonis menderita Infark Miokard. Untuk pertama kalinya aku melihat Arzi menangis. Arzi menangis untukku!
Puluhan kali aku masuk rumah sakit sampai aku nyaris di DO oleh kampusku karena terlalu sering absen. Tapi aku tak pernah mau patah semangat karena ada Arzi di sisiku. Arzi yang begitu mendukungku dan menerimaku apa adanya meski kondisi fisikku kian menurun drastis. Kasih sayang dan perhatiannya tak pernah berkurang sama sekali. Dia tahu sekarang aku lemah dan dia berusaha mewujudkan mimpiku untuk menjadi seorang penulis. Namun aku merasa begitu bersalah tak bisa membalas semua kebaikannya. Yang bisa kuberikan hanya kekecewaan dan kesusahan saja.
Beberapa bulan terakhir kesehatanku mulai membaik tapi hidupku justru memburuk. Arzi tiba-tiba berubah dan seakan menghindariku. Smsku jarang ada yang dibalas dan telepon dariku hampir tak pernah diangkat. Semua itu dengan alasan klise yang tak lain adalah kesibukan. Tapi kenapa dia juga tega berbohong padaku? Kenapa dia pulang ke kota ini tapi tak datang mengunjungiku?
“Walaupun sekarang aku lebih sering di Jogja tapi aku tetap mencintai kota kecil ini,” katanya waktu itu dengan mata berbinar-binar, “Tanah kelahiranku! Meski kota ini sunyi kayak pemakaman, tapi menurutku justru sangat romantis. Terlebih karena ada kamu.”
Untuk pertama kalinya aku sungguh merindukan Arzi. Arzi yang begitu lembut dan benar-benar mengerti aku. Tapi sekarang semua itu seakan lenyap begitu saja. Arzi telah begitu jauh dariku. Kami seperti dipisahkan sebuah benteng yang luar biasa tinggi. Terlalu tinggi untuk bisa kudaki. Dan dalam kegundahanku Dewa kembali muncul.
“Aku minta maaf—”
“Sudah aku maafkan kok,” potongku dengan perasaan getir. Hatiku kini sangat sakit. Luka lama itu kembali terkuak, jauh lebih perih dari sebelumnya. Seperti ada yang menabur garam dan cuka di atasnya dalam waktu yang bersamaan.
“Oh ya aku dengar kamu sakit ya?” tanya Dewa dengan canggung. Waktu telah mengubah segalanya dan pertemuan itu terasa aneh dan janggal.
Aku cuma bisa tersenyum pahit, “Aku nggak papa,” gumamku datar tanpa ekspresi. Rasanya benar-benar beku seperti ada angin musim dingin yang mendadak bertiup di hatiku.
“Aku dengar sakitmu parah,” ujar Dewa seakan tak mendengarkan perkataanku tadi.
Aku langsung berpaling marah, “Memang apa pedulimu?” tukasku sinis. Kesedihan yang lalu kembali menggelegak dalam benakku hingga menyumbat tenggorokanku dan aku sulit untuk bernafas.
“Tentu saja aku peduli. Aku sayang kamu, Vin,” erang Dewa berusaha pasang tampang memelas.
“Sayang?” hardikku pedas. Rasanya aku ingin menjerit dan menangis saat itu juga, “Kalau kamu sayang, lalu kenapa kamu dulu ninggalin aku? Bertahun-tahun aku nunggu kamu. Kemana aja kamu? Kamu menghilang tanpa kabar. Dan sekarang kamu datang di saat yang nggak aku harapkan. Kamu pikir aku masih cinta sama kamu?”
Dewa tercengang dan nyaris tak bisa berkata-kata. Yang tertinggal antara aku dan dia hanya kebisuan yang menyedihkan, “Pasti karena ada laki-laki lain ya kan?” tandasnya penuh kebencian, membuatku semakin muak.
“Ya,” jawabku lantang. Entah kenapa aku seperti baru menyadari kalau Arzi begitu berarti dalam hidupku. Namun Arzi telah melangkah terlalu jauh untuk bisa kugapai dan aku menyesal. Aku telah kehilangan dia, “Kamu nggak akan ngerti. Aku sayang Arzi karena dia terlalu sayang padaku.”
“Oh jadi namanya Arzi?” cibir Dewa penuh hinaan.
Aku menatapnya tajam, “Memangnya kamu kira kamu lebih baik dari dia? Nggak!” balasku dengan arus kemarahan yang seketika menyengatku, “Setidaknya dia bukan pecundang kayak kamu.”
Muka Dewa berubah menjadi keunguan. Kekesalan tergores jelas dan ia berkata dengan mata berapi-api, “Akan kubuktikan kalau Arzi lah yang pecundang,” tantangnya geram.
“APA KAMU NGGAK NGERTI JUGA,” pekikku habis kesabaran dan tinjuku telah terkepal. Aku memang lemah tapi aku masih punya sedikit kekuatan untuk mengusir cowok brengsek itu, “Arzi suka aku sejak aku masih jadi si itik buruk rupa. Dia menerima aku apa adanya. Nggak kayak kamu yang datang saat aku berhasil menggapai mimpiku. Dan apa kamu pikir aku mau dikasihani hanya karena aku sakit parah?”
Dewa ternganga dan ia tampak begitu pasi, “Vin, aku nggak bermaksud—”
“Cukup!” bentakku tak mau mendengar apa-apa lagi. Bagiku semua ini sudah sangat membuatku pedih. Aku nggak mau terluka lagi seperti dulu, “Setelah semua yang dilakukan Arzi, aku nggak akan pernah tega ninggalin dia. Arzi terlalu baik untuk disakiti. Aku harap kamu memahami hal ini dan tolong jangan temui aku lagi.”
***
Denting jam menunjukan angka 10. Malam telah larut dan kian sunyi. Angin seakan tak bertiup, tak ada bisikan dedaunan yang bergesekan. Yang terdengar hanya suara detak jantung dan deru nafasku perlahan. Di luar langit luar biasa bersih penuh kerlip bintang dan cahaya sabit yang perak pucat berpendar indah menembus jendela kamarku. Kubaringkan diriku yang penat di kasur. Rasanya nyaman sekali dan pikiranku mendadak melayang ke sosok Arzi. Tanpa terasa sudah lama sekali kami tak pernah bertemu. Dan rasa rindu itu mendadak begitu menyesakkan dada.
Cinta sungguh sangat sulit untuk dimengerti sama halnya dengan tamu yang datang tak diundang. Tapi aku tahu aku takkan pernah bisa lari dari cinta karena pada dasarnya manusia hidup juga atas dasar cinta. Arzi! Tanpa sadar sesuatu yang hangat meleleh dari sudut mataku dan aku merintih dalam tidurku ketika…
PRAAANG!
Aku terduduk tegak dan termangu di kegelapan. Sinar rembulan yang remang membuatku bisa melihat sebuah botol parfum yang telah pecah dengan cairan bening yang berserakan di lantai. Bau jasmine yang lembut seketika memenuhi ruangan. Tapi bagaimana bisa parfum itu jatuh sendiri dari meja riasku? Itu adalah parfum langka dan favoritku, juga kesukaan Arzi.
“Kamu pakai parfum apa?” tanya Arzi kala aku dan dia berboncengan dengan Ninjanya.
“Kenapa? Emang baunya nggak enak ya?” aku balik tanya dengan sedikit manyun dan tawa Arzi yang khas langsung pecah.
“Nggak kok. Aku suka. Wanginya lembut banget. Cocok dipakai kamu.”
Aku menghembuskan nafas dengan berat mengingat semua itu. Entah kenapa mendadak rasa cemas luar biasa menggerogoti hatiku. Suara firasat buruk mendera dan mencambukku begitu hebat hingga aku takkan bisa terlelap sebelum memastikan Arzi baik-baik saja. Dalam hitungan detik aku pun menyambar Nokia 6600ku dan melayangkan sebuah pesan singkat.
Zi, aku tadi lagi mikirin seseorang, tapi kok tiba-tiba parfum kesayanganku pecah gitu aja. Ada apa ya? Perasaanku jadi nggak enak gini. Kata orang kalau ada parfum pecah, baik dalam mimpi atau dalam kehidupan nyata, itu pertanda buruk dan feelingku biasanya bener.
Emangnya pas itu kamu lagi mikirin siapa? Keluarga atau siapa?
Aku mendesah. Rasanya sulit sekali aku harus menjawab pertanyaan itu. Aku harus bilang apa? Bukankah orang yang sedang aku pikirkan adalah Arzi sendiri. Dengan jari yang kaku dan gemetar aku pun membalas sms itu.
Ya pokoknya seseorang. An important person in my heart. Aku takut dia kenapa-napa.
Lebih baik kamu berdoa aja. Ok?!
Aku nggak tahu harus bicara apa lagi. Arzi benar, bisa saja aku yang salah. Mungkin kecemasanku tak beralasan. Ketakutanku terlalu berlebihan. Aku takut kehilangan Arzi, kehilangan cintaku. Aku tak mau hancur lagi seperti dulu. Pengalaman telah mengajariku segalanya dan aku berharap tak jatuh di lubang yang sama. Tapi sekarang memang tak ada yang bisa kulakukan. Setidaknya Arzi menanggapi sms dariku dan itu artinya dia dalam keadaan baik.
Aku kembali berbaring dan mencoba memejamkan mata. Namun aku tak hentinya mengkhawatirkan Arzi. Hingga akhirnya aku terlelap dalam tidur yang gelisah. Dan aku terjaga pagi-pagi benar. Fajar menyingsing dan mentari masih malu bersembunyi di balik tirai kabut pekat. Udara yang menerobos celah jendela masih begitu segar tapi dinginnya menusuk kalbu. Aku putuskan untuk menghubungi Arzi lagi. Entah kenapa aku tak bisa tenang juga. Aku sungguh tak bisa mengabaikan hatiku.
Nada sambung terus bersahutan namun tidak ada tanda-tanda seseorang menjawab panggilan itu. Aku perlu mencobanya berkali-kali sampai berhasil dan aku tercenung saat yang terdengar bukanlah suara Arzi.
“Vivin ya?”
Aku mengerutkan kening dengan bingung dan curiga, “Iya. Ini siapa? Arzinya mana?”
Hening!
Aku semakin kalut karena yang terdengar dari seberang telepon hanya isak lirih tertahan.
“Sa—saya Ibnu, teman satu kos Arzi,” ujar suara itu terbata-bata.
Aku nggak peduli siapa orang yang mengangkat Hp Arzi. Yang ingin kulakukan sekarang adalah berbicara dengan Arzi. Aku ingin mendengar suaranya. Kini rasa rindu itu tak terbendung lagi, “Arzinya mana?” tuntutku semakin tak sabar. Rasa gelisah itu kian menguat saat isak laki-laki itu kian menggema dan pecah dalam sebuah ratapan.
“Arzi—”
“Ada apa dengan Arzi?” rasa khawatirku berubah menjadi kepanikan yang amat sangat. Aku sadar ada sesuatu yang tidak beres. Tapi apa yang sebenarnya terjadi pada Arzi?
“Arzi—kecelakaan,” suara itu semakin tersedu-sedu, “Jam 9 tadi malam dan dia meninggal di tempat kejadian.”
Aku terhenyak dengan tubuh luar biasa lemas. Diriku mendadak begitu kosong dan sesuatu merobek jiwaku dengan begitu telak. Tak ada yang sanggup berbicara. Yang ada hanya kebekuan di hati yang tertoreh amat tajam dan dalam, “NGGAK! KAMU PASTI BERCANDA YA KAN? INI PASTI SALAH SATU LELUCON ARZI. AKU YAKIN ARZI YANG NYURUH KAMU BOHONGIN AKU.”
“Vin—”
“TOLONG PANGGILIN ARZI. AKU MAU BICARA.”
“Vin, Arzi udah meninggal—”
“NGGAK!” teriakku tak mau percaya. Arzi tak mungkin meninggal, “AKU TAHU ARZI EMANG SUKA BERCANDA TAPI TOLONG BILANG KE DIA. LELUCONNYA SUDAH SANGAT KETERLALUAN DAN NGGAK LUCU LAGI,” tawaku parau dan sesuatu yang panas mengahantam mataku dengan keras.
“Vin, orang tua Arzi sudah tiba di rumah sakit dan siang ini jenazahnya akan dibawa pulang untuk dikebumikan.”
“NGGAAAK! KAMU BOHONG!” aku semakin menjerit histeris tak kuasa menahan ledakan hebat di dada. Rasanya sakit sekali. Duniaku kini benar-benar runtuh, “TADI MALAM, JAM 10 LEWAT AKU DAN DIA SEMPAT SALING KIRIM SMS.”
“Itu jelas nggak mungkin. Arzi kecelakaan sekitar jam 9 dan dia langsung meninggal saat itu juga. Begitulah keterangan polisi. Jadi nggak mungkin kalau dia sms kamu jam 10 lewat. Jelas sangat mustahil,” Ibnu bersikeras tapi aku tak lagi mendengarnya. Aku tak ingin mendengar semua kebohongan ini.
Air mataku telah tumpah dan aku terbenam dalam tangisan panjang hingga ponsel itu terlepas dari genggamanku. Kenapa harus seperti ini? Kenapa Arzi harus pergi begitu cepat. Kenapa dia pergi sebelum aku sempat bilang kalau aku suka dia. Kalau aku juga sayang dia. Bukankah dia pernah berjanji takkan pernah meninggalkanku?
‘Zi, kamu nggak akan ninggalin aku kan?’
‘Iya aku janji. Tapi dengan satu syarat.’
‘Yah kok pakai syarat segala sih? Emangnya syarat apaan?’
‘Kamu juga harus janji. Kamu nggak akan benci aku kalau aku bilang aku sayang kamu lebih dari sekedar sahabat.’
‘Apa maksud kamu, Zi?’
‘Aku tahu kamu masih belum bisa nglupain Dewa. Tapi jangan marah ya karena aku juga cinta kamu.’
Tapi kenapa dia justru mengingkari janjinya dengan cara yang sangat menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan dari yang dulu dilakukan Dewa. Kenapa harus sekejam ini aku kehilangan dia? Aku tak pernah membalas cintanya dan kenapa aku tak diberi kesempatan untuk itu? Kenapa semuanya harus terlambat seperti ini?
Aku jatuh berlutut dan semakin menangis. Kepalaku pusing sekali dan aku luar biasa sesak. Bagaimana bisa aku melanjutkan hidupku tanpa Arzi? Tak ada lagi yang akan memberiku tawa. Tak ada lagi yang menghapus air mataku dalam sedihku. Benang cintaku telah terputus sebelum aku sempat merajutnya. Aku tidak tahu berapa lama aku meratap dan tak henti-hentinya aku menyebut nama Arzi hingga aku tak sadarkan diri…


Karya Sri Sugiarti
atty_131186@yahoo.com

Cerpen 4

Loving You



Aku berbaring di kursi malas berlengan panjang, membiarkan diriku dinaungi rimbunnya pohon mangga di depan rumah. Kenyamanan seketika datang menyambut dan hanya satu kata yang sempat terlintas ‘a long summer’. Jeans selutut dan yellow shirt yang kukenakan, sekelebat seperti neon yang menyala.
Angin berdesir. Ngilu! Entah kenapa pikiranku kembali ke saat-saat setahun yang lalu. Keadannya persis seperti ini, dalam hembusan angin kumbang yang kering dan sejuk berbaur teriknya jalanan di siang hari.
Aku melirik arlojiku, pukul 14.00, jam pulang sekolah. Aku ingat betul betapa sengsaranya harus menunggu mikrolet bersama teman seperjuangan berseragamkan putih abu-abu. Mesti rela gosong terpanggang matahari, bersahabat dengan asap hitam knalpot, debu dan polusi. Belum lagi ketika di dalam mikrolet yang penuh, sumpek dan mewajibkanku untuk bergelantungan kayak monyet. Bau asam keringat, parfum murahan yang menyengat dan amisnya ikan di drum besar yang dibawa nelayan mixed jadi satu.
Masa SMA adalah hal terindah dalam hidup seseorang. Begitulah kata pepatah. Dulu aku tak pernah menganggap itu benar adanya. Namun sekarang aku berubah pikiran. Seandainya waktu bisa diputar.
“Apa iya saat SMA itu yang paling berkesan?” tanyaku merenung kala aku dan teman se-genk yang beda kelas kumpul di depan lab bahasa.
Tyas tertegun, “Kayaknya biasa aja deh. Nggak ada yang istimewa,” sahutnya mengerutkan kening, “Menurut lo?” ia mengedikkan kepalanya pada Yusie yang tengah menghabiskan es cendolnya.
“Ya, kita nggak bisa jawab sekarang. Mungkin beberapa tahun lagi kita baru nyadar kalo masa SMA itu berkesan banget.”
Andra mengangguk setuju, “That’s right.”
“Kayaknya gue bakal kangen deh,” gumamku menghembuskan nafas panjang. Dan yang lain cuma diam. Sedih!
Kini aku duduk di bangku kuliah. Aku rindu sobat-sobatku, SMA-ku, guru-gurunya yang killer, bahkan aku rindu soto Bu Karjo di kantin sekolah. Tapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, aku merindukan Frans! Dia adalah kakak kelasku, pemain inti tim putra dan berhasil melakukan tujuh kali three points berturut-turut dalam turnament basket antar SMA. So pasti SMA-ku berhasil menyabet juara 1.
Frans!
Aku seperti pungguk yang merindukan bulan. Tampang pas-pasan, otak cuma lumayan dan kulit nggak putih-putih amat. Jangankan bisa jadian sama Frans, tuh cowok ngelirik aku aja nggak. Frans yang cakep laksana model, atlet, berprestasi juga di akademik. Sedangkan aku bukan siapa-siapa. Menyedihkan memang! Tapi beginilah nasib si itik buruk rupa. Lagi pula aku sadar diri kok, cinta nggak harus memiliki. Bisa lihat Frans tiap hari aja aku udah seneng. Apalagi aku tahu, akhir-akhir ini Frans lagi dekat sama cewek yang menjabat sebagai ketua OSIS.
Aku tersenyum kecut, “Nasib,” ucapku lirih, mengasihani diri sendiri. Aku tak bisa lupa hari itu, pesta kembang api di pasar malam.
Aku, Tyas, Yusie dan Andra excited banget, yah sekalian bisa jadi alasan buat having fun. Dinginnya udara malam dan sesaknya taman hiburan itu tak menghalangi niat kami sedikit pun. Namun entah kenapa ada yang kurang. Mendadak resah itu menghinggapi, “Guys, seandainya di sini ada Frans, lebih asyik kali ya,” ucapku sambil lalu di tengah hingar bingar lagu remix dari sound system.
“Yeee mau lo,” cibir Yusie menjulurkan lidah.
“Kasihan tuh, mupeng banget,” timpal Andra ikut-ikutan meledek.
“Kalo gue bisa ketemu Frans di sini, gue mau deh nadzar puasa sebulan.”
“Lo ngomong jangan sembarangan,” tandas Tyas mengeluarkan jurus bijaknya, “Nadzar tuh ibarat janji lho. Dan janji adalah hutang.”
Aku langsung manyun dan mengibaskan tanganku dengan gaya mencemooh, “Nggak mungkin Frans datang ke acara kayak gini. Dia kan alim banget. Gue yakin …” belum juga ucapanku selesai, mataku berhasil menangkap bayangan sesosok cowok tinggi, atletis and handsome.
“Kenapa lo?” tanya Andra keheranan melihat ekspresi wajahku yang jadi pucat, gemetar.
“Kayak baru liat setan aja,” celetuk Tyas, “Ada apa sih?”
“Mampus deh gue,” umpatku setengah terisak.
“Kok jadi mau nangis gitu,” Yusie makin kebingungan.
Aku mengulurkan tanganku yang bergetar dan menunjuk cowok itu, “Lo semua nggak liat, itu Frans,” pekikku nyaris histeris.
Hening!
Mata ketiga sobatku tertuju pada Frans yang terlihat sedang bersenda gurau dengan teman satu timnya. Dan …
“HUAHAHAHAHA,” tawa Yusie, Andra dan Tyas seketika meledak dan aku kian bersungut-sungut.
“Bener banget tuh, lo mampus tiga belas,” komentar Andra yang masih cekikikan dengan suara Mak Lampirnya.
“Kok kalian malah ngetawain gue sih,” tukasku merengut.
“Ya habisnya, salah lo sendiri kan,” sahut Tyas menyalahkan, “Gue tadi bilang apa? Jangan asal ngomong. Kena batunya deh.”
Sebagai hukuman atas kelancangan lidahku, aku pun mesti memenuhi nadzarku untuk puasa sebulan. Berat? Of course! Puasa sehari aja bikin aku ngiler terus, apa lagi sebulan. But anyway, mengingat peristiwa itu selalu saja membuatku tersenyum geli. Frans memang masa lalu, bahkan saat Frans lulus SMA, aku masih tak punya nyali juga untuk mengungkapkan perasaanku. Did I regret it? Perhaps!
“Kira-kira sekarang Frans kuliah di mana ya?” desahku letih. Sementara itu, Sang surya mulai tergelincir ke barat, menandakan senja akan segera tiba.
Aku membenarkan letak bantalku di kursi itu dan kian terbuai dalam belaian angin lembut. Dahan pohon mangga berderak dan berayun elok. Tiba-tiba mataku demikian berat ketika kantuk itu perlahan menyergap. Aku tidak tahu berapa lama aku terlelap ketika ku dengar denting petikan senar gitar yang disusul sebuah suara fals. Efeknya, top hits milik boy band Ungu jadi kedengaran ancur banget dinyanyiin orang tak dikenal itu.

Andai ku tahu, kapan tiba ajalku
Ku akan memohon Tuhan tolong panjangkan umurku
Andai ku tahu, kapan tiba masaku
Ku akan memohon Tuhan jangan Kau ambil nyawaku
Aku takut akan semua dosa-dosaku
Aku takut dosa yang terus membayangiku
Andai ku tahu malaikatMu ‘kan menjemputku
Ijinkan aku mengucap kata tobat padaMu
Aku takut akan semua dosa-dosaku
Aku takut dosa yang terus membayangiku
Ampuni aku dari segala dosa-dosaku
Ampuni aku, menangisku bertobat padaMu
Aku manusia yang takut neraka
Namun aku juga tak pantas di surga

“Busyet, nih pengamen bener-bener ganggu tidur gue,” gerutuku, terjaga. Dengan batin dongkol aku pun bangkit dan memungut serpihan receh di saku celanaku, “Nih, Mas,” ujarku menyodorkan dua keping lima ratusan. Dan orang di depanku tersentak kaget.
Kenapa nih orang? Gumamku dalam hati.
Laki-laki itu semakin tertunduk dan menarik ujung topinya hingga nyaris menyembunyikan seluruh wajahnya, “Makasih, Mba.”
Aku manggut-manggut. But there’s something wrong. Apa ya?
“Eh, tunggu, Mas,” cegahku sebelum orang itu berlalu, “Kayaknya wajah lo nggak asing deh. Apa gue kenal lo?”
“Maaf, mungkin Mba salah orang,” kata pengamen itu terburu-buru.
Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan bingung seperti orang kutuan. Aku yakin pernah lihat cowok itu. Tapi dimana ya? Cukup lama aku mencoba memutar memoriku dan …
“OH GOD!” aku terperangah ngeri. Tanpa sadar aku sudah berlari mengejar laki-laki yang berjalan amat cepat itu, “Tunggu, gue tau lo siapa. Lo Frans kan?”
Langkah cowok itu terhenti dan dia membalikan punggungnya—diam sesaat lalu tertunduk dalam, “Ya gue Frans,”ucapnya tak lebih dari bisikan.
Aku mengatupkan mulutku yang ternganga. Sungguh sulit dipercaya, Frans yang dulu begitu tampan kini terlihat mengerikan. Tubuh tingginya hanya tersisa sebagai tulang terbungkus kulit. Matanya cekung di balik wajah tirus mirip tengkorak. Dengan bibir hitam yang menandakan kalau dia pecandu rokok.
“Lo—lo kok bisa sampe gini,” seruku masih begitu shock, “Maksud gue—dulu lo kan—” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Yang bisa kulakukan hanya membasahi kerongkonganku yang kering kerontang.
Frans tertawa getir, “Maksud lo, kenapa gue bisa berubah gini?”
Aku meringis, sungguh tak enak hati. Sedetik berikutnya aku menyesal, lagi-lagi tak bisa mengerem mulut bawelku ini.
“Hidup gue emang berubah. Gue nge-drugs dan tiga bulan yang lalu gue dikeluarin dari kampus karena ketauan jadi pengedar. Gue juga diusir dari rumah. Bonyok pasti malu banget punya anak kayak gue,” ceritanya dengan nada pahit yang tergores tegas.
“OH!” aku nggak tahu harus bereaksi bagaimana. Di satu sisi aku ikut prihatin. Pergaulan rupanya telah menciptakan sosok Frans yang jauh dari segala kebaikan. Tapi kenapa rasa cintaku pada Frans kini pudar begitu aja ya?
Ada kalanya hidup perlu membenahi diri. Aku juga mesti bertanya pada hatiku lagi. Apa iya aku mau mengharapkan cinta Frans yang dulu pernah memandangku sebelah mata? Apa iya aku mau mengharapkan cinta Frans yang pecandu narkoba dan jadi pengamen? Ehm—may be not. Bisa-bisa aku jadi ikut berantakan.
I’m so sorry, Frans …



Karya Sri Sugiarti
atty_131186@yahoo.com

Colostrum

Tiap ibu perlu mengetahui dan menghargai betul betapa berharganya kolostrum.Kolostrum, cairan bening kekuningan yang sering disebut “Pre-milk”, akan diproduksi di hari-hari pertama menyusui. Kolostrum, kemudian disusul dengan ASI “matang”, akan menjaga dan melindungi bayi seperti plasenta saat ia dalam kandungan ibu. Kolostrum relatif rendah lemak dan karbohidrat, tetapi kaya akan protein. Kandungan tsb sangat tepat sesuaidengan kebutuhan bayi di hari-hari pertama. Kolostrum mudah dicerna dan mengandung sel-sel hidup yang memberikan proteksi terhadap berbagai bakteri, virus dan alergen.
Kolostrum ini akan melindungi bagian dalam usus bayi dan menjaganya dari absorpsi substansi-substansi yang dapat menyebabkan terjadinya alergi. Faktor imun seperti IgG dan IgA sangat banyak jumlahnya dalam kolostrum dibandingkan dengan ASI matang.
Kedua zat imun tsb akan menstimulasi dan meningkatkan sistem imun bayi. Dan penelitian menunjukkan bahwa manfaat tsb akan terus didapatkan bayi selama hidupnya. Lebih jauh lagi, kolstrum beraksi sebagai laxative (”obat pencuci perut”) yg efektif, mulai dari membuang meconium dari usus, hingga memecahkan bilirubin (substansi yg dapat membuat bayi menjadi kuning).
Dua minggu kemudian, kolostrum akan berubah komposisi menjadi ASI matang. Namun kondisi tsb tidak terjadi secara sekaligus. Kolostrum akan secara perlahan berubah menjadi ASI matang. Karena itu ASI yang dihasilkan di saat-saat tsb terlihat lebih kekuningan dibandingkan ASI yg dihasilkan kemudian.
Terkadang kita jumpai beberapa ibu yang belum dapat menghasilkan ASI di awalsetelah kelahiran bayinya. Ibu-ibu yang tidak melihat kolostrum saat menyusui bayinya akan merasa khawatir jika dirinya tidak dapat memproduksi ASI. Namun, kenyataan bahwa tidak terlihatnya ASI saat bayi menyusu, bukan berarti ASI (kolostrum) tidak keluar. Kolostrum yangdihasilkan ibu umumnya diproduksi dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu sekitar 7.4 sendok teh(36.23 ml) per harinya. Atau sekitar 1.4 hingga 2.8 sendok teh (6.86-13.72 ml) sekali menyusu. Dan jumlah yang sangat sedikit tsb akan segera diminum dan ditelan oleh bayi . Kenyataan bahwa warna dari kolostrum yang bening kekuningan dan tampak spt air liur menyebabkan kolostrum sulit untuk diidentifikasi. Sehingga tak jarang ibu yang merasa ASInya belum keluar, padahal ASI (kolostrum) nya sudah keluar. Memerah ASI di awal-awal pasca melahirkan akan terasa sulit, karena payudara terasa bengkak. Disini ibu membutuhkan bantuan dari konsultan laktasi. Selanjutnya seiring dengan waktu dan makin seringnya ibu memerah ASI, maka ibu akan lebih terampil dalam memerah ASI.
Karena sedemikian berharganya kolostrum, maka pastikan ibu memberikannya ke bayi meskipun hanya dalam jumlah yg amat sangat sedikit. Kolostrum ini akan menjadi hadiah yang tak ternilai harganya utk anak. Karena manfaatnya yang demikian hebat, maka segala macam upaya dalam memberikan kolostrum akan menjadi hal yang patut diperjuangkan.

Menyusui Post SC

Ibu yang melahirkan dengan cara operasi cesar (c-sections) seringkali sulit menyusui bayinya segera setelah ia lahir. Terutama jika ibu diberikan anastesi umu. Ibu relatif tidak sadar untuk dapat mengurus bayinya di jam pertama setelah bayi lahir. Meskipun ibu mendapat epidural yang membuatnya tetap sadar, kondisi luka operasi di bagian perutrelatif membuat proses menyusui sedikit terhambat. Sementara itu, bayi mungkin mengantuk dan tidak responsif untuk menyusu, terutama jika ibu mendapatkan obat-obatan penghilang sakit sebelum operasi. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa proses melahirkan dengan cesar akan menghambat terbentuknya produksi ASI. Meskipun demikian, menyusui sesering mungkin setelah proses kelahiran dg cesar akan meminimalisasi masalah-masalah tsb. Bahkan beberapa ibu yang melahirkan dg cesar memiliki produksi ASI yang berlimpah.

Upaya Memperbanyak ASI

Tingkatkan frekuensi menyusui/memompa/memeras ASI. Jika anak belum mau menyusu krn masih kenyang, perahlah / pompalah ASI. Ingat ! produksi ASI prinsipnya based on demand sama spt prinsip pabrik. Jika makin sering diminta (disusui/diperas/dipompa) maka makin banyak yg ASI yg diproduksi.
2. Kosongkan payudara setelah anak selesai menyusui.Bahasan ini masih terkait dg point di atas. Makin sering dikosongkan, maka produksi ASI juga makin lancar.
3. Yg tidak kalah pentingnya : ibu harus dalam keadaan RELAKS. KONDISI PSIKOLOGIS ibu menyusui sangat menentukan keberhasilan ASI eksklusif. Menurut hasil penelitian, > 80% lebih kegagalan ibu menyusui dalam memberikan ASI eksklusif adalah faktor psikologis ibu menyusui. Ingat : 1 pikiran “duh ASI peras saya cukup gak ya?” maka pada saat bersamaan ratusan sensor pada otak akan memerintahkan hormon oksitosin (produksi ASI) utk bekerja lambat. Dan akhirnya produksi ASI menurun.Relaks saja ya bu. Disini sebetulnya peran besar sang ayah.Jika ayah mendukung maka ASI akan lancar.Mendukung bisa dg berbagai cara mulai dari menyemangati istrihingga hal2 lain spt menyendawakan bayi setelah menyusu, menggendong bayi utk disusukan ke ibunya, dsbnya.
4. Hindari pemberian susu formula.Terkadang karena banyak orangtua merasa bahwa ASInya masih sedikit atautakut anak gak kenyang, banyak yg segera memberikan susu formula. Padahalpemberian susu formula itu justru akan menyebabkan ASI semakin tidak lancar. Anak relatif malas menyusu atau malah bingung puting terutama pemberian susu formula dg dot. Begitu bayi diberikan susu formula, maka saat ia menyusu pada ibunya akan kekenyangan. Sehingga volume ASI makin berkurang. Makin sering susu formula diberikan makin sedikit ASI yg diproduksi.
5. Hindari penggunaan DOT, empeng, dkknyaJika ibu ingin memberikan ASI peras/pompa (ataupun memilih susu formula) berikan ke bayi dg menggunakan sendok, bukan dot ! Saat ibu memberikan dg dot, maka anak dapat mengalami BINGUNG PUTING (nipple confusion). Kondisi dimana bayi hanya menyusu di ujung puting seperti ketika menyusu dot. Padahal, cara menyusu yang benar adalah seluruh areola (bag. gelap disekitar puting payudara) ibu masuk ke mulut bayi. Akhirnya, si kecil jadi ogah menyusu langsung dari payudara lantaran ia merasa betapa sulitnya mengeluarkan ASI. Sementara kalau menyusu dari botol, hanya dengan menekan sedikit sajadotnya, susu langsung keluar. Karena itu hindari penggunaan dot dsbnya.
6. Datangi klinik laktasi. Jangan ragu untuk menghubungi atau konsultasi dg klinik laktasi. Disana ibu dan ayah mendapatkan masukan secara teknis agar ASI tetap optima.
7. Ibu menyusui mengkonsumsi makanan bergizi.
8. Lakukan perawatan payudara : Massage / pemijatan payudara dan kompres air hangat & air dingin bergantian.

Jambu Biji dan DHF

Jambu biji adalah jambu yang dagingnya tidak terlalu besar, agak bulat, warna kulitnya hijau muda, isinya putih atau merah muda, dan terdapat banyak biji kecil yang keras, batang pohonnya liat.
Jambu biji termasuk jenis buah-buahan tropikal, berasal dari benua Amerika Selatan sebagai tumbuhan liar. Buah ini pertama ditemukan oleh Gonzalo Hernadez De Oveldo, Orang Spanyol. Orang-orang Spanyol sebagai penjajah membawa jambu batu ke benua Amerika Selatan kemudian menyebrang kelautan Pasifik, Philipina, pada tahun 1526.
Dari sini jambu biji disebarkan ke Asia Tenggara dan Asia Timur serta India oleh para pengembara Portugis awal abad ke 17. Saat ini jambu batu dibudidayakan secara intensif oleh Malaysia, brazil, India, Haiti, Jamaika dan Kenya.
Jambu biji ternyata mengandung berbagai macam komponen yang berkhasiat untuk mengatasi penyakit demam berdarah dengue. Kelompok senyawa tannin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin dalam ekstrak daun jambu biji dapat menghambat pertumbuhan virus berinti RNA.
Pada penelitian tersebut dilaporkan juga bahwa ekstrak jambu biji terbukti dapat meningkatkan jumlah sel hemopoetik terutama megakriosit pada preparat dan kultur sumsum tulang mencit. Pada uji keamanan (toksisitas) ekstrak jambu biji termasuk zat praktis yang tidak toksik.
Berkaitan dengan itu telah dilakukan uji invitro jambu biji dimana ekstrak tersebut terbukti dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. jambu biji juga dapat mempercepat peningkatan jumlah trombosit. Trombosit adalah keping-keping darah, bentuknya tidak teratur dan tidak mempunyai inti.
Jambu biji merah dapat memperbaiki kondisi pasien demam berdarah telah dapat dibuktikan secara ilmiah. Jambu biji (Psidium Guajava) terbukti dapat meningkatkan trombosit dan menghambat replikasi virus. Pemberian jus jambu pada pasien baru demam dua sampai tiga hari, lebih efektif dari pada setelah demam empat sampai lima hari. Dosis yang diberikan pada pasien itu adalah jus jambu biji 500 CC dalam satu kali 24 jam.
Jambu biji merah mengandung zat golongan flavonoid yaitu duercetin. Duercetin hanyalah salah satu dari 4000 macam flavonoid. Di samping itu jambu biji juga memiliki kadar vitamin C yang sangat tinggi yaitu 3 sampai 6 kali lipat dibandingkan dengan buah jeruk, 10 sampai 30 kali lipat dibandingkan dengan buah pisang. Vitamin C ini terdapat dalam daging buah jambu biji yang segar. Bijinya yang sering tidak dikonsumsipun mengandung vitamin C.
Dari hasil penelitian ada perkembangan yang cukup mengejutkan. Jus atau ekstrak daun jambu biji juga dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. Bahkan mampu meningkatkan jumlah trombosit hingga 100 ribu mm³. Dari pengujian, peningkatan jumlah trombosit diperkirakan dapat tercapai dalam tempo 8 sampai 48 jam atau 2 hari setelah ekstak daun jambu biji dikonsumsi.
Sementara itu seseorang yang terinfeksi virus dengue mempunyai 3 ciri. Pertama, gejala-gejala yang sulit didiagnosis. Kedua, yang bersangkutan terkena demam berdarah dengue dengan ciri-ciri suhu badan naik turun sampai dengan hari ke-3. Lalu pada hari ke-4 intensitas kenaikan suhu badan meningkat dan mengarah pada kejang. Pada saat demam dengue ini ada yang disertai dengan perdarahan dan ada yang tanpa perdarahan sama sekali. Mereka yang terkena demam dengue dengan perdarahan biasanya sebelum kena virus sudah mempunyai bakal kerusakan trombosit.
Disebutkan dalam buku food “That Heal, Food that Harm bahwa 90 g buah jambu biji lebih dari cukup memenuhi kebutuhan harian vitamin C pada orang dewasa. Buku ini juga menyebutkan meskipun sudah kehilangan hampir 25% vitaminnya karena proses pengolahan jenis jambu biji kemasan kotak, masih merupakan sumber vitamin C yang baik. Berkat kandungan vitamin C dosis tinggi ini, kekebalan tubuh dalam melawan bakteri akan meningkat. Proses penyembuhan luka pun jadi lebih cepat. Di samping itu tekanan darah berubah menjadi lebih baik berkat buah ini. Ini karena jambu biji merupakan sumber potassium. Cara pemanfaatan pilihlah buah yang baru saja masak dan masih berwarna hijau kekuning-kuningan. Bila sudah masak jangan lupa dicuci terlebih dahulu sebelum dimasukkan dalam lemari es.

Dengue Haemmorrhagic Fever (DHF/Demam Berdarah Dengue)

I. Definisi DBD
Penyakit dengue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh aerbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes albopictus dan Aedes Aegypti). Penyakit ini sebenarnya telah ditemukan di Jakarta pada tahun 1779 oleh Dr. David Baylon dan beliau menamakan penyakit ini Knokkel Koorts karena pasiennya mengeluh sakit pada sendi-sendi.
II. Etiologi
Virus dengue termasuk dalam kelompok arbovirus B dikenal 4 serodpe virus yang tidak mempunyai imunitas silang yang ditularkan melalui nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk Aedes Albopictus, Aedespolynesiensis dari beberapa spesies lain merupakan vector yang kurang berperan.
III. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya renjatan berdasarkan The secondary Heterologoas infection Hyphothesis dapat dilihat pada rumusan yang dikemukakan oleh Suvatte (1977) yaitu akibat infeksi kedua oleh tipe virus yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibody anti dengue yang rendah, maka respons antibody anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan liter, tinggi antibody 19G anti dengue. Di samping itu replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (Virus-antibodi kompleks) yang selanjutnya :
1. Akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding itu. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan berakhir dengan kematian.
2. Dengan terdapatnya kompleks virus–antibodi dalam sirkulasi darah maka mengakibatkan trombosit kehilangan fungsi agregasi dan mengalami metamorfosis, sehingga dimusnahkan oleh sistem RE dengan akibat terjadi trombositopenia hebat dan perdarahan. Di samping itu, trombosit yang mengalami metamorfosis akan melepaskan factor trombosit 3 yang mengaktivasi sistem koagulasi.
3. Akibat aktivasi factor Hageman (faktor XII) yang selanjutnya juga mengaktivasi sistem koagulasi dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskuler yang meluas. Dalam proses aktivasi ini maka plasminegan akan berubah menjadi plasmin yang berperan pada pembentukan antifilaktosin dan penghancuran fibrin menjadi Fibrin Degradation Product (FDP).
IV. Gambaran Klinik
Penyakit ini ditandai oleh demam mendadak tanpa sebab yang jelas disertai gejala lain seperti lemah, nafsu makan berkurang, muntah, nyeri pada anggota badan, punggung, sendi, kepala, dan perut. Gejala-gejala tersebut menyerupai influenza biasa. Pada hari ke-2 atau ke-3 demam muncul dalam bentuk perdarahan yang beraneka ragam dimulai dari yang paling ringan berupa perdarahan dibawah kulit (petekia/ekimosis), perdarahan gusi, epitaksis, sampai perdarahan hebat berupa muntah darah akibat perdarahan lambung, melena dan juga hematuria majif.
V. Masa Inkubasi
Selain perdarahan juga terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi makin lemah, ujung-ujung jari, telinga, dan hidung teraba dingin dan lembab. Denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.
Menurut patokan dari WHO pada tahun 1975, diagnosis DBD (DHF) harus berdasarkan adanya gejala klinik sebagai berikut :
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari (tanpa sebab jelas).
2. Manifestasi perdarahan : paling tidak terdapat uji torniquet positif dan adanya salah satu bentuk perdarahan yang lain misalnya petekia, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi, melena, atau hematemesis.
3. Pembesaran hati/hepatomegali (sudah dapat diraba sejak permulaan sakit)
4. Syok yang ditandai nadi lemah, cepat, disertai nadi yang menurun (menjadi 20x/’ atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lemah terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut.
Seperti pada infeksi virus dengue juga merupakan suatu Self Limiting Infectious Disease yang akan berakhir sekitar 2-7 hari.
Infeksi virus Dengue pada manusia mengakibatkan suatu spectrum manifestasi klinik yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (Mild Undefferentiated Febrile Iliness), dengue fever, Dengue HaemorrhagicFever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
- Panas
Panas biasanya langsung tinggi dan terus menerus dengan sebab yang tidak jelas dan hampir tidak bereaksi terhadap pemberian antipiretik (mungkin hanya turun sedikit kemudian naik kembali). Panas ini biasanya berlangsung 2-7 hari. Bila tidak disertai syok maka panas akan turun dan penderita sembuh sendiri (Selflimiting). Di samping panas, maka penderita juga mengeluh malaise, mual, muntah, sakit kepala, anokresia dan kadang-kadang batuk.
- Tanda-tanda perdarahan
- Karena manipulasi
§ Uji Torniquet/Rumpel Leede Test Positif yaitu dengan mempertahankan manset tensimeter pada tekanan antara systole dan diasistole selama 5 menit, kemudian dilihat apakah ada timbul petekie atau tidak di daerah voler lengan bawah.
§ Kriteria :
(+) bila jumlah petekie > 20
(+) bila jumlah petekie 10-20
(-) bila jumlah petekie 10
- Perdarahan spontan :
F Petekie/ekimosis
F Perdarahan gusi (Gum bleeding/epulis)
F Epitaxis/perdarahan dari hidung
F Hematemesis/melena
- Pembesaran Hepar
- Laboratorium
ü Hematokrit/PCV (Packet Cell Volume) meningkat sama atau lebih dari 20%.
ü Normal : PCV/Hm = 3 x Hb
ü Trombosit menurun, sama atau
ü Leukopeni, kadang-kadang
Masa tunas 3-15 hari tetapi rata-rata 5-8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot seluruh tubuh, nyeri di belakang kepala hebat, suara serat, batuk, epitaksis serta disuria. Penyakit biasanya akan sembuh sendiri dalam 5 hari dengan penurunan suhu secara fisis. Maka penyakit ini juga disebut Unfalaage koorts (demam 5 hari).
VI. Diagnosis
Hingga kini diagnosis DHF/DSS masih berdasarkan atas patokan yang telah dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik. Ternyata dengan menggunakan kriteria WHO di atas maka ketepatan diagnosis berkisar 70-90%.
Kreteria Klinik :
1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari, dengan sebab yang tidak jelas dan hampir tidak dapat dipengaruhi oleh antipiretika maupun surface cocling.
2. Manifestasi perdarahan
- Dengan manipulasi yaitu uji terniquet positif
- Spontan yaitu petekie, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena.
3. Pembesaran hati
4. Syok yang ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tak teraba, nadi menurun menjadi 20x/’ atau sampai nol, tekanan darah menurun menjadi 80 mmHg atau sampai nol, disertai kulit yang teraba lembab dan dingin terutama pada ujung jari tangan, kaki dan hidung penderita menjadi lemah, gelisah sampai menurunnya kesadaran dan timbul sianosis di sekitar mulut.
Kreteria laboratorik
Trombositopenia : jumlah trombosit <> 20% atau < 20% dibandingkan dengan nilai pada masa konvalasen.
Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat kaitannya dengan pengelolaan dan prognosa, maka WHO (1975) membagi DBD dalam 4 derajat setelah kriteria laboratorik terpenuhi yaitu :
Derajat I : Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan uji torniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III : Derajat II ditambah kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi cepat dan lemah, nadi menurun (< 20x/’) atau hipotensi (sistolis < 80 mmHg) disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita gelisah.
Derajat IV : Derajat II ditambah syok berat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan darah yang tak terukur, dapat disertai dengan penurunan kesadaran, sianosis dan asidosis
Derajat I dan II disebut DHF/DBD tanpa renjatan sedang derajat III dan IV disebut DHF/DBD dengan renjatan atau DSS.
VII. Demografi
Epidemiologi
Penyakit ini terdapat di daerah tropis terutama di negara Asean dan pasifik barat. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes. Di Indonesia dikenal 2 jenis nyamuk Aedes yaitu :
- Aedes Agypti
- Aedes Albopictus
Aedes Agypti
· Paling sering ditemukan
· Adalah nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah yaitu di tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air di sekitar rumah.
· Nyamuk ini sepintas lalu nampak berlurik, berbintik-bintik putih.
· Biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari.
· Jarak terbang 100 meter.
Aedes Albopictus
· Tempat habitatnya di tempat air jernih. Biasanya di sekitar rumah atau pohon-pohon di mana tertampung air hujan yang bersih yaitu pohon pisang, pandan, kaleng bekas, dll.
· Menggigit pada waktu siang hari
· Jarak terbang 50 meter.
Insiden
Secara nasional insiden demam berdarah dengue tertinggi. pernah dilaporkan selama tahun 1973 (10.189 kasus) dan tahun 1977 (8.141 kasus).
Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki.
Penyakit ini selalu terjadi tiap tahun di berbagai tempat di Indonesia dan terutama pada musim hujan.
Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami renjatan berkisar antara 25-65% di mana Sumarno, dkk (1985) mendapatkan 63%, Kho, dkk (1979) melaporkan 50%, Rampengan (1986) melaporkan 59,4% dari seluruh penderita demam berdarah dengue yang dirawat.
Akhir-akhir ini berdasarkan beberapa pengalaman klinis baik di Jakarta, kepulauan Tonga, Manila dan Bangkok. Ternyata Dengue Shock syndrome dapat pula terjadi pada penderita yang mendapat infeksi virus dengue untuk pertama kali pada usia lebih dari 1 tahun dan terbukti bahwa sensitivisasi oleh infeksi sebelumnya bukan merupakan faktor utama dalam patogenesis sindrom ini, sehingga timbul dugaan bahwa keempat serotype mempunyai potensi pathogen yang sama dan renjatan terjadi sebagai akibat serotype virus yang paling virulen, tetapi konsep ini masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
VIII. Penatalaksanaan DBD
Demam berdarah dengue tanpa disertai pengobatannya hanya bersifat simtomatis dan suportif.
- Pemberian cairan yang cukup
Cairan diberikan untuk mengurangi rasa haus dan dehidrasi akibat dari demam tinggi, anoreksia dan muntah. Penderita perlu diberi minum sebanyak mungkin (1-2 liter dalam 24 jam) berupa air teh dengan gula, sirup atau susu. Pada beberapa penderita dapat diberikan oralit.
- Antipiretik
Seperti golongan Acetaminofen (parasetamol), jangan berikan golongan salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya perdarahan.
- Surface colling
- Antikonvulsan
Bila penderita kejang dapat diberikan :
- Diazepam (valium)
- Fenobarbital (luminal)

Cuplikan Bab II Laxiance

Hutan itu sebenarnya tak terlalu lebat, luasnya juga tak seberapa. Tapi di malam hari, tempat itu tetap saja terasa menakutkan. Nancy bergidik, sesaat ia mengenal kenapa tidak memakai jaket. Udara malam itu begitu dingin ditambah lagi kegelapan di sekitarnya membuat bulu romanya berdiri tegak.
Cahaya center menyapu jalan setapak yang sempit dan berumput itu. Pepohonan pinus dan cemara tumbuh merapat dan jalanan mulai mendaki. Hutan itu berada di salah satu sisi lereng bukit. Cukup banyak warga desa yang mencari kayu bakar ataupun sekedar berburu di hutan itu tapi tidak pada malam malam begini.
Nancy menyebakkan semak semak liar dan ilalang yang tumbuh tinggi. Ia pun mulai mengumpulkan ranting ranting maupun dahan pepohonan yang berserakan di atas tanah berumput kasar itu. Nyamuk nyamuk dan serangga lainnya seakan menggelitiki tubuhnya. Ia pun bisa mendengar suara jangkrik dan suara binatang malam lainnya. Ia berusaha menepis rasa takut yang sesekali hinggap di hatinya.
Nancy tersenyum puas. Rasanya ia mendapat cukup banyak kayu bakar malam itu. Pikirnya, Bibi Monda pasti akan senang. Ia pun mengikat kayu kayu itu dengan seutas tali dan ia terpaku saat berhasil membuat simpul terakhir.
Sesuatu yang dingin menyapu tengkuknya dan tiba tiba angin bertiup kencang menerbangkan debu dan dedaunan kering. Nancy memejamkan mata dan mengangkat sebelah tangannya untuk melindungi wajahnya. Dahan dahan pepohonan berderak keras dan meliak liuk kesana kemari dengan kerasnya.
Nancy mencengkram erat erat apa yang ada di dekatnya sebelum angin kencang itu merobohkannya. Keadaan itu berlangsung selama beberapa menit dan alam pun kembali tenang. Tapi sesuatu kembali membuatnya membatu. Suara itu! Ia mendengar suara ringkihan panjang yang begitu menyayat.
Nancy mencoba berdiri. Baru disadarinya kalau kedua lututnya gemetar dan kakinya luar biasa lemas.
Suara ringkihan itu kembali terdengar dan semakin membuat Nancy merinding. Tapi entah apa yang membuatnya melangkah ke asal suara itu. Tangannya mencengkram senter erat erat dan kayu bakar yang diikatnya ditinggalkannya begitu saja.
Nancy meneguk ludah dengan susah payah. Ia terus melangkah hingga pepohonan pinus mulai jarang dan ia tiba di sebuah tanah lapang. Suara ringkihan itu kini terlihat begitu jelas dan Nancy seketika membelalak lebar saat dilihatnya sosok itu. Lampu senternya terlepas dari tangannya, mulutnya ternganga dan ia hanya berdiri mematung. Rasa takutnya perlahan lahan sirna dan ia luar biasa takjub memandang sosok indah itu.
Sosok kuda berbulu putih yang seakan bersinar di tengah kegelapan malam dan bermandikan cahaya bulan yang pucat. Itu bukan kuda biasa. Di punggungnya ada sepasang sayap yang indah membentang di udara. Bulu di kepalanya agak panjang mirip rambut dan tampak sebuah tanduk emas yang bercahaya.
“Wow!” hanya itu yang bisa terucap dari bibir Nancy. Ia tahu makhluk apa itu tapi ia benar benar tak percaya pada apa yang dilihatnya.
“Pegazuse! Gumamnya akhirnya bisa berkata kata, “Benarkah kau Pegazuse? Aku sungguh tak percaya. Aku pikir Pegazuse Cuma ada di dongeng.” Ia mencoba mencubit lengannya, berusaha menyadarkan diri, ia tengah bermimpi atau tidak. Dan ia meringis saat rasa sakit menjalarinya.
Kuda putih itu kembali meringkih dan kepalanya yang bertanduk emas terangkat ke langit cerah berbintang dengan anggunnya. Dia meronta ronta dan suaranya mirip sebuah rintihan. Sesaat Nancy menyadari, dalam cahaya bulan yang lembut dilihatnya warna merah di badan kuda putih dan sebuah panah berbulu keemasan menancap di bagian yang seharusnya adalah perut.
“Oh kau terluka,” Nancy mengerutkan kening dan prihatin. Ia pun melangkah maju dengan hati hati. Pegazuse itu kembali merintih dan semakin meronta.
“Tenang, aku takkan melukaimu,” Nancy mengangkat kedua tangannya, “A-Aku akan menolong menyembuhkanmu.”
Kuda putih itu seakan memicingkan mata dan terdiam. Ia menggelengkan kepalanya dan menatap Nancy dengan seksama. Sementara itu Nancy masih mengangkat kedua tangannya dan dengan terpincang pincang Pegazuse mendekatinya perlahan.
Nancy tersenyum senang ia membelai bulu kuda yang seakan bersinar keperakan. Pegazuse menundukkan kepalanya dan menekuk kedua kakinya seperti memberi hormat, membuat Nancy tertegun keheranan.
“Maafkan saya tidak mengenali Anda Yang Mulia Putri Claryn.”
Nancy terhenyak dan jatuh terjengkang seketika itu juga. Matanya terbelalak menatap tak percaya.
Siapa itu yang tadi berbicara?
“Maaf kalau saya mengejutkan Anda Yang Mulia,” Pegazuse itu semakin menundukan kepalanya. Nancy merasakan lehernya tercekat. Dan dengan gemetar ia merangkak mundur.
Tidak! Ini pasti gila! Melihat Pegazuse saja merupakan hal gila apalagi Pegazuse yang bisa bicara. Siapa yang akan percaya. Batinnya gelisah.
“Yang Mulia .........”
Nancy semakin merangkak mundur, “Si-siapa kau?” tangannya dengan dengan suara gemetar. Butir butir keringat dingin muncul di dalamnya. Dam rasa talit terpancar jelas dari wajahnya.
Pegazuse itu kembali menegakkan kepalanya dan ia membentangkan sayap ke arah bulan. Dan sosok itu menjadi semakin bersinar. Cahayanya begitu menyilaukan layaknya cahaya mentari di tengah hari, membuat Nancy harus memicingkan mata karena silau. Ia tak bisa melihat dengan jelas. Malam seakan berubah menjadi siang. Dan kegelapan enyak dalam sekejap.
Sosok kuda putih itu berpendar. Nancy masih terkesima namun dicobanya untuk bangkit. Ia kembali membeku saat Pegazuse tiba tiba memudar menjelma menjadi sosok seorang laki laki.
Mulut Nancy masih menganga dan bola matanya semakin bulat. Di depannya tampak seorang pemuda tampan dengan pakaian putih indah bangsawan romawi kuno yang sering dilihatnya dalam film film. Rambut cowok itu berombak berwarna pirang keperakan dan matanya yang tajam berwarna kuning, mengingatkan Nancy pada mata kucing. Dan ada sesuatu yang tidak berubah. Tanduk emas yang bersinar itu ada di kepalanya, dekat dengan batas rambut dan dahinya, seperti tanduk emas Pegazuse tadi.
“Saya Heliost penjaga Archiecarias,” laki laki itu membungkukan badan dalam dalam sementara salah satu tangannya mencenkram satu sisi perutnya yang terluka.
Sesekali Nancy mencuri pandang. Ia bisa melihat darah merah yang semakin luas membasahi pakaian putih yang membungkus tubuh Heliost. Panah berbulu emas itu masih menancap di perutnya.
Nancy melangkah mundur meskipun sebersit rasa iba muncul di hatinya. Rasa takutnya jauh lebih besar. Satu hal yang ia tahu, ia harus pergi dari tempat ini sekarang juga. Lebih baik ia harus berhadapan dengan Bibi Monda tanpa harus membawa kayu bakar daripada harus bersama makhuk aneh itu.
“Yang Mulia Claryn, tolong jangan pergi,” kali ini Heliost menegakan badan dan ia menatap Nancy dengan pandangan memohon.
“Claryn?” Nancy mengerutkan kening dan bingung. Entah mengapa rasanya nama itu tak asing lagi baginya.
“Ya, itu adalah nama Anda, Yang Mulia,” cowok itu kembali berkata, “Sudah berpuluh tahun saya mencari Anda dan ternyata ramalan Merlin benar. Saya akan menemukan Anda dalam purnama yang ke 999.”
Bibir Nancy bergerak, ia mencoba bicara tapi lidahnya rasanya kelu dan sesuatu seperti tengah mencekik lehernya, “Maaf Anda salah orang. Sa-saya Nancy dan .............”
Nancy terdiam, ia merasa sangat gugup, takut dan bingung. Berbagai perasaan campur aduk dalam benaknya. “............ saya memang hilang ingatan dan saya tidak tahun siapa diri saya. Tapi saya tahu saya bukan Claryn.” Ia kembali melangkah mundur.
Mata kuning Heliost menatap Nancy dengan tajam. Dan Nancy merasakan suatu sensasi rasa hangat yang menjalar di syaraf matanya. Kemudian sesautu pun terjadi. Ia kembali melihat padang rumput dan kastil itu. Persis seperti dalam mimpinya. Semenit kemudian ia seakan tersadar dari hipnotis.
Nancy merasa kepalanya pusing sekali. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya dan nafasnya terengah engah.
“Tentu saja,” gumam Heliost akhirnya. Dan ada nada terkejut dalam suaranya, “Amoze sengaja hapus ingatan Anda supaya Fortescue tidak bisa melacak kepergian Anda. Cerdik, sangat cerdik sahabatku Amoze ........”

Cuplikan Bab I Laxiance

Masih dengan seragam sekolah Nancy memasuki rumah dengan gontai. Ransel berat yang disandangnya seakan mengiris kulit di bahunya. Ia merasa begitu lelah dan juga lapar. Dari kejauhan indra pembaunya bisa mencium aroma ayam panggang yang sedap.
Ia menengok ke arah jam tua antik kala di dengarnya dentang jam yang menggema di ruang tamu itu. Dan sekarang seluruh lampu di rumah mungil itu telah dinyalakan. Ia bisa membayangkan apa yang akan dikatakan bila Monda nanti.
Nancy kembali membenarkan letak ranselnya dan melintasi ruang tamu itu, memasuki ruang keluarga dan sudah hendak naik ke kamarnya di lantai 2 ketika terdengar seruan melengking tinggi itu.
“Kau mengendap endap seperti pencuri,” bibi Monda memicingkan mata dan menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wanita paruh baya itu melepas celemek yang dipakainya. Tubuhnya yang pendek dan gempal selalu membuatnya mendongak saat berbicara dengan Nancy. Dan hal itu membuatnya semakin terlihat angkuh. Rambutnya yang mulai beruban kini disanggul asal asalan.
“Maaf, bibi, tadi ada pelajaran tambahan di sekolah. Dan karena tadi pagi bibi tidak memberikan uang saku, jadi Nancy pulang jalan kaki,” gumamnya dengan suara sedikit gemetar.
Bibi Monda langsung berdecak pinggang, “Oh ... jadi kau menyalahkanku atas keterlambatanmu,” tukasnya kesal, “bilang saja kalau kau keluyuran sepulang sekolah.”
Nancy benar benar tak suka dengan kata kata kasar yang selalu dilontarkan bibi Monda ataupun tatapan matanya yang selalu penuh curiga. Tapi baginya tidak ada pilihan lain, seandainya ia bisa berkumpul dengan keluarganya, tentu ia akan lebih bahagia.
“Sungguh bibi ....” Nancy mencoba membela diri tapi lagi lagi ucapannya terpotong oleh seruan bibi angkatnya lagi.
“Sudah sudah, aku nggak mau dengar apa apa lagi,” dengan geram bibi Monda mengangkat kedua tangannya, “Sekarang lebih baik kau cari kayu bakar untuk perapian sebelum aku nanti kedinginan.
“Tapi bibi, sekarang kan sudah malam, Nancy takut kalau harus ke hutan malam malam begini,” protes gadis itu dengan air muka cemas. Tanpa sadar ia telah mencengkram tali ransel kuat kuat hingga buku buku jarinya memutih. Ia tahu ia takkan bisa menolak perintah bibi Monda. Tapi baginya, pergi ke hutan malam malam begini untuk mencari kayu bakar adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
“Dengar ya anak manja,” Bibi Monda menggertakan giginya, wajahnya mulai merah padam, “Aku mengasuhmu bukan untuk jadi pembangkang. Apa kau tidak tahu kalau sekarang aku sudah kedinginan. Kau ingin aku mati ya.”
Nancy cepat cepat menggeleng. Ia memang tahu kalau bibi Monda tak tahan udara dingin. Dan mungkin kayu bakar di perapian sudah habis. Bibi Monda pasti tak bermaksud jahat. Semua ini salahnya, kalau saja ia tak pulang semalam ini tentu bibi Monda tak mengomel seperti ini.
“Kau mau mencari kayu bakar atau tidak,” bentak bibi Monda membuat Nancy terlonjak.
“I Iya bi,” Nancy tergagap, “tapi Nancy mandi dan ganti baju dulu ya.”
Bola mata Bibi Monda melebar, “Aku minta kau cari kayu bakar sekarang sebelum terlalu malam.”
Nancy membuka mulutnya sudah hendak akan bicara tapi ia segera mengurungkan niatnya, “Baik bibi,” ujarnya kemudian dan dengan lunglai diletakkannya ranselnya di kursi ruang keluarga.
“Ingat, kalau kau tidak mendapat cukup kayu bakar, kau tidak akan mendapat makan malam.”

Prolog Novel The Laxiance Kingdom & Pegazuse

Kisah ini berawal pada zaman dimana bumi hanya terbagi menjadi beberapa daratan yang luas. Salah satu di antara pembagian wilayah, tersebutlah kerajaan kecil bernama Laxience. Kerajaan kuno yang keberadaannya ditelan oleh waktu. Dimana para peri, pegazuse, kurcaci, duyung-duyung dan makhluk ajaib lainnya hidup berdampingan bersama manusia. Sebagian komunitas mereka berlindung di suatu tempat bernama Archicarias. Dan sisanya tersebar di segala penjuru dunia.
Pada zaman ini mitos dan legenda berkembang luas dan hanya terdengar dari mulut ke mulut. Laxience satu-satunya kerajaan yang tidak terlibat dalam perang. Hidup dalam dunianya sendiri dibalik bias cahaya pelangi. Laxience bagaikan air tenang yang menghanyutkan. Di dalamnya terjadi pergolakan dan pemberontakan intern. Golden Pearl, mutiara kehidupan yang dijaga seorang Heliost pun diperebutkan demi menguasai Laxience hingga terjadi pertumpahan darah dan kegelapan merajalela. Ketika dunia Laxience dan masa depan terhubung dalam seutas benang merah, satu persatu rahasia itu terkuak. Dan kisah ini terjadi beberapa waktu sebelum Laxience ditelan kabut dan menghilang dalam kenangan .............

Tanda Bayi Cukup Mendapatkan ASI

Inilah tanda-tanda kecukupan ASI pada bayi :
1. Bayi akan buang air kecil (BAK) paling tidak 6-8 x sehari
2. Terutama bagi bayi yang berusia <6>6 mg.
3. Pertumbuhan berat badan (BB) bayi dan tinggi badan (TB) bayi sesuai dengan grafik pertumbuhan. Jangan mengukur pertumbuhan bayi dari penampakan fisik bayi. Jangan pula mengukurnya dari berat tidaknya bayi saat menggendong.
4. Perkembangan motorik yang baik. Bayi aktif. Motoriknya sesuai dengan rentang usianya.
Selain tanda-tanda utama kecukupan ASI tsb diatas, terdapat juga tanda lain dari kecukupan ASI. Seperti terdengar suara menelan saat bayi menyusui, dsbnya. Meski hal ini bukan patokan utama.
Jika terbukti ASI gak cukup....
Tanda bayi tidak mendapatkan cukup ASI :
Jika bayi menunjukkan tanda dehidrasi berat : BAK <6 x sehari, warna air seninya keruh kecokelatan, bayi rewel luar biasa, tidak keluar airmata saat menangis, daya turgor melemah (jika kulitnya dicubit, tidak kembali spt semula).
· Jika pertumbuhan BB dan TB memiliki pola turun drastis atau stagnan (jalan di tempat).
· Bayi tidak aktif dan terlihat tidak sehat
Apa yang harus dilakukan ?
1. Hubungi segera dokter anak anda (DSA) jika terjadi dehidrasi berat
2. Biasanya jika memang terindikasi asi tidak cukup, maka pertolongan pertama / SOP (standard operating procedure) yang dilakukan adalah pemberian :
- ASI ibu lain. Hal ini amat sangat direkomendasikan
- Jika ASI ibu lain tidak ada, maka diberikan susu formula
- Jika susu formula tidak ada, maka diberikan susu sapi (whole milk/yang belum diformulasikan)
- Jika susu tidak ada, maka diberikan cairan lainnya.
3. Selanjutnya perbaiki dan perbanyak ASI dengan berkonsultasi pada konselor laktasi. Mulai dari observasi pemberian ASI, tata cara pemberian ASI, manajemen laktasi, kenali cara memperbanyak ASI, dsbnya.