Jumat, 06 November 2009

Cooperative Learning

Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin (1995) mengemuka¬kan, "In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher". Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pem-belajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.
Sedangkan Johnson (dalam Hasan, 1994) me¬ngemukakan, "Cooperation means working together to accomplish shared goals. Within cooperative activities individuals seek outcomes that are beneficial to all other groups members. Cooperative learning is the instructional use of small groups that allows students to work together to maximize their own and each other as learning". Berdasarkan uraian tersebut, cooperative learning mengandung arti bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok itu. Prosedur cooperative learning didesain untuk mengaktifkan siswa melalui inkuiri dan diskusi dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-6 orang.
Anita Lie (2000) menyebut cooperative learning dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstuktur. Lebih jauh dikatakan, cooperative learning hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja.
Cooperative learning adalah suatu model pem¬belajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (studend oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model pembelajaran ini telah terbukti dapat dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia.
Istilah cooperative learning dalam pengertian bahasa Indonesia dikenal dengan nama pembelajaran kooperatif. Menurut Johnson & Johnson (1994) cooperative learning adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.
Slavin (1995) menyebutkan cooperative learning merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, di mana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Dalam melakukan proses belajar-mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka.
Ada banyak alasan mengapa cooperative learning tersebut mampu memasuki mainstream (kelaziman) praktek pendidikan. Selain bukti-bukti nyata tentang keberhasilan pendekatan ini, pada masa sekarang masyarakat pendidikan semakin menyadari pentingnya para siswa berlatih berpikir, memecahkan masalah, serta menggabungkan kemampuan dan keahlian. Walaupun memang Pendekatan ini akan berjalan baik di kelas yang ke-mampuannya merata, namun sebenarnya kelas dengan kemampuan siswa yang bervariasi lebih membutuhkan pendekatan ini. Karena dengan mencampurkan para siswa dengan kemampuan yang beragam tersebut, maka siswa yang kurang akan sangat terbantu dan termotivasi siswa yang lebih. Demikian juga siswa yang lebih akan semakin terasah pemahamannya.
Cooperative learning ini bukan bermaksud untuk menggantikan pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam kelas akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan kooperatif ini adalah sebagai alternatif pilihan dalam mengisi kelemahan kompetisi, yakni hanya sebagian siswa saja yang akan bertambah pintar, sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam ketidaktahuannya. Tidak sedikit siswa yang kurang pengetahuannya merasa malu bila kekurangannya diexpose. Kadang-kadang motivasi per¬saingan akan menjadi kurang sehat bila para murid saling menginginkan agar siswa lainnya tidak mampu, katakanlah dalam menjawab soal yang diberikan guru. Sikap mental inilah yang dirasa perlu untuk mengalami improvement (perbaikan).
Watchword of the American Revolution dalam Johnson & Johnson (1994) mengemukakan istilah "Together we stand, divided we fall" atau "bersama kita bisa, berpisah kita jatuh", untuk menggambarkan tentang cooperative learning. Kauchak dan Eggen dalam Azizah (1998) berpendapat cooperative learning merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan. Lie (2002) mengungkapkan, cooperative learning atau memberi landasan teoritis bagaimana siswa dapat sukses belajar bersama orang lain.
Dengan mempraktekkan cooperative learning di ruang-ruang kelas, suatu hal kelak kita akan menuai buah persahabatan dan perdamaian, karena cooperative learning memandang siswa sebagai makhluk sosial (homo homini socius), bukan homo homini lupus (manusia adalah srigala bagi sesamanya). Dengan kata lain, cooperative learning adalah cara belajar mengajar berbasiskan peace education (metode belajar mengajar masa depan) yang pasti mendapat perhatian.
Djahiri K (2004) menyebutkan cooperative learning sebagai pembelajaran kelompok kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang siswa sentris, humanistik, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan belajarnya. Dengan demikian, maka pembelajaran kooperatif mampu membelajarkan diri dan kehidupan siswa baik di kelas atau sekolah. Lingkungan belajarnya juga membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekaligus memberikan pelatihan hidup senyatanya. Jadi, cooperative learning dapat dirumuskan sebagai kegiatan pembelajaran kelompok yang terarah, terpadu, efektif-efisien, ke arah mencari atau mengkaji sesuatu melalui proses kerjasama dan saling membantu (sharing) sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (survive).
Masih membicarakan cooperative learning, beberapa ahli mencoba mengungkapkan pengertian istilah itu. Djajadisastra (1982) mengemukakan, metode belajar kelompok atau lazim disebut dengan metode gotong royong, merupakan suatu metode mengajar di mana murid-murid disusun dalam kelompok-kelompok pada waktu menerima pelajaran atau mengerjakan soal-soal dan tugas-tugas. Nasution (1989) mengemukakan belajar kelompok itu efektif bila setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap kelompok, anak turut berpartisipasi dan bekerja sama dengan individu lain secara efektif, menimbulkan perubahan yang konstruktif pada kelakuan seseorang dan setiap anggota aman dan puas di dalam kelas. Suryosubroto (2002) menyebutkan, belajar kelompok dibentuk dengan harapan para siswa dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran.
Beberapa ciri dari cooperative learning adalah; (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Tujuan Cooperatif Learning
Pelaksanaan model cooperative learning mempartisipasi dan kerja sama dalam kelompok pembelajaran. Cooperative learning dapat meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong-menolong dalam beberapa perilaku sosial. Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar cooperative learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik cooperative learning sebagaimana dikemukakan Slavin (1995), yaitu Penghargaan kelompok, pertanggungjawaban untuk dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Cooperative learning menggunakan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam rnenciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota ketompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas Iainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Cooperative learning menggunakan motode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
Bila dibandingkan dengan pembelajaran yang masih bersifat konvensional, cooperative learning memiliki keunggulan. Keunggulannya dilihat dari aspek adalah memberi peluang kepada siswa agar siswa mengemukakan dan membahas suatu pandangan, pengalaman, yang diperoleh siswa belajar secara bekerja sama dalam merumuskan ke arah satu pandangan kelompok (Cilibert-Macmilan, 1993).
Dengan melaksanakan model pembelajaran cooperative learning, siswa memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar, di samping itu juga bisa melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berpikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill), seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerjasama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan kelas (Stahl, 1994).
Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran, namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Selanjutnya menurut Sharan (1990), siswa yang belajar metode cooperative learning akan memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung dari anak sebaya. Cooperative learning juga menghasilkan peningkatan kemampuan akademik, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, membentuk hubungan persahabatan, menimba berbagai informasi, belajar gunakan sopan santun, meningkatkan motivasi siswa memperbaiki sikap terhadap sekolah dan belajar mengurangi tingkah laku yang kurang baik, serta membantu siswa dalam menghargai pokok pikiran orang lain (Johnson, 1993).
Stahl (1994) mengemukakan, melalui model cooperative learning siswa dapat memperoleh pengetahuan kecakapan sebagai pertimbangan untuk berpikir dan menentukan serta berbuat dan berpartisipasi sosial. Selanjutnya Zaltman et.al (1972) mengemukakan pula siswa yang sama-sama bekerja dalam kelompok akan menimbulkan persahabatan yang akrab, yang terbentuk kalangan siswa, ternyata sangat berpengaruh pada tingkah laku atau kegiatan masing-masing secara individual. Kerjasama antar siswa dalam kegiatan belajar menurut Harmin (dalam Santos, 1983) dapat memberikan berbagai pengalaman. Mereka lebih banyak mendapatkan kesempatan berbicara, inisiatif, menentukan pilihan dan secara umum mengembangkan kebiasaan yang baik.
Selanjutnya Jarolimek & Parker (1993) mengatakan keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran ini adalah: 1) saling ketergantungan yang positif, 2) adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu, 3) siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, 4) suasana kelas yang rileks dan menyenangkan, 5) terjalinnya hubungan . yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru, dan 6) memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.
Kelemahan model pembelajaran cooperative learning bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dari luar (ekstern). Faktor dari dalam, yaitu: 1) guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang,
disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu, 2) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan fasilitas,
alat dan biaya yang cukup memadai, 3) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan 4) saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif .
Cooperative learning menyediakan banyak contoh yang perlu dilakukan para siswa antara lain: (1) siswa terlibat di dalam tingkah-laku mendefinisikan, menyaring, dan memperkuat sikap-sikap, kemampuan, dan tingkah laku partisipasi sosial; (2) respek pada orang lain, memperlakukan orang lain dengan penuh pertimbangan kemanusiaan, dan memberikan semangat penggunaan pemikiran rasional ketika mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama; (3) berpartisipasi dalam tindakan-tindakan kompromi, negosiasi, kerja sama, konsensus dan pentaatan aturan mayoritas ketika bekerja sama untuk menyelesaikan tagas-tugas mereka, dan membantu meyakinkan bahwa setiap anggota kelompoknya belajar. Ketika mereka berusaha mempelajari isi dan kemampuan yang diharapkan, mereka juga menemukan diri bagaimana memecahkan konflik, menangani berbagai problem, dan membuat pilihan-pilihan yang merefleksikan situasi-situasi pribadi dan sosial yang mungkin mereka temukan dalam situasi dunia ini.
Mengacu pada pendapat tersebut maka dengan cooperative learning, para siswa dapat membuat kemajuan besar ke arah pengembangan sikap, nilai, dan tingkah laku, yang memungkinkan mereka dapat berpartisipasi dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang sesuai denean tujuan pendidikan sejarah, karena tujuan utama cooperate learning, adalah untuk memperoleh pengetahuan dari sesama temannya. Jadi, tidak lagi pengetahuan itu diperoleh dari gurunya, dengan belajar kelompok seorang teman haruslah memberikan kesempatan kepada teman yang lain untuk mengemukakan pendapatnya dengan cara menghargai pendapat orang lain, saling mengoreksi kesalahan, dan saling membetulkan sama lainnya.
Ketika cooperative learning dilaksanakan, guru harus berusaha menanamkan dan membina sikap berdemokrasi di antara para siswanya. Maksudnya suasana sekolah kelas harus diwujudkan sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan kepribadian siswa yang demokratis dan dapat diharapkan suasana yang terbuka dengan kebiasaan-kebiasaan kerja sama, terutama dalam memecahkan kesulitan-kesulitan. Seorang siswa haruslah dapat menerima pendapat dari siswa yang lainnya, seperti siswa satu mengemukakan pendapatnya lalu siswa yang lainnya mendengarkan di mana letak kesalahan, kekurangan atau kelebihan, kalau ada kekurangannya maka perlu ditambah, dan penambahan ini harus disetujui semua anggota, yang satu harus saling menghormati pendapat yang lain (Hasan, 2000).
Jadi, dengan cara menghargai pendapat orang lain dan saling membetulkan kesalahan secara bersama, mencari jawaban yang tepat dan baik, dengan cara mencari sumber-sumber informasi dan mana saja seperti buku paket, buku-buku yang ada di perpustakaan dan buku buku penunjang untuk dijadikan pembantu dalam mencari jawaban yang baik dan benar serta memperoleh pengetahuan, materi pelajaran yang diajarkan semakin luas dan semakin baik.
Pada dasarnya model cooperative learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
a. Hasil belajar akademik
Dalam cooperative learning meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, cooperative learning dapat memberi keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model cooperative learning adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga cooperative learning adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
Model-Model Cooperatif Learning
Model pembelajaran perlu dipahami guru agar melaksanakan pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Dalam penerapannya, model pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan siswa karena masing-masing model pembelajaran memiliki tujuan, prinsip, dan tekanan utama yang berbeda-beda.
Menurut Dahlan (1990), model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas. Sedangkan pembelajaran menurut Muhammad Surya (2003) merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Pembelajaran menurut Gagne (1985), "An active process and suggests that teaching involves facilitating active mental process by students", bahwa dalam proses belajaran siswa berada dalam posisi proses mental aktif, dan guru berfungsi mengkondisikan terjadinya pembelajaran. Dalam penerapannya model pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk model yang tepat, maka perlu diperhatikan relevansinya dengan pencapain tujuan pengajaran.
Model pembelajaran menurut Joice dan Well (1990) adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya. Dalam penerapannya model pembelajaran ini harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
Untuk memilih model yang tepat, maka perlu di¬perhatikan relevansinya dengan pencapaian tujuan pengajaran. Dalam prakteknya semua model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, semakin kecil upaya yang dilakukan guru dan semakin besar aktivitas belajar siswa, maka hal itu semakin baik. Kedua, semakin sedikit waktu yang diperlukan guru untuk mengaktifkan siswa belajar juga semakin baik. Ketiga, sesuai dengan cara belajar siswa yang dilakukan. Keempat, dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru. Kelima, tidak ada satupun motode yang paling sesuai untuk segala tujuan, jenis materi, dan proses belajar ada (Hasan, 1996).
Dalam cooperative learning terdapat beberapa variasi model yang dapat diterapkan, yaitu di antaranya: 1) Student Team Achievement Division (STAD), 2) Jigsaw, 3) Group Investigation (GI), 4) Rotating Trio Exchange, dan 5) Group Resume. Dari beberapa model pembelajaran tersebut model yang banyak dikembangkan adalah model Student Team Achievement Division (STAD) dan Jigsaw.
a. Student Team Achievement Division (STAD)
Tipe ini dikembangkan Slavin, dan merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Pada proses pembelajarannya, belajar kooperatif tipe STAD melalui lima tahapan yang meliputi: 1) tahap penyajian materi, 2) tahap kegiatan kelompok, 3) tahap tes individual, 4) tahap penghitungan skor perkembangan individu, dan 5) tahap pemberian penghargaan kelompok (Slavin, 1995).
Tahap Penyajian Materi, yang mana guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus dicapai hari itu dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari, dalam penelitian ini adalah materi tentang pencemaran lingkungan. Dilanjutkan dengan memberikan persepsi dengan tujuan mengingatkan siswa terhadap materi prasarat yang telah dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan materi yang akan disajikan dengan Pengetahuan yang telah dimiliki. Mengenai teknik Penyajian materi pelajaran dapat dilakukan secara klasikal aupun melalui audiovisual. Lamanya presentasi dan berapa kali harus dipresentasikan bergantung pada kekompleksan materi yang akan dibahas.
Dalam mengembangkan materi pembelajaran perlu ditekankan hal-hal sebagai berikut: a) mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok, b) menekankan bahwa belajar adalah memahami makna, dan bukan hapalan, c) memberikan umpan balik sesering mungkin untuk mengontrol pemahaman siswa, d) memberikan penjelasan mengapa jawaban pertanyaan itu benar atau salah, dan e) beralih kepada materi selanjutnya apabila siswa telah memahami permasalahan yang ada.
Tahap Kerja Kelompok, pada tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang dibahas, dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok.
Tahap Tes Individu, yaitu untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah dicapai, diadakan tes secara individual, mengenai materi yang telah dibahas. Pada penelitian ini tes individual diadakan pada akhir pertemuan kedua dan ketiga, masing-masing selama 10 menit agar siswa dapat menunjukkan apa yang telah dipelajari secara individu selama bekerja dalam kelompok Skor perolehan individu ini didata dan diarsipkan, yang akan digunakan pada perhitungan perolehan kelompok.
Tahap Perhitungan Skor Perkembangan Individu, dihitung berdasarkan skor awal, dalam penelitian ini berdasarkan pada nilai evaluasi hasil belajar semester I. Berdasarkan skor awal setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang diperolehnya. Penghitungan perkembangan skor individu dimaksudkan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi terbaik sesuai dengan kemampuannya. Adapun penghitungan skor perkembangan individu pada penelitian ini diambil dari penskoran perkembangan individu yang dikemukakan Slavin (1995)
b. Jigsaw
Pembelajaran kooperatif Jigsaw merupakan salah satu ripe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam penyeleng-garaannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu.
Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Dengan demikian, cara yang efektif untuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah guru membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang sangat disukainya misalnya sesama jenis, sesama etnik, dan sama dalam kemampuan.
Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan seringkali siswa tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Oleh karena itu, memberikan kebebasan siswa untuk membentuk kelompok sendiri bukanlah cara yang baik, kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat menghasilkan kelompok-kelompok yang heterogen. Pengelompokan secara acak juga dapat digunakan, khusus jika pengelompokan itu terjadi pada awal tahun ajaran baru dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa-siswanya.
Jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk dapat berkerja sama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok mempengaruhi kemampuan produktivitasnya. Dalam hal ini, Soejadi (2000) mengemukakan, jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin besar, dapat mengakibatkan makin kurang efektif kerjasama antara para anggotanya.
Menurut Edward (1989). kelompok yang terdiri dan empat orang terbukti sangat efektif. Sedangkan Sudjana (1989) mengemukakan, beberapa siswa dihimpun dalam satu kelompok dapat terdiri 4-6 orang siswa. Jumlah yang paling tepat menurut hasil penelitan Slavin adalah hal itu dikarenakan kelompok yang beranggotakan 4-6 orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.
Dalam Jigsaw ini setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dan kelompoknya masing-masing bertemu dengan anggota-anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Selanjutnya materi tersebut didiskusikan mempelajari serta memahami setiap masalah yang dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut.
Pada tahap ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menguasai materi yang ditugaskannya, kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok masing-masing atau kelompok asalnya. Selanjutnya masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan guru.
Pada tahap ini siswa akan banyak menemui permasalahan yang tahap kesukarannya bervariasi. Pengalaman seperti ini sangat penting terhadap perkembangan mental anak. Piaget (dalam Ruseffendi, 1991) menyatakan,"...bila menginginkan perkembangan mental maka lebih cepat dapat masuk kepada tahap yang lebih tinggi, supaya anak diperkaya dengan banyak pengalaman". Lebih lanjut Ruseffendi mengemukakan, kecerdasan manusia dapat ditingkatkan hingga batas optimalnya dengan pengayaan melalui pengalaman.
Pada tahap selanjutnya siswa diberi tes/kuis, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi. Dengan demikian, secara umum penyelenggaraan model belajar jigsaw dalam proses belajar mengajar dapat menumbuhkan tanggung jawab siswa sehingga terlibat langsung secara aktif dalam mahami suatu persoalan dan menyelesaikannya kelompok.
Dalam model Jigsaw versi Aronson, kelas dibagi suatu kelompok kecil yang heterogen yang diberi nama tim jigsaw dan materi dibagi sebanyak menurut anggota timnya. Tiap-tiap tim diberikan satu set materi yang lengkap dan masing-masing individu ditugaskan untuk memilih topik mereka. Kemudian siswa dipisahkan menjadi kelompok "ahli" atau "rekan" yang terdiri dari seluruh siswa di kelas yang mempunyai bagian informasi yang sama.
Di grup ahli, siswa saling membantu mempelajari materi dan mempersiapkan diri untuk tim Jigsaw. Setelah siswa mempelajari materi di grup ahli, kemudian mereka kembali ke tim jigsaw untuk mengajarkan materi tersebut kepada teman setim dan berusaha untuk mempelajari sisa materi. Teknik ini sama dengan teka-teki yang disebut pendekatan jigsaw. Sebagai kesimpulan dari pelajaran tersebut siswa dengan bebas memilih kuis dan diberikan nilai individu.
Model Jigsaw dapat digunakan secara efektif di tiap level dimana siswa telah mendapatkan keterampilan akademis dari pemahaman, membaca maupun ke¬terampilan kelompok untuk belajar bersama. Jenis materi yang paling mudah digunakan untuk pendekatan ini adalah bentuk naratif seperti ditemukan dalam literatur, penelitian sosial membaca dan ilmu pengetahuan. Materi pelajaran harus mengembangkan konsep daripada mengembangkan keterampilan sebagai tujuan umum.
c. Group Investigation (GI)
Pada model ini siswa dibagi ke dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang. Kelompok dapat dibentuk berdasarkan perkawanan atau berdasarkan pada keter-kaitan akan sebuah materi tanpa melanggar ciri-ciri cooperative learning. Pada model ini siswa memilih sub topik yang ingin mereka pelajari dan topik yang biasanya telah ditentukan guru, selanjutnya siswa dan guru merencanakan tujuan, langkah-langkah belajar berdasarkan sub topik dan materi yang dipilih. Kemudian siswa mulai belajar dengan berbagai sumber belajar baik di dalam atau pun di luar sekolah, setelah proses pelaksanaan belajar selesai mereka menganalisis, menyimpulkan, dan membuat kesimpulan untuk mempresentasikan hasil belajar mereka di depan kelas.
d. Rotating Trio Exchange
Pada model ini, kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 3 orang, kelas ditata sehingga setiap kelompok dapat melihat kelompok lainnya di kiri dan di kanannya, berikan pada setiap trio tersebut pertanyaan yang sama untuk didiskusikan. Setelah selesai berilah nomor untuk setiap anggota trio tersebut. Contohnya nomor 0, 1, dan 2. Kemudian perintahkan nomor 1 berpindah searah jarum jam dan nomor 2 sebaliknya, berlawanan jarum jam. Sedangkan nomor 0 tetap di tempat. Ini akan mengakibatkan timbulnya trio baru. Berikan kepada setiap trio baru tersebut pertanyaan-pertanyaan baru untuk didiskusikan, tambahkanlah sedikit tingkat kesulitan. Rotasikan kembali siswa seusai setiap pertanyaan yang telah disiapkan.
e. Group Resume
Model ini akan menjadikan interaksi antar siswa lebih baik, kelas dibagi ke dalam kelompok-kelompok setiap kelompok terdiri dari 3-6 orang siswa. Berikan penekanan bahwa mereka adalah kelompok yang bagus baik bakat atau pun kemampuannya di kelas. Biarkan kelompok-kelompok tersebut membuat kesimpulan yang di dalamnya terdapat data-data latar belakang pendidikan, pengetahuan akan isi kelas, pengalaman kerja, kedudukan yang dipegang sekarang, keterampilan, hobby, bakat dan lain-lain. Kemudian setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan kesimpulan kelompok mereka.
Peranan Guru Dalam Cooperatif Learning
Menciptakan lingkungan yang optimal baik secara fisik maupun mental, dengan cara menciptakan suasana kelas yang nyaman, suasana hati yang gembira tanpa tekanan, maka dapat memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran. Pengaturan kelas yang baik merupakan langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar siswa secara keseluruhan.
Sesuai dengan pendapat tersebut, maka dalam pelaksanaan model cooperative learning dibutuhkan kemauan dan kemampuan serta kreatifitas guru dalam mengelola lingkungan kelas. Sehingga dengan menggunakan model ini guru bukannya bertambah pasif, tapi harus menjadi ebih aktif terutama saat menyusun rencana pembelajaran Secara matang, pengaturan kelas saat pelaksanaan, dan membuat tugas untuk dikerjakan siswa bersama dengan kelompoknya.
Dalam model pembelajaran cooperative learning juga harus mampu menciptakan kelas sebagai laboratoriurn demokrasi, supaya peserta didik terlatih dan terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini penting dikondisikan sejak di bangku sekolah, agar peserta didik terbiasa berbeda pendapat, jujur, sportif dalam mengakui kekurangannya sendiri dan siap menerima pendapat orang lain yang lebih baik, serta mampu mencari pemecahan masalah. Perbedaan pendapat yang mengarah pada konflik interpersonal asalkan menurut aturan diskusi yang baik disertai sikap yang positif, sesungguhnya dapat membantu menumbuhkan kesehatan mental siswa. Hal yang perlu dihindari ialah bila perbedaan pendapat itu menjurus pada konflik yang bersifat intrapersonal yang dapat merugikan kesehatan mental siswa (Soemantri, 2001).
Dalam model cooperative learning dibutuhkan proses yang melibatkan niat dan kiat (will and skill) dari anggota kelompoknya sehingga masing-masing siswa harus memiliki niat untuk bekerjasama dengan anggota lainnya. Di samping itu, juga harus memiliki kiat-kiat bagaimana caranya berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain. Dalam pengelolaan kelas model cooperative learning ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni pengelompokan/pemberian motivasi kepada kelompok, dan penataan ruang kelas (Lie, 2000).
a. Pembentukan Kelompok
Pada saat pembentukan kelompok guru membuat kelompok yang heterogen. Pembentukan kelompok dibentuk dengan memperhatikan kemampuan akademis. Pada umumnya masing-masing kelompok beranggotakan empat orang yang terdiri atas satu orang yang berkemampuan tinggi, dua orang yang berkemampuan sedang dan satu orang yang berkemampuan rendah.
Alasan dibentuk kelompok heterogen adalah: Pertama, memberi kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung. Kedua, dapat meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik dan gender. Ketiga, memudahkan pengelolaan kelas karena masing-masing kelompok memiliki anak yang berkemampuan tinggi (special hilper), yang dapat membantu teman lainnya dalam memecahkan suatu pemasalahan dalam kelompok (Jarolimek & Parker, 1993).
b. Pemberian Semangat Kelompok
Agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran cooperative learning maka masing-masing kelompok perlu memiliki semangat kelompok. Pemberian semangat ini sangat penting agar kelompoknya dapat bekerja lebih baik ini. Pemberian semangat ini bisa dibina dengan melakukan beberapa kegiatan yang bisa mempererat hubungan antara anggota kelompok, yaitu melalui kegiatan kesamaan kelompok, identitas kelompok, maupun sapaan atau sorak kelompok.
Dengan demikian, diharapkan tertanam perasaan saling memiliki diantara anggota kelompok. Rasa saling memiliki menciptakan rasa kebersamaan, kesatuan, kesepakatan, dan dukungan dalam belajar. Dengan membangun rasa saling memiliki akan mempercepat proses pengajaran dan meningkatkan rasa tanggung jawab dari pelajar (Porter, 2001).
c. Penataan Ruang Kelas
Penataan ruang kelas sangat dipengaruhi oleh filsafat dan metode pembelajaran yang dipakai di kelas. Pada umumnya penataan ruang kelas diatur secara klasikal, karena hal ini sangat sesuai dengan metode ceramah. Dalam metode ini guru berperan sebagai narasumber yang utama atau mungkin satu-satunya narasumber.
Sementara untuk model cooperative learning guru tidak hanya sebagai satu-satunya narasumber, tetapi siswa juga bisa belajar dari temannya dan guru berperan sebagai fasilitator, motivator, mediator, dan evaluator. Sebagai konsekuensinya ruang kelas harus ditata sedemikian rupa sehingga dapat menunjang terjadinya dialog dalam cooperative learning.
Pengaturan bangku memainkan peranan penting dalam kegiatan belajar model cooperative learning sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas. Di samping itu, harus bisa melihat dan menjangkau rekan-rekan kelompoknya dengan baik dan berada dalam jangkauan kelompoknya dengan merata.
Penggunaan meja tapal kuda dan meja panjang dapat menempatkan siswa secara berkelompok di ujung meja (lihat gambar 1). Sedangkan penggunaan meja laboratorium (gambar 2) memudahkan siswa untuk mengerjakan tugas individu maupun kelompok. Penggunaan meja kelompok dan meja klasikal (gambar 3) dapat menempatkan siswa dalam kelompok secara berdekatan. Sedangkan penggunaan meja berbaris (gambar 4) dapat menempatkan dua kelompok duduk dalam satu meja sedangkan penataan terbaik dan relatif lebih mudah adalah dengan menempatkan bangku individu dengan meja tulisnya (gambar 5).
Guru mempunyai peranan penting terutama pada saat proses belajar mengajar berlangsung seperti halnya penentuan topik, permasalahan apa saja yang didiskusikan, memberikan saran-saran dan juga kalau sudah selesai guru haruslah memberikan pujian terutama bagi mereka yang telah menyelesaikan tugasnya paling cepat, tepat, dan benar.
Beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan guru terutama dalam melaksanakan pembelajaran dikemukakan Stahl (1994), yaitu: 1) kejelasan rumusan tujuan pembelajaran, 2) penerimaan siswa secara me-nyeluruh tentang tujuan belajar, 3) saling membutuhkan diantara sesama anggota, 4) keterbukaan dalam interaksi pembelajaran, 5) tanggung jawab individu; 6) heterogenitas kelompok; 7) sikap dan perilaku sosial yang positif, 8) depriefing (refleksi), dan 9) kepuasan dalam belajar.
Kejelasan rumusan tujuan pembelajaran, artinya sebelum menggunakan model pembelajaran ini, guru memulai dengan jelas dan spesifik. Tujuan ini menyangkut apa yang diinginkan guru dilakukan siswa dalam kegiatan belajarnya. Perumusan tujuan ini harus sesuai dengan tujuan kurikulum dan pembelajaran. Apakah kegiatan belajar siswa ditekankan pada pemahaman materi pelajaran, sikap dan proses dalam bekerjasama, ataukah keterampilan-keterampilan tertentu. Tujuan ini harus dirumuskan dalam bahasa dan konteks kalimat yang mudah dimengerti siswa secara keseluruhan. Hal ini hendak-nya dilakukan guru sebelum kelompok belajar terbentuk.
Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar adalah guru mengkondisikan kelas agar siswa menerima tujuan pembelajaran dari sudut kepentingan diri, dan kelas. Untuk itu siswa dikondisikan untuk mengetahui dan menerima kenyataan bahwa setiap orang dalam kelompoknya menerima dirinya untuk bekerjasama dalam mempelajari seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan untuk dipelajari.
Saling membutuhkan diantara sesama anggota. Untuk mengkondisikan terjadinya interdependensi diantara siswa dan kelompok belajar, maka guru mengkondisikan materi dan tugas-tugas pelajaran sehingga siswa memahaminya. Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran adalah suasana belajar dalam kelompok dengan adanya interaksi diantara sesama siswa pada saat mendiskusikan materi pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan guru. Dengan suasana belajar seperti ini akan memperoleh keberhasilan dalam belajarnya karena mereka saling memberi dan menerima masukan, ide, saran dan kritik dan sesama temannya dengan cara positif dan terbuka.
Tanggung jawab individu merupakan salah satu dasar penggunaan cooperative learning yang mahasiswa secara individu dituntut untuk mempunyai dua tanggung jawab, yaitu mengerjakan tugas dan memahami materi untuk keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Di antara sesama anggota kelompok berinteraksi dan bekerjasama meskipun anggota kelompoknya terdiri berbagai macam keadaan status diri, misalnya berasal dari etnik yang berbeda, berbeda agama, berbeda status sosial dan kelompok yang heterogen. Dengan belajar tentang perbedaan yang wajar, anak belajar juga memperlakukan mereka dengan demokratis. Hal ini merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik siswa yang berbeda pula. Suasana belajar seperti ini akan tumbuh berkembang sehingga dapat melahirkan suatu nilai hidup, sikap, moral dan perilaku siswa. Suasana ini merupakan media yang sangat baik bagi siswa dan akan mengembangkan kemampuan serta melatih untuk keterampilan dirinya dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis.
Sikap dan perilaku sosial yang positif adalah ketika siswa berinteraksi dengan siswa lainnya tidak begitu saja bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada anggota kelompok lainnya. Dalam kegiatan kelompok ini siswa harus belajar seperti bagaimana cara memimpin, cara berdiskusi, bernegosiasi, mengklarifikasikan berbagai masalah dan secara bertahap belajar mengambil keputusan.
Depriefing (refleksi). Pada saat kelompok belajar menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, dilakukan evaluasi terhadap penampilan dan hasil kerja siswa dalam kelompok belajar juga; (1) hasil kerja kelompok; (2) sistem tutorial dan kolaboratif dalam belajar di antara anggota kelompok; (3) sikap dan perilaku siswa selama pembelajaran; dan (4) antusiasme dan refleksi diri anggota kelompok untuk meningkatkan produktifitas kerja pembelajaran selanjutnya. Untuk itu guru harus mengevaluasi dan memberikan berbagai masukan terhadap hasil pekerjaan siswa dan aktivitas mereka selama kelompok belajar siswa tersebut bekerja. Dalam hal ini guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide dan saran, baik siswa lainnya maupun kepada guru dalam rangka ; perbaikan belajar dan hasilnya di kemudian hari.
Kepuasan dalam belajar. Setiap siswa dan kelompok I belajar memperoleh waktu yang cukup untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan siswa. Jangan sampai siswa tidak memperoleh waktu yang cukup dalam belajar maka program sekolah dalam penggunaan cooperative learning akan sangat terbatas karena memperoleh belajar siswa juga sangat terbatas. Untuk itu guru hendaknya merancang dan mengalokasikan waktu yang memadai.
1. Relevansi Cooperative Learning terhadap Guru
Terdapat tiga ciri atau sikap yang mungkin dimiliki guru. Ketiga sikap itu adalah apakah guru akan disiapkan menjadi guru yang: a) Propagandis, b) Netral, atau c) Berpengetahuan luas dan pengabdiannya tinggi (well-informed and well-dedicated).
Pertama, guru yang propagandis adalah sebutan bagi guru yang setiap penampilannya akan memukau anak-anak, namun bila terus menerus akan menimbulkan rasa jemu dari anak. Kedua, guru yang netral adalah guru yang punya pendirian, dan tak punya tanggung jawab menyampaikan pelajaran, karena ia sendiri tidak yakin akan maknanya. Ketiga, sikap guru yang baik, yaitu guru yang memiliki pengetahuan luas dan siap menyampaikannya dengan penuh ketulusan dan tanggung jawab kepada siswa, ia sadar sedang mengemban tertentu. Dengan cara ini, siswa akan hormat kepada gurunya.
Sikap ini dapat terlaksana bila dalam menyampaikan pembelajaran, guru berpegang pada prinsip sebagai berikut: 1) mengembangkan rasa ingin tahu siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk memperkaya pengetahuan tentang konsep ruang dan waktu, 2) mampu membedakan waktu (konsep waktu dan konsep kronologis), 3) mengembangkan proses pembelajaran yang terfokus pada diri siswa, 4) menggunakan media dan buku sumber. Media dan buku sumber itu dapat membantu siswa untuk lebih mengerti dan memahami pembelajaran.
2. Relevansi Cooperative Learning terhadap Siswa
Pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan efektif pada diri siswa bila ditanamkan unsur-unsur dasar belajar kooperatif. Dengan dilaksanakannya model cooperative learning secara berkesinambungan dapat dijadikan sebagai sarana bagi guru untuk melatih dan mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor siswa, khususnva keterampilan sosial siswa untuk bekal hidup bermasyarakat. Siswa selain dilatih mengembangkan kemampuan kognitifnya, juga dilatih aspek untuk mengembangkan social skill yang dimilikinya. Keberhasilan siswa dalam pembelajaran ini akan berdampak pada keberhasilan guru dalam mengelola kelasnya dengan menggunakan model cooperative learning.
3. Relevansi Cooperative Learning terhadap Tujuan Penelitian Tindakan Kelas
Banyaknya kritik yang ditujukan kepada pengajaran IPS, apakah karena membosankan, jenuh, lebih menekankan pada hafalan, siswa yang pasif, dan aktifitas dikoordinasi guru yang menyebabkan pelajaran IPS menjadi pelajaran nomor dua di sekolah jika dibandingkan dengan pelajaran IPA. Hal ini yang melatarbelakangi diadakannya penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk atau jawaban atas pemasalahan yang timbul, sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPS.
Selanjutnya tujuan penelitian tindakan secara makro akan mendukung inovasi pendidikan dengan memberikan peranan kepada guru agar terlibat dalam upaya tersebut dengan melakukan penelitian sehingga gerakan rekonstruksi mendapat landasan yang kuat dari bawah. Oleh karena itu, agar para pendidik mampu melakukan peranannya dalam upaya rekonstruksi ini maka dirasakan perlu pemberdayaan dalam profesi mereka. Sehingga penelitian tindakan akan membantu guru dalam meningkatkan layanan profesionalnya dalam pembelajaran di kelas.
Relevansi cooperalive learning terhadap tujuan penelitian tindakan kelas dapat menjadikan salah satu jawaban dan permasalahan-permasalahan yang timbul di kelas. Penelitian kelas telah membuat kontribusi berupa deskripsi pelaksanaan tindakan nyata proses belajar mengajar yang telah menolong guru dalam memahami pekerjaannya. Keunggulan dan kelemahan yang timbul dalam cooperative learning diharapkan dapat dijadikan masukan yang berharga untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah di kelas.
Strategi Cooperatif Learning
Tujuan penting dari cooperative learning ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki siswa sebagai warga masyarakat, bangsa dan negara, mengingat kenyataan yang dihadapi bangsa ini dalam mengatasi masalah-masalah sosial semakin kompleks. Apalagi tantangan bagi peserta didik supaya mampu dalam menghadapi persaingan global untuk memenangkan persaingan.
Era global yang ditandai dengan persaingan dan Kerja sama di segala aspek kehidupan mempersyaratkan Para siswa memiliki keterampilan sosial. Keterampilan serta sikap positif sosial sebagai anggota masyarakat lokal ataupun global yang demokratis dapat dikembangkan lebih lanjut melalui cooperative learning. Dengan demikian, dapat diduga para peserta didik akan mendapatkan makna dan manfaat praktis dari setiap proses pembelajaran tersebut
Model cooperative learning membuka peluang bagi upaya mencapai tujuan meningkatkan keterampilan sosial peserta didik. Seperti yang diungkapkan Stahl (2000), "The cooperative behaviors and attitudes that contributed to the success and or failure of these groups". Dalam kelompok ini mereka bekerja tidak hanya sebagai kumpulan individual tetapi merupakan suatu tim kerja yang tangguh. Seorang anggota kelompok bergantung kepada anggota kelompok lainnya. Seorang yang memlilki keunggulan tertentu akan membagi keunggulannya dengan lainnya. Di samping itu, (Slavin, 1992) menyebut cooperative learning sekaligus dapat melatih sikap dan keterampilan sosial sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat.
Salah satu sikap yang dimiliki siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran, yaitu setiap siswa memiliki sikap keterampilan sosial. Keterampilan sosial merupakan sikap yang dimiliki setiap individu sebagai hasil dari proses pemaknaan terhadap proses belajar, tetapi hasil ini tidak diperoleh secara menyeluruh oleh individu di dalam kelas, melainkan hanya sebagian saja yang dimiliki siswa tersebut. Hal ini tergantung dari tingkat pemaknaan setiap individu dalam proses belajar mengajar di kelas. Keterampilan sosial akan nampak jika individu itu merealisasikan apa yang ia peroleh sebagai hasil belajar. Sikap keterampilan sosial itu terlihat dari perbuatan siswa, misalnya siswa tanggap terhadap masalah kebersihan di kelas, tanggap terhadap keamanan di kelas, tanggap terhadap iuran wajib di kelas, tanggap terhadap hak sebagai siswa di kelas, di keluarga, di sekolah, di masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perilaku yang dicerminkan dari hasil belajar di sekolah bagi siswa yang memiliki keterampilan sosial bukan hanya ia sadar memiliki sikap tanggap saja, akan tetapi sikap tersebut direalisasikan dalam kehidupan sehari-harinya, yang pada akhirnya akan menjadi warga negara yang baik, yang ditandai dengan sikap memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Untuk tercapainya siswa sebagaimana yang digambarkan di atas, diperlukan adanya iklim yang sehat melalui jenjang persekolahan sehingga memungkinkan siswa sebagai generasi muda berkembang secara wajar dan bertanggung jawab. Karena itu, perlu ada usaha-usaha mengembangkan pemikiran siswa utuk dapat meng-analisis hal-hal yang terjadi dalam masyarakat, baik yang sudah menjadi maupun yang akan terjadi dan mengancam keadaan masyarakat secara umum. Maka siswa tersebut diharapkan akan menjadi siswa yang memiliki keterampil¬an sosial yang dibutuhkan dalam masyarakat yang modern seperti sekarang ini.
Dalam pembelajaran ini, terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas (Lie, 2000), yaitu:
1. Teknik Mencari Pasangan (Make a Mach), yaitu teknik yang dikembangkan Loma Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia
2. Bertukar pasangan, teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sama dengan orang lain. Pasangan bisa ditunjuk oleh guru atau berdasarkan Teknik Mencari Pasangan.
3. Berpikir Berpasangan Berempat (Think-Pare-Share), yaitu tehnik yang dikembangkan Frank Lyman (Think-Pair-Share) dan Spencer Kagan (Think-Pair-Square). Tehnik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan dari teknik ini adalah optimalisasi par-tisipasi siswa, yaitu memberi kesempatan delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.
4. Berkirim Salam dan Soal, teknik ini memberi ke¬sempatan kepada siswa untuk melatih pengetahuan dan keterampilan mereka. Siswa membuat pertanyaan sendiri sehingga akan merasa terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat teman sekelasnya.
5. Kepala Bernomor (Numbered Heads), teknik ini di¬kembangkan Spencer Kagan (1992). Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan pertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu teknik ini mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka.
6. Kepala Bernomor Terstruktur, teknik ini modifikasi dan Teknik Kepala Bernomor yang dipakai Spencer Kagan. Dengan teknik ini siswa bisa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dan saling keterkaitan dengan teman-teman kelompoknya.
7. Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray), teknik ini dikembangkan Spencer Kagan (1992) dan bisa digunakan dengan Teknik Kepala Bernomor. Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk membagikan hasil informasi dengan kelompok lain.
8. Keliling Kelompok, dalam teknik ini masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain.
9. Kancing Gemerincing, teknik ini dikembangkan juga oleh Speicer Kagan (1992), dimana masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran orang lain.
10.Keliling Kelas, teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk memamerkan hasil kerja mereka dan melihat hasil kerja orang lain
11.Lingkaran Kecil-Lingkaran Besar (Inside-Outside Cirle), dikembangkan Spencer Kagan untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan.
12.Tari Bambu, teknik ini merupakan modifikasi Ling¬karan Kecil-Lingkaran Besar, karena keterbatasan ruang kelas.
13.Bercerita Berpasangan (Paired Stotytelling), dikembangkan sebagai pendekatan interakif antara siswa, pengajar, dan bahan pengajaran. Dalam teknik ini guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata itu agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam kegiatan ini siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan ber-imajinasi sehingga siswa terdorong untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Teknik-teknik tersebut tidak harus dipraktekan seluruhnya di depan kelas, namun sebagai seorang guru yang professional, guru bisa memilih dan memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut agar lebih sesuai dengan situasi kelas.
Dalam teknik jigsaw yang dikembangkan Aronson et al, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi yang cocok. Langkah-langkah yang harus dtempuh yaitu: 1) Guru membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat bagian, 2) Sebelum bahan pelajaran diberikan, guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran saat itu. Guru bisa menuliskan topik di papan tulis dan menanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan braimstrorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru, 3) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok satu kelompok empat orang, 4) Bagian pertama bahan diberikan pada siswa yang pertama, sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua dan seterusnya, 5) Siswa mengerjakan bagian mereka masing-masing, 6) Setelah selesai, siswa saling berbagi mengenai bagian yang dikerjakan masing-masing. Dalam kegiatan ini siswa bisa saling melengkapi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, dan 7) Kegiatan ini diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan seluruh kelas.
Diskusi adalah unsur penting dalam belajar kelompok (Jarolimek & Parker, 1993). Dengan berdiskusi terdapat keanekaragaman pendapat dan sudut pandang dan berbagai anggota kelompok. Karena itu, partisipasi siswa secara luas sangat diperlukan. Dalam diskusi harus dihindari dominasi seseorang dalam berbicara sehingga guru harus memperhatikan jalannya diskusi, di samping agar terhindar dan topik permasalahan yang meluas.
Langkah kongkrit yang harus kita lakukan, menyusun serangkaian program pembinaan yang disusun secara baik, terarah, simultan dan berkesinambungan Langkah nyata tersebut diwujudkan guru dengan cara merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dalam bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya tujuan kurikulum bidang studi IPS adalah keterampilan sosial Tujuan-tujuan itu harus bersifat operasional sesuai dengan situasi kelas atau praktek.
Tujuan-tujuan itu terdiri dari berpikir sosial, kemampuan memahami makna fakta sosial, sikap-sikap sosial, kepercayaan, dan nilai-nilai, misalnya posisi dasar personal, keadaan sosial, minat-minat sosial, misalnya ikut serta dalam kegiatan sosial (yang bermakna), informasi sosial, misalnya fakta dan generalisasi, keterampilan perbuatan sosial, mampu melakukan perbuatan-perbuatan sosial.
Upaya guru yang dimaksud merupakan serang¬kaian kegiatan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar dengan tujuan untuk memberikan pengalaman, pengetahuan, dan pemahaman bagi peserta didik sehingga siswa dapat memiliki kemampuan, baik kemampuan akademis (intelectual question) maupun kemampuan emosional (emotional question).
Dewasa ini upaya guru dalam kegiatan belajar mengajar mutlak diperlukan. Hal ini tentu untuk tercapainya tujuan belajar yang sesungguhnya, yaitu adanya perubahan, dan perubahan yang diharapkan dapat berupa pertambahan ilmu pengetahuan maupun perubahan tingkah laku ke arah kedewasaan, baik dewasa berpikir, maupun betindak untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Stahl (1994) dan Slavin (1993) mengemukakan langkah-langkah dalam implementasi model cooperative learning secara umum yang dijelaskan secara operasional sebagai adalah berikut:
1. Merancang rencana program pembelajaran
Pada langkah ini guru mempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Disamping itu, guru juga menetapkan sikap dan keterampilan-keterampilan sosial yang diharapkan dikembangkan dan diperhatikan siswa selama berlangsungnya pembelajaran. Guru dalam merancang program pembelajarannya juga harus mengorganisasikan materi dan tugas-tugas siswa harus mencerminkan sistem kerja dalam kelompok kecil. Artinya, materi dan tugas-tugas itu adalah untuk dibelajarkan dan dikerjakan secara bersama dalam dimensi kerja kelompok.
Untuk memulai pembelajarannya guru harus menjelaskan tujuan dan sikap serta keterampilan sosial yang yang ingin dicapai dan diperhatikan siswa selama pembelajaran. Hal ini mutlak harus dilakukan guru, karena dengan demikian siswa tahu dan memahami apa yang harus dilakukan selama proses belajar mengajar.
2. Merancang lembar observasi
Hal ini dimaksudkan untuk mengobservasi kegiatan siswa dalam belajar secara bersama dalam kontek kelompok-kelompok kecil. Dalam menyampaikan materi guru tidak lagi menyampaikan materi secara panjang lebar karena pemahaman dan pendalaman materi itu nantinya akan dilakukan siswa ketika belajar secara berasama dalam kelompok. Guru hanya menjelaskan pokok-pokok materi dengan tujuan siswa mempunyai wawasan dan orientasi yang memadati tentang materi yang diajarkan.
Pada saat guru selesai menyajikan materi, maka langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah menggali pengetahuan dan pemahaman siswa tentang materi pelajaran berdasarkan apa yang telah dibelajarkan. Hal ini dimaksudkan untuk kesiapan belajar siswa. Selanjutnya guru pembimbing siswa untuk membentuk kelompok. Pemahaman dan konsepsi guna terhadap siswa secara individual sangat menentukan kebersamaan dan kelompok yang terbentuk.
Kegiatan ini dilakukan sambil menjelaskan tugas yang harus dilakukan siswa dalam kelompoknya masing-masing. Pada saat siswa belajar secara berkelompok guru mulai melakukan monitoring dan mengobservasi kegiatan belajar siswa berdasarkan lembar observasi yang dirancang sebelumnya.
3. Dalam melakukan observasi terhadap kegiatan siswa guru mengarahkan dan membimbing siswa baik secara individu maupun secara kelompok baik dalam memahami materi maupun mengenal sikap dan prilaku siswa selama kegiatan belajar.
Pemberian pujian dan kritikan membangun dan guru kepada siswa merupakan aspek penting yang harus diperhatikan guru pada saat siswa bekerja dalam ke¬lompoknya. Di samping itu, pada saat kegiatan kelompok berlangsung, guru secara periodik memberikan layanan kepada siswa baik secara individu maupun secara klasikal.
4. Guru memberikan kesempatan kepada siswa dari masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya
Pada saat diskusi di kelas, guru bertindak sebagai moderator. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengoreksi pengertian dan pemahaman siswa terhadap materi atau hasil kerja yang telah diterampilkannya. Pada saat presentasi siswa berakhir, maka guru mengajak siswa untuk melakukan refleksi diri terhadap proses jalannya pembelajaran dengan tujuan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan atau sikap serta perilaku menyimpang yang dilakukan selama pembelajaran.
Di samping itu, guru juga memberikan beberapa penekanan terhadap nilai, sikap, dan perilaku sosial yang harus dikembangkan dan dilatih siswa. Dalam melakukan refleksi, guru tetap berperan sebagai mediator dan moderator aktif. Maksudnya, pengembang ide, saran, dan kritik terhadap proses pembelajaran harus diupayakan berasal dan siswa, kemudian barulah guru melakukan beberapa Perbaikan dan pengarahan terhadap ide, saran, dan kritik yang berkembang.
Abdulhak (2001) menjelaskan, langkah-langkah cooperative learning adalah sebagai berikut: (1) merumuskan secara jelas apa yang harus dicapai peserta belajar, (2) memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang paling tepat (3) menjelaskan secara detail proses pembelajaran kooperatif, yaitu mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang diharapkan, (4) memberikan tugas yang paling tepat dalam pembelajaran, (5) menyiapkan bahan belajar yang memudahkan peserta belajar dengan baik, (6) melaksanakan pengelompokkan peserta belajar, (7) mengembangkan sistem pujian untuk kelompok atau perorangan peserta belajar, (8) memberikan bimbingan yang cukup kepada peserta belajar, (9) menyiapkan instrumen penilaian yang tepat, (10) mengembangkan sistem pengarsipan data kemajuan peserta belajar, baik perorangan maupun kelompok, dan (11) melaksanakan refleksi.
Pembelajaran dalam cooperative learning dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari cooperative learning meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari siswa dan pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu.
Salah satu implikasi teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran adalah penerapan cooperative learning. Dalam cooperative learning siswa atau peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan temannya. Melalui diskusi akan terjalin komunikasi di mana siswa saling berbagi ide atau pendapat. Melalui diskusi akan terjadi elaborasi kognitif yang baik sehingga dapat meningkatkan daya nalar, keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan memberi ke-sempatan pada siswa untuk mengungkapkan pendapatnya.
Beberapa penelitian menunjukkan, model cooperative learning memiliki dampak yang positif terhadap kegiatan belajar mengajar, yakni dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran, meningkatkan ketercapaian TPK, dan dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berikutnya.
Selain itu, cooperative learning merupakan lingkungan belajar di mana siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang heterogen maupun homogen untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Siswa melakukan interaksi sosial untuk mempelajari materi yang diberikan kepadanya, dan bertanggung jawab untuk menjelaskan kepada anggota kelompoknya. Jadi, siswa dilatih untuk berani berinteraksi dengan teman-temannya.
Keseluruhan aspek kooperatif yang dilakukan siswa selama pembelajaran yang berorientasi kooperatif merupakan bagian dari pendidikan akhlak atau moral kepada peserta didik. Dan apabila keterampilan-keterampilan kooperatif terus dilatihkan kepada siswa Selama pembelajaran maka cermin siswa yang berakhlak mulia yang ditunjukkan dengan sikap-sikap positif dapat tercapai
Mengulang Pelajaran Secara Kooperatif
Satu hari sebelum ujian. Para siswa membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengulang pelajaran. Secara bergantian mereka mengajukan pertanyaan kepada kelompok lain. Kelompok yang bisa menjawab pertanyaan mendapat poin untuk pertanya tersebut. Kelompok yang dipanggil pertama kali mendapatkan poin untuk jawaban yang benar. Lalu kelompok kedua me patkan poin apabila bisa menambahkan informasi penting kepada jawaban tersebut.
Dalam vasriasi terhadap mengulangi pelajaran secara kooperatif, guru bisa membuat pertanyaan tambahan. Variasi mengkombinasikan Menomori Orang Bersama dengan mengulang pelajaran secara kooperatif. Yaitu, apabila guru atau siswa menanyakan pertanyaan ulangan, para siswa terlebih dahulu mendiskusikan jawaban mereka bersama teman mereka. Setelah “rembuk bersama" yang singkat ini, sebuah nomor dipanggil : 1, 2, 3, atau 4. Siswa yang memiliki nomor yang dipanggil punya kesempatan untuk maju dengan jawaban yang benar. Nomor kedua dipanggil setelah diperoleh jawaban yang benar, dan siswa lainnya dapat mengumpulkan poin untuk timnya dengan menambahkan informasi pada jawaban benar awal. Bila guru merasa masih ada informasi penting yang harus disebutkan, nomor ketiga boleh dipanggil, dan seterusnya.
Berpikir-Berpasangan-Berbagi
Metode sederhana tetapi sangat bermanfaat dikembangkan oleh Frank Lyman dari University of Maryland. Ketika guru menyam-paikan pelajaran kepada kelas, para siswa duduk berpasangan dengan timnya masing-masing. Guru memberikan pertanyaan kepada kelas. Siswa diminta untuk memikirkan sebuah jawaban dari mereka sendiri, lalu berpasangan dengan pasangannya untuk mencapai sebuah kesepakatan terhadap jawaban. Akhirnya, guru meminta para siswa untuk berbagi jawaban yang telah mereka sepakati dengan seluruh kelas. Untuk informasi lebih lanjut me-ngenai Berpikir-Berpasangan-Berbagi, lihat Lyman (1981).
Manajemen Kelas Kooperatif
Kebanyakan kelas pembelajaran kooperatif berperilaku baik, karena Para siswa termotivasi untuk belajar dan terlibat secara aktif alarn kegiatan-kegiatan pembelajaran. Akan tetapi, banyak guru yang mungkin ingin melakukan langkah-langkah tambahan untuk memastikan bahwa para siswa akan menggunakan waktu kelas kelas dengan efektif dan mengarahkan energi mereka ke arah kegiatan-yang produktif. Bagian ini menggambarkan metode manajemen kelas yang diadaptasi dari Kagan (1992).
Teori : Penghargaan Positif Berdasarkan Kelompok
Pendekatan yang paling efektif terhadap manajemen kelas bagi pembelaran kooperatif adalah untuk menciptakan sebuah sistem penghargaan positif yang didasarkan pada kelompok. Guru memberikan perhatian terhadap perilaku kelompok yang diinginkannya di dalam kelas. Dengan segera kelompok lainnya menjadikan kelompok yang menerima perhatian positif dari tersebut sebagai model.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa dalam sebuah penataan kelas secara keseluruhan, apabila guru memberi perhatian kepada perilaku yang tidak diharapkan seperti rneninggalkan tempat duduk atau berbicara, frekuensi terhadap perilaku terse¬but akan menurun. Tidak menjadi masalah apakah perhatian yang diberikan bersifat negatif atau positif. Maksudnya, bahkan apabila guru memarahi siswa dengan keras apabila mereka bangun dari kursinya tanpa permisi, maka siswa lainnya akan membuat diri mereka menjadi seperti siswa yang menerima per¬hatian tersebut.

Motivasi Belajar

Motivasi berpangkal dari kata motif, yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc Donald ini, maka terdapat tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi, yakni; motivasi mengawali terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan (Sardiman, 2004).
Namun pada intinya dapat disederhanakan bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
Kata "motif, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata "motif itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak.
Menurut Mc Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan Mc Donald ini rnengandung elemen penting.
1. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di dalam sistem "neurophysiological" yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energi manusia (walaupu motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakkannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia.
2. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/"feeling", afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.
3. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi moti¬vasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tu¬juan ini akan menyangkut soal kebutuhan. Dengan ke tiga elemen di atas, maka dapat dikatakan bahwa motivasi itu sebagai sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala keji¬waan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Semua ini didorong karena adanya tujuan, kebutuhan atau keinginan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, apabila ada seseorang siswa, misalnya tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan, maka perlu diselidiki sebab-sebabnya. Sebab-sebab itu biasanya bermacam-macam, mungkin ia tidak senang, mungkin sakit, lapar, ada problem pribadi dan lain-lain. Hal ini berarti pada anak tidak terjadi perubahan energi, tidak terangsang afeksinya untuk melakukan sesuatu, karena tidak memiliki tujuan atau kebutuhan belajar. Keadaan semacam ini perlu dilakukan daya upaya dapat menemukan sebab-musababnya kemudian mendorong seseorang siswa itu mau melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan, yakni belajar. Dengan kata lain, siswa diberikan rangsangan agar tumbuh motivasi pada dirinya. Atau singkatnya perlu diberikan motivasi.
Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiat¬an belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. Dikatakan "keseluruhan", karena pada umumnya ada beberapa motif yang bersama-sama menggerakkan siswa untuk belajar. Motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Ibaratnya seseorang itu menghadiri suatu ceramah, tetapi karena ia tidak tertarik pada materi yang diceramahkan, maka tidak akan mencamkan, apalagi mencatat isi ceramah tersebut. Seseorang tidak memiliki motivasi kecuali karena paksaan atau sekadar seremonial. Seorang siswa yang memiliki inteligensia cukup tinggi, mentak (boleh jadi) gagal karena kekurangan motivasi. Hasil belajar akan optimal kalau ada motivasi yang tepat. Bergayut dengan ini maka kegagalan belajar siswa jangan begitu saja mempersalahkan pihak siswa, sebab mungkin saja guru tidak berhasil dalam memberi motivasi yang mampu membangkitkan semangat dan kegiatan siswa untuk berbuat/belajar. Jadi tugas guru bagaima mendorong para siswa agar pada dirinya tumbuh motivasi.
Persoalan motivasi ini, dapat juga dikaitkan dengan persoalan minat. Minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, apa yang dilihat seseorang sudah tentu akan membangkitkan minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa minat merupakan kecenderungan jiwa se¬seorang kepada seseorang (biasanya disertai dengan perasaan senang), karena itu merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu. Menurut Bernard, minat timbul tidak secara tiba-tiba/spontan, melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar atau bekerja. Jadi jelas bahwa soal minat akan selalu berkait dengan soal kebutuhan atau keinginan. Oleh karena itu yang penting bagaimana menciptakan kondisi tertentu agar siswa itu selalu butuh dan ingin terus belajar.
Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan yang ada dapat tercapai.
Dalam kegiatan belajar, motivasi tentu sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi sendiri ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.
• Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
• Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Fungsi Motivasi
Oemar Hamalik (2002) menyebutkan bahwa ada tiga fungsi motivasi:
1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. "Motivasi dalam hal ini merupakan langkah penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
2. Menentukan arah perbuatan yakni kearah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai denga rumusan tujuannya.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Motivasi inilah yang mendorong mereka untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan.
Begitu juga untuk belajar sangat diperlukan adanya motivasi. Motivation is an essential condition of learning. Hasil akan menjadi optimal, kalau ada motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula pelajaran itu. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa.
Perlu ditegaskan, bahwa motivasi bertalian dengan suatu tujuan. Seperti disinggung di atas, bahwa walaupun di saat siang bolong si abang becak itu juga menarik becaknya karena bertujuan untuk mendapatkan uang guna menghidupi anak dan istrinya. Juga para pemain sepak bola rajin berlatih tanpa mengenal lelah, karena mengharapkan akan mendapatkan kemenangan dalam pertandingan yang akan dilakukannya. Dengan demikian, motivasi mempengaruhi adanya kegiatan.
Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi lain. Motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, dengan adanya usaha yang tekun terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.
Dari beberapa uraian di atas, nampak jelas bahwa motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah, dan sekaligus sebagai penggerak prilaku seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Guru merupakan faktor yang penting untuk mengusahakan terlaksananya fungsi-fungsi tersebut dengan cara dan terutama memenuhi kebutuhan siswa.
Kebutuhan dan Teori Tentang Motivasi
Apa dorongan seseorang melakukan suatu aktivitas? Pertanyaan ini cukup mendasar untuk mengkaji soal teori tentang motivasi. Dari pertanyaan itu kemudian memunculkan jawab dengan adanya "biogenic theories" dan "sociogenic theories”. "Biogenic theories" yang menyangkut proses biologis lebih menekankan pada mekanisme pembawaan biologis, seperti insting dan kebutuhan-kebutuhan biologis. Sedang yang "sosiogenic theories" lebih menekankan adanya pengaruh kebudayaan/kehidupan masyarakat. Dari ke dua pandangan itu dalam perkembangannya akan menyangkut persoalan-persoalan insting,fisiologis, psikologis dan pola-pola kebudayaan. Hal ini menunjukan bahwa seseorang melakukan aktivitas karena didorong oleh adanya faktor-faktor, kebutuhan biologis, insting, dan mungkin unsur-unsur kejiwaan yang lain serta adanya pengaruh perrkembangan budaya manusia. Dalam persoalan ini Skiner lebih cenderung merumuskan dalam bentuk mekanisme stimulus dan respons. Mekanisme hubungan stimulus dan respons inilah akan memunculkan suatu aktivitas.
Kemudian dalam hubungannya dengan kegiatan belajar, yang penting bagaimana menciptakan kondisi atau suatu proses yang mengarahkan si siswa itu melakukan aktivitas belajar. Dalam hal ini sudah barang tentu peran guru sangat penting. Bagaimana guru melakukan usaha-usaha untuk dapat menumbuhkan dan memberikan motivasi agar anak didiknya melakukan aktivitas belajar dengan baik. Untuk dapat belajar dengan baik diperlukan proses dan motivasi yang baik pula. Itulah maka para ahli psikologi pendidikan mulai memperhatikan soal motivasi yang baik. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa motivasi tidak pernah dikatakan baik, apabila tujuan yang diinginkan juga tidak baik. Sebagai contoh kalau motif yang timbul untuk suatu perbuatan belajar itu, karena rasa takut akan hukuman, maka faktor-faktor yang kurang enak itu dilibatkan ke dalam situasi belajar akan menyebabkan kegiatan belajar tersebut menjadi kurang efektif dan hasilnya kurang permanen/tahan lama, kalau dibandingkan perbuatan belajar yang didukung oleh suatu motif yang menyenangkan. Sehingga dalam kegiatan belajar itu kalau tidak melalui proses dengan didasari motif yang baik, atau mungkin karena rasa takut, terpaksa atau sekadar seremonial; jelas akan menghasilkan hasil belajar yang semu, tidak otentik dan tidak tahan lama.
Memberikan motivasi kepada seseorang siswa, berarti menggerakan siswa untuk melakukan sesuatu atau ingin melakukan sesuatu. Pada tahap awalnya akan menyebabkan si subjek belajar merasa ada kebutuhan dan ingin melakukan sesuatu kegiatan belajar.
Seperti telah diterangkan di muka bahwa seseorang melakukan aktivitas itu didorong oleh adanya faktor-faktor kebutuhan biologis, insting, unsur-unsur kejiwaan yang lain serta adanya pengaruh perkembangan budaya manusia. Sebenarnya semua faktor-faktor itu tidak dapat dipisahkan dari soal kebutuhan, kebutuhan dalam arti luas, baik kebutuhan yang bersifat biologis maupun psikologis. Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa motivasi, akan selalu berkait dengan soal kebutuhan. Sebab seseorang akan terdorong melakukan sesuatu bila merasa ada suatu kebutuhan. Kebutuhan ini timbul karena adanya keadaan yang tidak seimbang, tidak serasi atau rasa ketegangan yang menuntut suatu kepuasan. Kalau sudah seimbang dan terpenuhi pemuasannya berarti tercapailah suatu kebutuhan yang diinginkan. Keada¬an tidak seimbang atau adanya rasa tidak puas itu, diperlukan mo¬tivasi yang tepat. "Dissatisfaction is essential element in moti¬vation". Kalau kebutuhan itu telah terpenuhi, telah terpuaskan, maka aktivitas itu akan berkurang dan sesuai dengan dinamika kehidupan manusia, sehingga akan timbul tuntutan kebutuhan yang baru. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan manusia bersifat dinamis, berubah-ubah sesuai dengan sifat kehidupan manusia itu sendiri. Sesuatu yang menarik, diinginkan da dibutuhkannya pada suatu saat tertentu, mungkin di saat laiin tidak lagi menarik dan tidak dihiraukan lagi.
Menurut Morgan dan ditulis kembali oleh S. Nasution, manusia hidup dengan memiliki berbagai kebutuhan.
1. Kebutuhan untuk berbuat sesuatu untuk sesuatu aktivitas
Hal ini sangat penting bagi anak, karena perbuatan itu mengandung suatu kegembiraan baginya. Sesuai dengan konsep ini, bagi orang tua yang memaksa anak untuk diam di rumah saja adalah bertentangan dengan hakikat anak. Activities it self is a pleasure. Hal ini dapat dihubungkan dengan suatu kegiatan belajar bahwa pekerjaan atau belajar itu akan berhasil kalau disertai dengan rasa gembira.
2. Kebutuhan untuk menyenangkan orang lain
Banyak orang yang dalam kehidupannya memiliki motivasi untuk banyak berbuat sesuatu demi kesenangan orang lain. Harga diri seseorang dapat dinilai dari berhasil tidaknya usaha memberikan kesenangan pada orang lain. Hal ini sudah barang tentu merupakan kepuasan dan kebahagiaan tersendiri bagi orang yang melakukan kegiatan tersebut. Konsep ini dapat diterapkan pada berbagai kegiatan, misalnya anak-anak itu rela bekerja atau para siswa itu rajin/rela belajar apabila diberikan motivasi untuk melakukan sesuatu kegiatan belajar untuk orang yang disukainya (misalnya bekerja, belajar demi orang tua, atau orang yang sudah dewasa akan bekerja, belajar demi seseorang calon teman hidupnya).
3. Kebutuhan untuk mencapai hasil
Suatu pekerjaan atau kegiatan belajar itu akan berhasil baik, kalau disertai dengan "pujian". Aspek "pujian" ini merupakan dorongan bagi seseorang untuk bekerja dan belajar dengan giat. Pekerjaan atau usaha belajar itu tidak dihiraukan orang lain/guru atau orang tua misalnya, boleh jadi kegiatan anak berkurang. Dalam kegiatan belajar-mengajar istilahnya perlu dikembangkan unsur reinforcement. Pujian atau reinforcement ini harus selalu dikaitkan dengan prestasi yang baik. Anak-anak harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan sesuatu dengan hasil yang optimal, sehingga ada “sense of succes”. Dalam kegiatan belajar-mengajar, pekerjaan atau kegiatan itu harus dimulai dari yang mudah/sederhana dan menuju sesuatu yang semakin sulit/kompleks.
4. Kebutuhan untuk mengatasi kesulitan
Suatu kesulitan atau hambatan, mungkin cacat, mungkin menimbulkan rasa rendah diri, tetapi hal ini menjadi dorongan untuk mencari kompensasi dengan usaha yang tekun dan luar biasa, sehingga tercapai kelebihan/keunggulan dalam bidang tertentu. Sikap anak terhadap kesulitan atau hambatan ini sebenarnya banyak bergantung pada keadaan dan sikap lingkungan. Sehubungan dengan ini maka peranan motivasi sangat penting da¬lam upaya menciptakan kondisi-kondisi tertentu yang lebih kondusif bagi mereka untuk berusaha agar memperoleh keunggulan.
Kebutuhan manusia seperti telah dijelaskan di atas senantiasa akan selalu berubah. Begitu juga motif, motivasi yang selalu berkait dengan kebutuhan tentu akan berubah-ubah atau bersifat dinamis, sesuai dengan keinginan dan perhatian manusia. Relevan dengan soal kebutuhan itu maka timbullah teori tentang motivasi.
Teori tentang motivasi ini lahir dan awal perkembangannya ada di kalangan para psikologi. Menurut ahli ilmu jiwa, dijelaskan bahwa dalam motivasi itu ada suatu hierarki, maksudnya motivasi itu ada tingkatan-tingkatannya, yakni dari bawah ke atas. Dalam hal ini ada beberapa teori tentang motivasi yang selalu bergayut dengan soal kebutuhan, yaitu:
a. kebutuhan fisiologis, seperti lapar, haus, kebutuhan untuk istirahat, dan sebagainya;
b. kebutuhan akan keamanan (security), yakni rasa aman, bebas dari rasa takut dan kecemasan;
c. kebutuhan akan cinta dan kasih: kasih, rasa diterima dalam suatu masyarakat atau golongan (keluarga, sekolah, kelomok);
d. kebutuhan untuk mewujudkan diri sendiri, yakni mengembangkan bakat dengan usaha mencapai hasil dalam bidang pengetahuan, sosial, pembentukan pribadi.
Di samping itu ada teori-teori lain yang perlu diketahui:
1. Teori insting
Menurut teori ini tindakan setiap diri manusia diasumsikan seperti tingkah jenis binatang. Tindakan manusia itu dikatakan selalu berkait dengan insting atau pembawaan. Dalam memberikan respons terhadap adanya kebutuhan seolah-olah tanpa dipelajari. Tokoh dari teori ini adalah Mc Dougall.
2. Teori fisiologis
Teori ini juga disebutnya "Behaviour theories". Menu teori ini semua tindakan manusia itu berakar pada usaha memenuhi kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan untuk kepentingan fisik. Atau disebut sebagai kebutuhan primer, seperti kebutuhan tentang makanan, minuman, udara dan lain-lain yang diperlukan untuk kepentingan tubuh seseorang. Dari teori inilah muncul perjuangan hidup, perjuangan untuk mempertahankan hidup, struggle for survival.
3. Teori Psikoanalitik
Teori ini mirip dengan teori insting, tetapi lebih ditekankan pada unsur-unsur kejiwaan yang ada pada diri manusia. Bahwa setiap tindakan manusia karena adanya unsur pribadi manusia yakni id dan ego. Tokoh dari teori ini adalah Freud.
Selanjutnya untuk melengkapi uraian mengenai makna dan teori tentang motivasi itu, perlu dikemukakan adanya beberapa ciri motivasi. Motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai).
b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya).
c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah "untuk orang dewasa (misalnya masalah pembangunan agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap setiap tindak kriminal, amoral, dan sebagainya).
d. Lebih senang bekerja mandiri.
e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif).
f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu).
g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.
Apabila seseorang memiliki ciri-ciri seperti di atas, berarti orang itu selalu memiliki motivasi yang cukup kuat. Ciri-ciri motivasi seperti itu akan sangat penting dalam kegiatan belajar-mengajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar akan berhasil baik kalau siswa tekun mengerjakan tugas, ulet dalam memecahkan berbagai masalah dan hambatan secara mandiri. Siswa yang belajar dengan baik tidak akan terjebak pada sesuatu yang rutinitas dan mekanis. Siswa harus mampu mempertahankan pendapatnya, kalau ia sudah yakin dan dipandangnya cukup rasional. Bahkan lebih lanjut siswa harus juga peka dan responsif terhadap berbagai masalah umum, dan bagaimana memikirkan pemecahannya. Hal-hal itu semua harus dipahami benar oleh guru, agar dalam berinteraksi dengan siswanya dapat memberikan motivasi yang tepat dan optimal.
Macam-Macam Motivasi
Berbicara tentang macam atau jenis motivasi ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, motivasi atau motif-motif yang aktif itu sangat bervariasi.
1. Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya.
a. Motif-motif bawaan.
Yang dimaksud dengan motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari. Sebagai contoh misalnya: dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan untuk bekerja, untuk beristirahat, dorongan seksual. Motif-motif ini seringkali disebut motif-motif yang disyaratkan secara biologis. Relevan dengan ini, maka Arden N. Frandsen memberi istilah jenis motif Physiological drives.
b. Motif-motif yang dipelajari.
Maksudnya motif-motif yang timbul karena dipelajari. Sebagai contoh: dorongan untuk belajar suatu cabang ilmu pengetahuan, dorongan untuk mengajar sesuai dalam masyarakat. Motif-motif ini seringkali disebut dengan motif-motif yang diisyaratkan secara sosial. Sebab manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia yang lain, sehingga motivasi itu terbentuk. Frandsen mengistilahkan dengan affiliative needs. Sebab justru dengan kemampuan berhubungan, kerja sama di dalam masyarakat tercapailah suatu kepuasan diri. Sehingga manusia perlu mengembangkan sifat-sifat ramah, kooperatif, membina hubungan baik dengan sesama, apalagi orang tua dan guru. Dalam kegiatan belajar-mengajar, hal ini dapat membantu dalam usaha mencapai prestasi.
Di samping itu Frandsen, masih menambahkan jenis-jenis motif berikut ini:
a. Cognitive motives.
Motif ini menunjuk pada gejala intrinsic, yakni menyangkut kepuasan individual. Kepuasan individual yang berada di dalam diri manusia dan biasanya berwujud proses dan produk mental. Jenis motif seperti ini adalah sangat primer dalam kegiatan belajar di sekolah, terutama yang berkaitan dengan pengembangan intelektual.
b. Self-expression.
Penampilan diri adalah sebagian dari perilaku manusia. Yang penting kebutuhan individu itu tidak sekadar tahu mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi, tetapi juga mampu membuat suatu kejadian. Untuk ini memang diperlukan kreativitas, penuh imajinasi. Jadi dalam hal ini seseorang memiliki keinginan untuk aktualisasi diri.
c. Self-enhancement.
Melalui aktualisasi diri dan pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang. Ketinggian dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu. Dalam belajar dapat diciptakan suasana kompetensi yang sehat bagi anak didik untuk mencapai suatu prestasi.
2. Jenis motivasi menurut pembagian dari Woodworth dan Marquis
a. Motif atau kebutuhan organis, meliputi misalnya kebutuhan untuk minum, makan, bernapas, seksual berbuat dan kebutuhan untuk beristirahat. Ini sesuai dengan Physiological drives dari Frandsen seperti telah disinggung di depan.
b. Motif-motif darurat. Yang termasuk dalam jenis motif ini antara lain: dorongan untuk menyelamatkan diri dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk mmburu. Jelasnya motivasi jenis ini timbul karena rangsangan dari luar.
c. Motif-motif objektif. Dalam hal ini menyangkut kebu¬tuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi, untuk menaruh minat. Motif-motif ini muncul ka¬rena dorongan untuk dapat menghadapi dunia luar secara efektif.
3. Motivasi jasmaniah dan rohaniah
Ada beberapa ahli yang menggolongkan jenis motivasi itu menjadi dua jenis yakni motivasi jasmaniah di motivasi ro¬haniah. Yang termasuk motivasi jasmani seperti misalnya: refleks, insting otomatis, nafsu. Sedangkan yang termasuk motivasi rohaniah adalah kemauan.
Soal kemauan itu pada setiap diri manusia terbentuk melalui empat momen.
a. Momen timbulnya alasan.
Sebagai contoh seorang pemuda yang sedang giat berlatih olah raga untuk menghadapi suatu porseni di sekolahnya, tetapi tiba-tiba disuruh ibunya untuk mengantarkan seseorang tamu membeli tiket karena tamu itu mau kembali ke Jakarta. Si pemuda itu kemudian mengantarkan tamu tersebut. Dalam hal ini si pemuda tadi timbul alasan baru untuk melakukan sesuatu kegiatan (kegiatan mengantar). Alasan baru itu bisa karena untuk menghormati tamu atau mungkin keinginan untuk tidak mengecewakan ibunya.
b. Momen pilih.
Momen pilih, maksudnya dalam keadaan pada waktu ada alternatif-alternatif yang mengakibatkan persaingan di antara alternatif atau alasan-alasan itu. Kemudian seseorang menimbang-nimbang dari berbagai alternatif untuk kemudian menentukan pilihan alternatif yang akan dikerjakan.
c. Momen putusan.
Dalam persaingan antara berbagai alasan, sudah barang tentu akan berakhir dengan dipilihnya satu alternatif. Sa¬tu alternatif yang dipilih inilah yang menjadi putusan untuk dikerjakan.
d. Momen terbentuknya kemauan.
Kalau seseorang sudah menetapkan satu putusan untuk dikerjakan, timbullah dorongan pada diri seseorang untuk bertindak, melaksanakan putusan itu.
4. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik
a. Motivasi intrinsik.
Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah mo¬tif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh seseorang yang senang membaca, tidak usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Kemudia kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakkannya (misalnya kegiatan belajar), maka yang dimaksud dengan motivasi intrinsik ini adalah ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan belajar itu sendiri. Sebagai contoh konkret, seorang siswa itu melakukan belajar, karena betul-betul ingin mendapat pengetahuan, nilai atau keterampilan agar dapat berubah tingkah lakunya secara konstruktif, tidak karena tujuan yang lain-lain. Intrinsic motivations are inherent in the learning situations and meet pupil-needs and purposes. Itulah sebabnya motivasi intrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas be¬lajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkait dengan aktivitas belajarnya. Seperti tadi dicontohkan bahwa seseorang belajar, memang benar-benar ingin mengetahui segala sesuatunya, bukan karena ingin pujian atau ganjaran.
Perlu diketahui bahwa siswa yang memiliki moti¬vasi intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu. Satu-satunya jalan untuk menuju ke tu-juan yang ingin dicapai ialah belajar, tanpa belajar ti¬dak mungkin mendapat pengetahuan, tidak mungkm menjadi ahli. Dorongan yang menggerakkan itu bersumber pada suatu kebutuhan, kebutuhan yang berisikan keharusan untuk menjadi orang yang terdidik dan ber pengetahuan. Jadi memang motivasi itu muncul dan kesadaran diri sendiri dengan tujuan secara esensial, bukan sekadar simbol dan seremonial.
b. Motivasi ekstrinsik.
Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Seba¬gai contoh seseorang itu belajar, karena tahu besok paginya akan ujian dengan harapan mendapatkan nilai baik, sehingga akan dipuji oleh pacarnya, atau temannya. Jadi yang penting bukan karena belajar ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan nilai yang baik, atau agar mendapat hadiah. Jadi kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya, tidak secara langsung bergayut dengan esensi apa yang dilakukannya itu. Oleh ka¬rena itu, motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimu¬lai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar. Perlu ditegaskan, bukan berarti bahwa motivasi eks¬trinsik ini tidak baik dan tidak penting. Dalam kegiatan belajar-mengajar tetap penting. Sebab kemungkinan besar keadaan siswa itu dinamis, berubah-ubah, dan juga mungkin komponen-komponen lain dalam proses bela¬jar-mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa, se¬hingga diperlukan motivasi ekstrinsik.
Bentuk-Bentuk Motivasi di Sekolah
Di dalam kegiatan belajar-mengajar peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Dengan Motivasi, pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar.
Dalam kaitan itu perlu diketahui bahwa cara dan jenis menumbuhkan motivasi adalah bermacam-macam. Tetapi untuk motivasi ekstrinsik kadang-kadang tepat, dan kadang-kadang juga bisa kurang sesuai. Hal ini guru harus hati-hati dalam menumbuhkan dan memberi motivasi bagi kegiatan belajar para anak didik. Sebab mungkin maksudnya memberika motivasi tetapi justru tidak menguntungkan perkembangan belajar siswa.
Ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah.
1. Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar, yang utama justru untuk mencapai angka/nilai yang baik. Sehingga siswa biasanya yang dikejar adalah nilai ulangan atau nilai-nilai pada raport angkanya baik-baik.
Angka-angka yang baik itu bagi para siswa merupakan moti¬vasi yang sangat kuat. Tetapi adajuga, bahkan banyak siswa bekerja atau belajar hanya ingin mengejar pokoknya naik kelas saja. Ini menunjukkan motivasi yang dimilikinya kurang berbobot bila dibandingkan dengan siswa-siswa yang menginginkan angka baik. Namun demikian semua itu harus diingat oleh guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum merupakan hasil bela¬jar yang sejati, hasil belajar yang bermakna. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh guru adalah bagaimana cara memberikan angka-angka dapat dikaitkan dengan values yang terkandung di dalam setiap pengetahuan yang diajarkan kepada para siswa sehingga tidak sekadar kognitif saja tetapi juga keterampilan dan afeksinya.
2. Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan dak berbakat untuk sesuatu pekerjaan tersebut. Sebagai contoh hadiah yang diberikan untuk gambar yang terbaik mungkin tidak akan menarik bagi seseorang siswa yang tidak memiliki bakat menggambar.
3. Saingan/kompetisi.
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat moti¬vasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Memang unsur persaingan ini banyak dimanfaatkan di dalam dunia industri atau perdagangan, tetapi ju¬ga sangat baik digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar siswa.
4. Ego-involvement.
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting. Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang baik dengan menjaga harga dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah simbol kebanggaan dan harga diri, begitu juga untuk siswa si subjek belajar. Para siswa akan belajar dengan keras bisa jadi karena harga dirinya.
5. Memberi ulangan.
Para siswa akan menjadi giat belajar kalau mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu, memberi ulangan ini juga merupakan sarana motivasi. Tetapi yang harus diingat oleh guru, adalah jangan terlalu sering (misalnya setiap hari) karena bisa membosakan dan bersifat rutinitis. Dalam hal ini guru harus juga terbuka, maksudnya kalau akan ulangan harus diberitahukan kepada siswanya.
6. Mengetahui hasil.
Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa grafik hasil belajar meningkat, maka ada motivasi pada diri siswa untuk terus belajar, dengan suatu harapa hasilnya terus meningkat.
7. Pujian.
Apabila ada siswa yang sukses yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, perlu diberikan pujian. Pujian ini adalah bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motiva¬si yang baik. Oleh karena itu, supayapujian ini merupakan motiva¬si, pemberiannya harus tepat. Dengan pujian yang tepat akan memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga diri.
8. Hukuman.
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Oleh karena itu guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman.
9. Hasrat untuk belajar.
Hasrat untuk belajar, berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hal ini akan lebih baik, bila dibandingkan segala sesuatu kegiatan yang tanpa maksud. Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
10.Minat
Di depan sudah diuraikan bahwa soal motivasi sangat erat hubungannya dengan unsur minat. Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pokok. Proses belajar itu akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat. Mengenai minat ini antara lain dapat dibangkitkan dengan cara-cara sebagai berikut:
a. membangkitkan adanya suatu kebutuhan.
b. menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau;
c. memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik;
d.menggunakan berbagai macam bentuk mengajar.
11.Tujuan yang diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan merupakan alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena dirasa sangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Di samping bentuk-bentuk motivasi sebagaimana diuraikan di atas, sudah barang tentu masih banyak bentuk dan cara yang bisa dimanfaatkan. Hanya yang penting bagi guru adanya bermacam-macam motivasi itu dapat dikembangkan dan diarahkan untuk dapat melahirkan hasil belajar yang bermakna. Mungkin pada mulanya, karena ada sesuatu (bentuk motivasi) siswa itu rajin belajar, tetapi guru harus mampu melanjutkan dari tahap rajin belajar itu bisa diarahkan menjadi kegiatan belajar yang bermakna sehingga hasilnya pun akan bermakna bagi kehidupan si subjek belajar.
Di dalam kegiatan belajar-mengajar peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Dengan Motivasi, pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar.
Dalam kaitan itu perlu diketahui bahwa cara dan jenis menumbuhkan motivasi adalah bermacam-macam. Tetapi untuk motivasi ekstrinsik kadang-kadang tepat, dan kadang-kadang juga bisa kurang sesuai. Hal ini guru harus hati-hati dalam menumbuhkan dan memberi motivasi bagi kegiatan belajar para anak didik. Sebab mungkin maksudnya memberika motivasi tetapi justru tidak menguntungkan perkembangan belajar siswa.
Cara Memotivasi Siswa Belajar
Memotivasi belajar penting artinya dalam proses belajar siswa, karena fungsinya yang mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar. Karena itu, prinsip-prinsip penggerakan motivasi belajar sangat erat kaitannya dengan prinsip-prinsip belajar itu sendiri. Di bawah ini akan diuraikan beberapa prinsip belajar dan motivasi, supaya mendapat perhatian dari pihak perencanaan khususnya dalam rangka merencanakan kegiatan belajar mengajar.
1. Kebermaknaan
Siswa akan suka dan bermotivasi belajar apabila hal-hal dipelajari mengandung makna tertentu baginya. Kemaknaan sebenarnya sifat personal karena dirasakan sebagai sesuatu yang penting bagi seseorang. Ada kemungkinan pelajaran yang disajikan oleh guru tidak dirasakan sebagai bermakna berusaha menjadikan pelajarannya dengan makna bagi semua siswa. Caranya ialah dengan mengaitkan pelajarannya dengan pengalaman masa lampau siswa, tujuan-tujuan masa mendatang, dan minat serta nilai-nilai yang berarti bagi mereka.
a. Hubungan pengajaran dengan pengalaman para siswa
Pelajaran akan bermakna bagi siswa jika guru berusaha menghubungkannya dengan pengalaman masa lampau, atau pengalaman-pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya. Misalnya guru menjelaskan suatu topik dalam pelajaran fisika, maka guru dapat menghubungkannya dengan pengalaman siswa misalnya tentang kegiatan-kegiatan fisika yang telah mereka lakukan sebelumnya. Cara itu berdasarkan pada asumsi bahwa apa-apa yang telah mereka miliki sebagai pengalaman akan merangsang motivasinya untuk mempelajari masalah tersebut lebih lanjut.
b. Hubungan pengajaran dengan minat dan nilai siswa
Sesuatu yang menarik minat dan nilai tertinggi bagi siswa berarti bermakna baginya. Karena itu, guru hendaknya berusaha menyesuaikan pelajaran (tujuan, materi, dan metodik) dengan minat para siswanya. Caranya antara lain memberikan kesempatan kepada para siswa berperan serta memilih.
2. Modelling
Siswa akan suka memperoleh tingkah laku baru bila disaksikan dan ditirunya. Pelajaran akan lebih mudah dihayati dan diterapkan oleh siswa jika guru mengajarkannya dalam bentuk tingkah laku model, bukan dengan hanya menceramahkan/menceritakannya secara lisan. Dengan model tingkah laku itu, siswa dapat mengamati dan menirukan apa yang diinginkan oleh guru. Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
a. Guru supaya menetapkan aspek-aspek penting dari tingkah laku yang akan dipertunjukkan sebagai model. Jelaskan setiap tahap dan keputusan yang akan ditempuh agar mudah diterima siswa.
b. Siswa yang dapat menirukan model yang telah dipertunjukkan
hendaknya diberikan ganjaran yang setimpal.
c. Model harus diamati sebagai suatu pribadi yang lebih tinggi daripada siswa sendiri, yang mempertunjukkan hal-hal yang lebih untuk ditiru oleh siswa.
d. Hindarkan jangan sampai tingkah laku model berbenturan denga nilai-nilai atau keyakinan siswa sendiri.
e. Modelling disajikan dalam teknik mengajar atau dalam keterampilan-keterampilan sosial.
3. Komunikasi Terbuka
Siswa lebih suka belajar bila penyajian terstruktur supaya pesan-pesan guru terbuka terhadap pengawasan siswa. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk melaksanakan komunikasi terbuka, yaitu sebagai berikut.
1)Kemukakan tujuan yang hendak dicapai kepada para siswa agar mendapat perhatian mereka.
2)Tunjukkan hubungan-hubungan, kunci agar siswa benar-benar memahami apa-apa yang sedang diperbincangkan.
3)Jelaskan pelajaran secara nyata, diusahakan menggunakan media instruksional sehingga lebih menjelaskan masalah yang sedang dibahas.
Tujuan-tujuan apa yang diinginkannya, bahan pelajaran apa yang hendak dipelajari, dan kegiatan-kegiatan apa yang ingin dilakukannya. Kesempatan itu berarti menyalurkan minat siswa untuk belajar lebih baik. Jika hal itu dapat dilakukan, maka berarti siswa akan menjadi lebih bermotivasi belajar dan mengajar pengajaran yang disajikan oleh guru.
Hubungan pengajaran dengan masa depan siswa sebagai berikut :
Pelajaran dirasakan akan bermakna bagi diri siswa apabila pelajaran itu dapat dilaksanakan atau digunakan pada kehidupannya sehari-hari di luar kelas pada masa mendatang. Untuk itu, guru hendaknya menyajikan macam-macam gagasan tentang macam-macam situasi yang mungkin ditemui oleh siswa pada waktu mendatang. Untuk itu mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Bila siswa telah menyadari kemungkinan aplikasi pelajaran tersebut maka sudah tentu motivasi belajar akan tergugah dan merangsang kegiatan belajar lebih efektif.
4. Prasyarat
Apa yang telah dipelajari oleh siswa sebelumnya mungkin merupakan faktor penting yang menentukan berhasil atau gagalnya siswa belajar. Kesempatan belajar bagi siswa yang telah memiliki informasi dan keterampilan yang mendasari perilaku yang baru akan lebih besar. Karena itu, guru hendaknya berusaha mengetahui/mengenali prasyarat-prasyarat yang telah mereka miliki. Siswa yang berada dalam kelompok yang berprasyarat akan mudah mengamati hubungan antara pengetahuan yang sederhana yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang kompleks yang akan dipelajari. Berbeda halnya dengan siswa yang belum memiliki prasyarat yang diperlukan, ternyata lebih sulit menerima pelajaran baru dengan kemungkinan timbulnya kegagalan dan frustasi.
Untuk mengenali apakah siswa telah memiliki prasyarat yang dibutuhkan itu, maka guru dapat melakukan analisis terhadap tugas, topik, dan tujuan-tujuan yang dicapai. Kemudian guru memberikan tes mengenai prasyarat tersebut. Bertitik tolak dari keadaan siswa ter¬sebut, guru akan lebih mudah menyesuaikan pelajarannya sehingga membangkitkan motivasi belajar yang lebih tinggi di kalangan siswa.
5. Novelty
Siswa lebih senang belajar bila perhatiannya ditarik oleh penyajian-Penyajian yang baru (novelty) atau masih asing. Sesuatu gaya dan alat yang baru atau masing-masing bagi siswa akan lebih menarik perhatian mereka untuk belajar, misalnya yang belum pernah dilihat sebelumnya. Cara-cara tersebut misalnya menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi, berbagai alat bantu, tugas macam-macam kegiatan yang mungkin asing bagi mereka.
6. Latihan/Praktek yang Aktif dan Bermanfaat
Siswa lebih senang belajar jika mengambil bagian yang aktif dalam latihan/praktek untuk mencapai tujuan pengajaran. Praktek secara aktif berarti siswa mengerjakan sendiri, bukan mendengarkan ceramah dan mencatat pada buku tulis. Pengajaran hendaknya disesuaikan dengan prinsip ini, dengan cara sebagai berikut.
1)Usahakan agar siswa sebanyak mungkin menjawab pertanyaan- pertanyaan atau memberikan respons terhadap pertanyaan guru, sedangkan siswa lainnya menulis jawaban-jawaban dan menanggapinya secara lisan.
2)Mintalah agar siswa menyusun atau menata kembali informasi yang diperolehnya dari bacaan.
3)Sediakan laboratorium dan situasi praktek lapangan berdasarkan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
Untuk mengaktifkan siswa mempraktekkan hal-hal yang sedang dipelajarinya, guru dapat menggunakan macam-macam metode, seperti tanya jawab dan mengecek jawaban rekan-rekannya dan dilanjutkan dengan diskusi, melaksanakan simulasi, dan melaksanakan metode tutorial.
7. Latihan Terbagi
Siswa lebih senang belajar jika latihan dibagi-bagi menjadi sejumlah kurun waktu yang pendek. Latihan-latihan secara demikian akan lebih meningkatkan motivasi siswa belajar dibandingkan dengan latihan yang dilakukan sekaligus dalam jangka waktu yang panjang. Cara yang terakhir itu akan melelahkan siswa, bahkan mungkm menyebabkan mereka tidak menyenangi pelajaran, serta mengalami kekeliruan dalam mempraktekkannya.
8. Kurangi secara Sistematik Paksaan Belajar
Pada waktu mulai belajar, siswa perlu diberikan paksaan atau pemompaan. Akan tetapi bagi siswa yang sudah mulai menguasai pelajaran, maka secara sistematik pemompaan itu dikurangi akhimya lambat laun siswa dapat belajar sendiri. Harus dihindarkan jangan sampai siswa mau belajar tergantung pada pemompaan saja. Lagi pula pemompaan itu jangan terlalu segera dihilangkan karena mungkin siswa mendapat kekeliruan. Cara itu memang perlu dilaksanakan dalam rangkaian meningkatkan motivasi belajar siswa.
9. Kesembilan, Kondisi yang Menyenangkan
Siswa lebih senang melanjutkan belajarnya jika kondisi pengajaran menyenangkan. Maka guru dapat melakukan cara-cara berikut.
1)Usahakan jangan mengulangi hal-hal yang telah mereka ketahui, karena akan menyebabkan kejenuhan.
2)Suasana fisik kelas jangan sampai membosankan.
3)Hindarkan terjadinya frustasi dikarenakan situasi kelas yang tak menentu atau mengajukan permintaan yang tak masuk di akal, dan di luar jangkauan pikiran manusia.
4)Hindarkan suasana kelas yang bersifat emosional sebagai akibat adanya kontak personal.
Untuk menciptakan kondisi yang menyenangkan dapat dilakukan dengan cara-cara berikut.
1)Siapkan tugas-tugas yang menantang selama diselenggarakannya latihan.
2)Berilah siswa pengetahuan tentang hasil-hasil yang telah dicapai oleh masing-masing siswa.
3)Berikan ganjaran yang pantas terhadap usaha-usaha yang dilakukan oleh siswa.
Dari beberapa uraian di atas, nampak jelas bahwa motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah, dan sekaligus sebagai penggerak prilaku seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Guru merupakan faktor yang penting untuk mengusahakan terlaksananya fungsi-fungsi tersebut dengan cara dan terutama memenuhi kebutuhan siswa.