Hutan itu sebenarnya tak terlalu lebat, luasnya juga tak seberapa. Tapi di malam hari, tempat itu tetap saja terasa menakutkan. Nancy bergidik, sesaat ia mengenal kenapa tidak memakai jaket. Udara malam itu begitu dingin ditambah lagi kegelapan di sekitarnya membuat bulu romanya berdiri tegak.
Cahaya center menyapu jalan setapak yang sempit dan berumput itu. Pepohonan pinus dan cemara tumbuh merapat dan jalanan mulai mendaki. Hutan itu berada di salah satu sisi lereng bukit. Cukup banyak warga desa yang mencari kayu bakar ataupun sekedar berburu di hutan itu tapi tidak pada malam malam begini.
Nancy menyebakkan semak semak liar dan ilalang yang tumbuh tinggi. Ia pun mulai mengumpulkan ranting ranting maupun dahan pepohonan yang berserakan di atas tanah berumput kasar itu. Nyamuk nyamuk dan serangga lainnya seakan menggelitiki tubuhnya. Ia pun bisa mendengar suara jangkrik dan suara binatang malam lainnya. Ia berusaha menepis rasa takut yang sesekali hinggap di hatinya.
Nancy tersenyum puas. Rasanya ia mendapat cukup banyak kayu bakar malam itu. Pikirnya, Bibi Monda pasti akan senang. Ia pun mengikat kayu kayu itu dengan seutas tali dan ia terpaku saat berhasil membuat simpul terakhir.
Sesuatu yang dingin menyapu tengkuknya dan tiba tiba angin bertiup kencang menerbangkan debu dan dedaunan kering. Nancy memejamkan mata dan mengangkat sebelah tangannya untuk melindungi wajahnya. Dahan dahan pepohonan berderak keras dan meliak liuk kesana kemari dengan kerasnya.
Nancy mencengkram erat erat apa yang ada di dekatnya sebelum angin kencang itu merobohkannya. Keadaan itu berlangsung selama beberapa menit dan alam pun kembali tenang. Tapi sesuatu kembali membuatnya membatu. Suara itu! Ia mendengar suara ringkihan panjang yang begitu menyayat.
Nancy mencoba berdiri. Baru disadarinya kalau kedua lututnya gemetar dan kakinya luar biasa lemas.
Suara ringkihan itu kembali terdengar dan semakin membuat Nancy merinding. Tapi entah apa yang membuatnya melangkah ke asal suara itu. Tangannya mencengkram senter erat erat dan kayu bakar yang diikatnya ditinggalkannya begitu saja.
Nancy meneguk ludah dengan susah payah. Ia terus melangkah hingga pepohonan pinus mulai jarang dan ia tiba di sebuah tanah lapang. Suara ringkihan itu kini terlihat begitu jelas dan Nancy seketika membelalak lebar saat dilihatnya sosok itu. Lampu senternya terlepas dari tangannya, mulutnya ternganga dan ia hanya berdiri mematung. Rasa takutnya perlahan lahan sirna dan ia luar biasa takjub memandang sosok indah itu.
Sosok kuda berbulu putih yang seakan bersinar di tengah kegelapan malam dan bermandikan cahaya bulan yang pucat. Itu bukan kuda biasa. Di punggungnya ada sepasang sayap yang indah membentang di udara. Bulu di kepalanya agak panjang mirip rambut dan tampak sebuah tanduk emas yang bercahaya.
“Wow!” hanya itu yang bisa terucap dari bibir Nancy. Ia tahu makhluk apa itu tapi ia benar benar tak percaya pada apa yang dilihatnya.
“Pegazuse! Gumamnya akhirnya bisa berkata kata, “Benarkah kau Pegazuse? Aku sungguh tak percaya. Aku pikir Pegazuse Cuma ada di dongeng.” Ia mencoba mencubit lengannya, berusaha menyadarkan diri, ia tengah bermimpi atau tidak. Dan ia meringis saat rasa sakit menjalarinya.
Kuda putih itu kembali meringkih dan kepalanya yang bertanduk emas terangkat ke langit cerah berbintang dengan anggunnya. Dia meronta ronta dan suaranya mirip sebuah rintihan. Sesaat Nancy menyadari, dalam cahaya bulan yang lembut dilihatnya warna merah di badan kuda putih dan sebuah panah berbulu keemasan menancap di bagian yang seharusnya adalah perut.
“Oh kau terluka,” Nancy mengerutkan kening dan prihatin. Ia pun melangkah maju dengan hati hati. Pegazuse itu kembali merintih dan semakin meronta.
“Tenang, aku takkan melukaimu,” Nancy mengangkat kedua tangannya, “A-Aku akan menolong menyembuhkanmu.”
Kuda putih itu seakan memicingkan mata dan terdiam. Ia menggelengkan kepalanya dan menatap Nancy dengan seksama. Sementara itu Nancy masih mengangkat kedua tangannya dan dengan terpincang pincang Pegazuse mendekatinya perlahan.
Nancy tersenyum senang ia membelai bulu kuda yang seakan bersinar keperakan. Pegazuse menundukkan kepalanya dan menekuk kedua kakinya seperti memberi hormat, membuat Nancy tertegun keheranan.
“Maafkan saya tidak mengenali Anda Yang Mulia Putri Claryn.”
Nancy terhenyak dan jatuh terjengkang seketika itu juga. Matanya terbelalak menatap tak percaya.
Siapa itu yang tadi berbicara?
“Maaf kalau saya mengejutkan Anda Yang Mulia,” Pegazuse itu semakin menundukan kepalanya. Nancy merasakan lehernya tercekat. Dan dengan gemetar ia merangkak mundur.
Tidak! Ini pasti gila! Melihat Pegazuse saja merupakan hal gila apalagi Pegazuse yang bisa bicara. Siapa yang akan percaya. Batinnya gelisah.
“Yang Mulia .........”
Nancy semakin merangkak mundur, “Si-siapa kau?” tangannya dengan dengan suara gemetar. Butir butir keringat dingin muncul di dalamnya. Dam rasa talit terpancar jelas dari wajahnya.
Pegazuse itu kembali menegakkan kepalanya dan ia membentangkan sayap ke arah bulan. Dan sosok itu menjadi semakin bersinar. Cahayanya begitu menyilaukan layaknya cahaya mentari di tengah hari, membuat Nancy harus memicingkan mata karena silau. Ia tak bisa melihat dengan jelas. Malam seakan berubah menjadi siang. Dan kegelapan enyak dalam sekejap.
Sosok kuda putih itu berpendar. Nancy masih terkesima namun dicobanya untuk bangkit. Ia kembali membeku saat Pegazuse tiba tiba memudar menjelma menjadi sosok seorang laki laki.
Mulut Nancy masih menganga dan bola matanya semakin bulat. Di depannya tampak seorang pemuda tampan dengan pakaian putih indah bangsawan romawi kuno yang sering dilihatnya dalam film film. Rambut cowok itu berombak berwarna pirang keperakan dan matanya yang tajam berwarna kuning, mengingatkan Nancy pada mata kucing. Dan ada sesuatu yang tidak berubah. Tanduk emas yang bersinar itu ada di kepalanya, dekat dengan batas rambut dan dahinya, seperti tanduk emas Pegazuse tadi.
“Saya Heliost penjaga Archiecarias,” laki laki itu membungkukan badan dalam dalam sementara salah satu tangannya mencenkram satu sisi perutnya yang terluka.
Sesekali Nancy mencuri pandang. Ia bisa melihat darah merah yang semakin luas membasahi pakaian putih yang membungkus tubuh Heliost. Panah berbulu emas itu masih menancap di perutnya.
Nancy melangkah mundur meskipun sebersit rasa iba muncul di hatinya. Rasa takutnya jauh lebih besar. Satu hal yang ia tahu, ia harus pergi dari tempat ini sekarang juga. Lebih baik ia harus berhadapan dengan Bibi Monda tanpa harus membawa kayu bakar daripada harus bersama makhuk aneh itu.
“Yang Mulia Claryn, tolong jangan pergi,” kali ini Heliost menegakan badan dan ia menatap Nancy dengan pandangan memohon.
“Claryn?” Nancy mengerutkan kening dan bingung. Entah mengapa rasanya nama itu tak asing lagi baginya.
“Ya, itu adalah nama Anda, Yang Mulia,” cowok itu kembali berkata, “Sudah berpuluh tahun saya mencari Anda dan ternyata ramalan Merlin benar. Saya akan menemukan Anda dalam purnama yang ke 999.”
Bibir Nancy bergerak, ia mencoba bicara tapi lidahnya rasanya kelu dan sesuatu seperti tengah mencekik lehernya, “Maaf Anda salah orang. Sa-saya Nancy dan .............”
Nancy terdiam, ia merasa sangat gugup, takut dan bingung. Berbagai perasaan campur aduk dalam benaknya. “............ saya memang hilang ingatan dan saya tidak tahun siapa diri saya. Tapi saya tahu saya bukan Claryn.” Ia kembali melangkah mundur.
Mata kuning Heliost menatap Nancy dengan tajam. Dan Nancy merasakan suatu sensasi rasa hangat yang menjalar di syaraf matanya. Kemudian sesautu pun terjadi. Ia kembali melihat padang rumput dan kastil itu. Persis seperti dalam mimpinya. Semenit kemudian ia seakan tersadar dari hipnotis.
Nancy merasa kepalanya pusing sekali. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya dan nafasnya terengah engah.
“Tentu saja,” gumam Heliost akhirnya. Dan ada nada terkejut dalam suaranya, “Amoze sengaja hapus ingatan Anda supaya Fortescue tidak bisa melacak kepergian Anda. Cerdik, sangat cerdik sahabatku Amoze ........”
Selasa, 03 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar