“Gue kasih ini buat lo,” cowok ABG itu menyerahkan benda bulat dari kaca yang kini tampak bersinar keemasan.
Mona hanya bisa menatapnya bingung. Rambut panjangnya yang lurus melayang lembut dalam hempasan angin, “Apaan nih?”
“Golden Village.”
“Golden Village?” Mona tertawa pelan dan menerima pemberian itu.
Anak laki-laki itu mengangguk mantap, “Bola kaca itu gue namai Golden Village,” sahutnya berbinar-binar. Ia pun meraih tangan mungil Mona dan mendaratkan sebuah kecupan di atasnya, “Just for you my Princess. It’s shinning like your smile. Gue harap Golden Village ini bisa buat lo inget terus sama gue.”
Mona terpaku. Diam! Hatinya keruh.
Mendadak sekelilingnya tampak gelap. Awan hitam berarak cepat ke arahnya diselingi angin kencang yang berdesir. Tapi kali ini lebih dingin. Dan beku! Dedaunan rontok begitu hebatnya dan rumput hijau di sekelilingnya mulai berlapiskan es. Mona masih terpana dengan tubuh kaku sementara laki-laki itu melangkah mundur, kian menjauhinya. Mona ingin berteriak memanggil namun mulutnya terkunci rapat. Lidahnya teramat kelu dan yang terdengar hanya sebuah rintihan pelan.
“Oh, God!” gadis itu terjaga, bermandikan keringat. Nafasnya menderu dan selama beberapa saat ia mematung. Duduk dengan memeluk lututnya yang gemetar di kamarnya yang gelap. Tampak pilar cahaya mentari yang menembus celah korden, “Cuma mimpi!” gumamnya berusaha meyakinkan diri. Meskipun begitu, kegundahannya belum sirna juga.
Sekian kali ia memimpikan hal yang sama, cowok yang sama. Di lain kesempatan cowok itu hanya tampak sekelebat, atau sekedar tersenyum padanya dan melambaikan tangan. Tapi kian hari apa yang dilihatnya semakin jelas. Mona pun jadi ragu, apa benar itu cuma sekedar mimpi. Dan yang jadi pertanyaan, siapa cowok yang selalu hadir dalam mimpinya itu?
Mona mendesah dan bergegas bangkit. Dengan satu gerakan ia menggeliat, menyibakkan selimutnya yang kini basah. Langkah kecilnya membawa Mona menyibakkan tirai satin bergaya Spanyol itu. Cahaya yang menyilaukan segera menyambutnya, bagai puluhan jarum yang menusuk kelopak matanya. Nyeri! Sejenak ia mencoba menyesuaikan diri dan menghirup sejuknya udara pagi. Namun ketika ia membalikkan badan, matanya tertuju pada sesuatu yang bersinar di atas meja riasnya.
“Golden Village,” serunya nyaris berteriak dan dengan tergopoh-gopoh ia menyambar bola kaca itu.
Bersambung ...
Selasa, 03 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar