NURI DAN BURUNG GEREJA
Pagi-pagi benar, burung gereja telah pergi, keluar dari sarangnya. Ia terbang membelah langit dan hinggap di puncak tiang listrik bersama sederatan burung gereja lainnya. Kala fajar menyingsing, saat yang tepat baginya. Butir-butir beras yang berserakan adalah sasarannya. Ia pun terbang menukik dan mendarat di atas tanah yang becek oleh guyuran hujan. Semalaman hujan terus turun tak kunjung henti. Namun, pagi ini cuaca tampaknya cukup cerah.
Baginya mencari makan di pagi hari sudah menjadi rutinitasnya. Kadang ia berpikir sandainya ia secantik Merpati, Cendrawasih, Beo dan burung-burung lainnya, pasti akan ada manusia yang mau merawatnya. Andai ada manusia yang memeliharanya, ia tak perlu repot mencari makanan dalam pagi yang dingin seperti ini. Ia akan punya sangkar yang hangat dan nyaman. Namun hal-hal seperti itu rasanya tak mungkin terjadi pada seekor burung gereja.
Ia pun mematuk biji demi biji beras. Beberapa burung gereja lainnya tampak tengah mengikuti tindakannya. Salah satu burung gereja bercuit riang dan yang lain pun menyahut. Ia berhenti mematuk ketika didengarnya suara nyanyian panjang yang memecah keheningan. Nyanyian seekor burung yang terdengar lebih menyerupai sebuah ratapan penuh kesedihan
Ia pun terbang menembus udara beku dan kabut pekat. Cahaya mentari masih begitu redup, hangatnya tak seberapa. Tetes-tetes embun pun bergayut di tiap pucuk dedaunan yang hijau segar. Si burung gereja mencoba mencari asal suara ratapan itu. Dan Ia pun berhenti di depan sebuah rumah besar layaknya istana.
Ia menelengkan kepalanya, memandang berkeliling. Dan matanya yang bulat coklat menangkap bayangan seekor Nuri cantik berwarna kuning dengan semburat hijau di sayapnya. Burung Nuri itu terus mengeluarkan nyanyian sendunya seakan tidak menyadari kehadiran si burung gereja.
“Kelihatannya kau sedang bersedih,” kata burung gereja tiba-tiba, membuat Nuri itu menghentikan nyanyiannya.
“Kau? Bagaimana bisa kau ke sini?” tanya Nuri keheranan. Ia tampak begitu cantik dalam sangkar emas yang besar, sementara itu burung gereja terus memperhatikan sangkar yang berkilauan tertimpa cahaya matahari
Andai saja aku punya tempat tinggal seindah ini dan bukannya sarang dari jerami kering. Pikir burung gereja iri.
“Hei, kau belum jawab pertanyaanku,” seru Nuri dengan suara melengking tinggi, “Kenapa kau ada di sini?”
“Aku mendengar nyanyianmu,” ucap burung gereja akhirnya, “Nyanyianmu terdengar begitu sedih, jadi aku kemari.”
Wajah nuri seketika itu kembali muram dan ia menggelelng, “Yah kau benar.”
“Memangnya apa yang membuatmu murung seperti itu?”
“Aku ingin pergi dari sini.”
Burung gereja terkejut mendengar ucapan Nuri, “Kenapa? Bukankah seharusnya kau bahagia menjadi hewan peliharaan. Tak perlu kedinginan. Makanan selalu tersedia kapanpun kau mau.”
Nuri langsung melotot marah, “Tapi di sini aku tak punya teman. Aku sangat kesepian—”
“Begitu?”
“Hei, apa kau belum mengerti juga,” kata Nuri bertambah kesal, “Hal terpenting bagi makhluk Tuhan adalah kebebasan. Itu yang tidak aku miliki, kau mesti bersyukur bisa pergi kemana pun kau suka, melihat pemandangan-pemandangann indah dan punya banyak teman. Sementara aku, terus terkurung dalam sangkar ini.”
Burung gereja hanya terdiam. Kata-kata Nuri begitu menyentuh hatinya. Ia tak pernah mengira hidup sebagai hewan peliharaan akan seperti itu.
Nuri benar, Tuhan menciptakan setiap makhluknya baik dalam wujud yang cantik ataupun buruk pasti ada maksudnya. Seperti halnya Nuri yang cantik tapi tidak bahagia karena terus terkurung dalam sangkar emasnya.
Walaupun burung gareja tidak secantik burung-burung lainnya, tapi ia memiliki kebebasann dan itu adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya. Dan setiap makhluk Tuhan seharusnya bersyukur atas setiap yang dimilikinya.
Karya Sri Sugiarti
atty_131186@yahoo.com
Selasa, 03 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar