Selasa, 03 Februari 2009

Cerbung Golden Village "part 2"

Siang itu sudah bisa dipastikan kantin Mang Diun penuh sesak. Cowok-cewek rela mengantri, berjubel ria demi mendapatkan soto Mang Diun yang terkenal lezatnya. Bahkan mereka tak keberatan walau harus makan sambil berdiri karena tak kebagian tempat duduk. Beruntung Mona datang lebih awal di saat kantin itu belum ramai benar.
“Golden Village?” Florence mengernyit usai Mona menjelaskan kisahnya. Dan teman sebangku Mona itu otomatis menguncir rambut ikalnya yang kecoklatan begitu pesanan mereka tiba.
Mona mengiyakan dan mengeluarkan bola kacanya dari sebuah mini bag, “Sebenarnya lima tahun yang lalu gue amnesia. Kata nyokap, gue kecelakaan dan pas gue bangun, gue udah ada di ruang ICU salah satu RS swasta di Jakarta. Masalahnya, keluarga gue nggak pernah cerita apa-apa soal masa lalu gue. Kayaknya emang ada sesuatu yang mereka sembunyiin. Tapi apa?”
Florence mengambil alih Golden Village dari tangan sobatnya. Dan mata biru cewek blesteran Indo-Prancis itu meneliti dengan seksama ke dalam benda yang sama sekali tak terlihat janggal itu, “Gue ngerti kenapa ini dinamai Golden Village,” ujarnya menggoyang-goyangkan bola kaca Mona sampai glitter emas di dalamnya malayang indah berkilauan di antara miniature desa, lengkap dengan bukit kecil dan sungainya.
“Ya,” gumam Mona merenung, “Bola kaca itu udah bertengger di kamar gue sejak gue pulang dari rumah sakit. Gue juga nggak inget apa-apa. Gue pikir itu cuma penghias ruangan biasa. Tapi sejak mimpi gue semalem, gue jadi ngerasa Golden Village pasti punya arti tertentu dalam hidup gue meski gue nggak tahu apa.”
“Apa lo yakin?” tanya Florence mengembalikan milik Mona, “Mungkin aja itu cuma mimpi. Kan lo tau kalo mimpi itu kembangnya orang tidur,” ucapnya seraya menyuapkan sesendok soto ayam ke mulutnya.
“Flo, gue nggak pernah seyakin ini,” Mona berkeras. Ia seakan telah melupakan makanan kesukaannya yang sudah sejak tadi bersanding di depannya, “Jangan-jangan ingatan gue mulai pulih nih,” serunya antusias.
Florence langsung tersedak hingga cairan itu tersembur kemana-mana. Seruan-seruan seperti, ‘Jorok banget sih lo’, ‘Jijey booo’ dan yang semacam itu tak dihiraukannya.
“Bisa jadi tuh,” Florence menenggak es jeruknya dalam satu tegukan dan terbatuk beberapa kali sebelum kembali bicara, “Tapi menurut gue sih mendingan lo nggak usah ngomong dulu sama keluarga lo kalo lo udah mulai inget lagi.”
“Maksud lo?” tanya Mona keheranan, “Bukannya itu kabar bagus. So kenapa gue nggak boleh bilang ke bonyok gue?”
Florence menangkupkan jemarinya di atas meja, “Denger ya Mon, keluarga lo nggak cerita soal masa lalu lo karena mereka nggak mau lo tau soal itu. Ngerti?”
Mona tercenung. Perkataan Florence seperti sebuah pukulan keras yang menghantam alam bawah sadarnya dengan telak—nyeri, “Of course,” pekiknya terkejut menyadari kenyataan itu, “Apa mungkin cowok itu benar-benar ada? Cowok di mimpi gue.”
“Seandainya iya, mungkin keluarga lo nggak mau lo deket sama tuh cowok.”
“Apa mereka sengaja mau jauhin gue sama dia ya?” tebak Mona ternganga tak percaya. Kenapa kebenaran selalu saja menyakitkan?
Florence cuma angkat bahu, “Let’s find out.”
Mona terpekur, sibuk dengan berbagai pikiran yang memenuhi kepalanya.
Bersambung ...

Tidak ada komentar: