AYAHKU TUKANG BECAK
Rena berjalan tergopoh-gopoh melintasi halaman sekolah. Matahari siang itu begitu terik. Ia menenteng tas bututnya dan menerobos kerumunan siswa yang tengah asyik berbincang-bincang. Bel pulang telah berdering sejak 15 menit yang lalu. Dan Rena ingin segera pulang. Sore itu ia harus belajar kelompok di rumah Dina yang ada di pusat kota. Jadi ia tak boleh membuang waktu lagi. Ia berpikir mungkin ada baiknya jika ia menunggu bus di perempatan jalan. Dengan begitu, ia akan bisa lebih cepat sampai di rumah. Namun sebuah seruan membuatnya menoleh.
“Rena!” laki-laki tua itu melambai, lengkap dengan kaosnya yang compang-camping dan becak tuanya yang sangat usang.
Rena ternganga dan semakin mengayunkan langkah lebarnya, “Pak, ngapain ada di sini?” tandasnya dengan muka bersemu merah karena malu. Ia celingukan ke sana kemari, berharap tak bertemu salah seorang dari sahabatnya. Bersekolah di SD negeri favorit itu dengan bea siswa saja sudah cukup mebuatnya minder. Apalagi kalau teman-temannya tahu ayahnya tak lebih dari tukang becak keliling.
“Katanya kamu hari ini mesti pulang cepat. Jadi Bapak jemput kamu,” wajah Bapak yang hitam terbakar sinar matahari kini tampak berkeringat dan kelelahan. Kerutan-kerutan tergores tegas di dahinya, menandakan usianya yang kian lanjut, “Ayo kita pulang.”
Rena naik ke becak reyot itu dengan menggerutu. Kadang ia berpikir, hidup sungguh tidak adil. Kenapa ia harus terus-terusan miskin. Untuk membeli pakaian saja orang tuanya tak sanggup. Seragamnya juga bekas pakai kakaknya dan sekarang sudah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Kenapa ia tak bisa seperti teman-temannya, mendapatkan apa saja yang ia mau?
Sore itu udara cukup panas dan suasana hati Rena masih belum pulih juga sejak kejadian tadi siang. Belajar kelompok di rumah Dina pun rasanya jadi tidak menyenangkan lagi.
“Ren, tadi siang siapa yang jemput kamu? Itu ayah kamu ya?” tanya Dina tiba-tiba, menyebabkan Rena tersentak kaget. Dari mana Dina tahu?
Gadis kecil itu langsung gelagapan. Kini rahasianya telah terbongkar. Dan ia takut teman-teman akan menjauhinya karena ia miskin, “Itu—” gumamnya terbata-bata. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Kalau tukang becak itu benar ayah kamu, nggak papa kok. Nggak usah malu,” sahut Silvi ikut menanggapi.
“Iya, harusnya kamu bersyukur, Ren, punya ayah sebaik itu. Kan jarang-jarang ada ayah yang perhatian banget sama anaknya sampai bela-belain jemput ke sekolah,” timpal Nanda yang tengah mengerjakan soal terakhir PR Matematikanya, “Contohnya aku. Papaku terlalu sibuk dan nggak pernah peduliin aku. Lagi-lagi ke luar negeri dan kita ketemu cuma sebulan sekali.”
Dina mengangguk setuju, “Bener tuh. Orang tuaku bercerai 5 tahun yang lalu dan aku nggak pernah lagi ketemu Papa.”
“Dan aku nggak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah,” Silvi mendesah sedih, “Katanya ayahku meninggal sejak aku masih bayi.”
Mendadak suasana hening dan jadi tidak mengenakkan. Rena terdiam dan tertunduk semakin dalam. Ucapan teman-temannya mengenai tepat di hatinya. Rupanya selama ini ia telah berprasangka buruk. Seharusnya ia tak perlu malu kalau ayahnya hanya seorang tukang becak. Yang penting itu kan pekerjaan yang halal. Dan ketakutannya sangat tidak beralasan. Buktinya teman-temannya masih mau menerima dia walaupun dia miskin. Dina, Silvi dan Nanda memang anak orang kaya tapi mereka tidak punya ayah sebaik Bapak. Dan untuk pertama kalinya Rena merasa jadi orang paling beruntung sedunia. Ia masih memiliki orang tua yang lengkap. Dan setiap hari ia selalu mendapat kasih sayang dari keluarga yang utuh.
Dalam hati Rena berjanji. Mulai saat ini ia tidak akan malu lagi punya ayah tukang becak. Justru ia sangat bangga dengan pekerjaan Bapak.
Karya Sri Sugiarti
Selasa, 03 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar