Selasa, 03 Februari 2009

Cerpen 4

Loving You



Aku berbaring di kursi malas berlengan panjang, membiarkan diriku dinaungi rimbunnya pohon mangga di depan rumah. Kenyamanan seketika datang menyambut dan hanya satu kata yang sempat terlintas ‘a long summer’. Jeans selutut dan yellow shirt yang kukenakan, sekelebat seperti neon yang menyala.
Angin berdesir. Ngilu! Entah kenapa pikiranku kembali ke saat-saat setahun yang lalu. Keadannya persis seperti ini, dalam hembusan angin kumbang yang kering dan sejuk berbaur teriknya jalanan di siang hari.
Aku melirik arlojiku, pukul 14.00, jam pulang sekolah. Aku ingat betul betapa sengsaranya harus menunggu mikrolet bersama teman seperjuangan berseragamkan putih abu-abu. Mesti rela gosong terpanggang matahari, bersahabat dengan asap hitam knalpot, debu dan polusi. Belum lagi ketika di dalam mikrolet yang penuh, sumpek dan mewajibkanku untuk bergelantungan kayak monyet. Bau asam keringat, parfum murahan yang menyengat dan amisnya ikan di drum besar yang dibawa nelayan mixed jadi satu.
Masa SMA adalah hal terindah dalam hidup seseorang. Begitulah kata pepatah. Dulu aku tak pernah menganggap itu benar adanya. Namun sekarang aku berubah pikiran. Seandainya waktu bisa diputar.
“Apa iya saat SMA itu yang paling berkesan?” tanyaku merenung kala aku dan teman se-genk yang beda kelas kumpul di depan lab bahasa.
Tyas tertegun, “Kayaknya biasa aja deh. Nggak ada yang istimewa,” sahutnya mengerutkan kening, “Menurut lo?” ia mengedikkan kepalanya pada Yusie yang tengah menghabiskan es cendolnya.
“Ya, kita nggak bisa jawab sekarang. Mungkin beberapa tahun lagi kita baru nyadar kalo masa SMA itu berkesan banget.”
Andra mengangguk setuju, “That’s right.”
“Kayaknya gue bakal kangen deh,” gumamku menghembuskan nafas panjang. Dan yang lain cuma diam. Sedih!
Kini aku duduk di bangku kuliah. Aku rindu sobat-sobatku, SMA-ku, guru-gurunya yang killer, bahkan aku rindu soto Bu Karjo di kantin sekolah. Tapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, aku merindukan Frans! Dia adalah kakak kelasku, pemain inti tim putra dan berhasil melakukan tujuh kali three points berturut-turut dalam turnament basket antar SMA. So pasti SMA-ku berhasil menyabet juara 1.
Frans!
Aku seperti pungguk yang merindukan bulan. Tampang pas-pasan, otak cuma lumayan dan kulit nggak putih-putih amat. Jangankan bisa jadian sama Frans, tuh cowok ngelirik aku aja nggak. Frans yang cakep laksana model, atlet, berprestasi juga di akademik. Sedangkan aku bukan siapa-siapa. Menyedihkan memang! Tapi beginilah nasib si itik buruk rupa. Lagi pula aku sadar diri kok, cinta nggak harus memiliki. Bisa lihat Frans tiap hari aja aku udah seneng. Apalagi aku tahu, akhir-akhir ini Frans lagi dekat sama cewek yang menjabat sebagai ketua OSIS.
Aku tersenyum kecut, “Nasib,” ucapku lirih, mengasihani diri sendiri. Aku tak bisa lupa hari itu, pesta kembang api di pasar malam.
Aku, Tyas, Yusie dan Andra excited banget, yah sekalian bisa jadi alasan buat having fun. Dinginnya udara malam dan sesaknya taman hiburan itu tak menghalangi niat kami sedikit pun. Namun entah kenapa ada yang kurang. Mendadak resah itu menghinggapi, “Guys, seandainya di sini ada Frans, lebih asyik kali ya,” ucapku sambil lalu di tengah hingar bingar lagu remix dari sound system.
“Yeee mau lo,” cibir Yusie menjulurkan lidah.
“Kasihan tuh, mupeng banget,” timpal Andra ikut-ikutan meledek.
“Kalo gue bisa ketemu Frans di sini, gue mau deh nadzar puasa sebulan.”
“Lo ngomong jangan sembarangan,” tandas Tyas mengeluarkan jurus bijaknya, “Nadzar tuh ibarat janji lho. Dan janji adalah hutang.”
Aku langsung manyun dan mengibaskan tanganku dengan gaya mencemooh, “Nggak mungkin Frans datang ke acara kayak gini. Dia kan alim banget. Gue yakin …” belum juga ucapanku selesai, mataku berhasil menangkap bayangan sesosok cowok tinggi, atletis and handsome.
“Kenapa lo?” tanya Andra keheranan melihat ekspresi wajahku yang jadi pucat, gemetar.
“Kayak baru liat setan aja,” celetuk Tyas, “Ada apa sih?”
“Mampus deh gue,” umpatku setengah terisak.
“Kok jadi mau nangis gitu,” Yusie makin kebingungan.
Aku mengulurkan tanganku yang bergetar dan menunjuk cowok itu, “Lo semua nggak liat, itu Frans,” pekikku nyaris histeris.
Hening!
Mata ketiga sobatku tertuju pada Frans yang terlihat sedang bersenda gurau dengan teman satu timnya. Dan …
“HUAHAHAHAHA,” tawa Yusie, Andra dan Tyas seketika meledak dan aku kian bersungut-sungut.
“Bener banget tuh, lo mampus tiga belas,” komentar Andra yang masih cekikikan dengan suara Mak Lampirnya.
“Kok kalian malah ngetawain gue sih,” tukasku merengut.
“Ya habisnya, salah lo sendiri kan,” sahut Tyas menyalahkan, “Gue tadi bilang apa? Jangan asal ngomong. Kena batunya deh.”
Sebagai hukuman atas kelancangan lidahku, aku pun mesti memenuhi nadzarku untuk puasa sebulan. Berat? Of course! Puasa sehari aja bikin aku ngiler terus, apa lagi sebulan. But anyway, mengingat peristiwa itu selalu saja membuatku tersenyum geli. Frans memang masa lalu, bahkan saat Frans lulus SMA, aku masih tak punya nyali juga untuk mengungkapkan perasaanku. Did I regret it? Perhaps!
“Kira-kira sekarang Frans kuliah di mana ya?” desahku letih. Sementara itu, Sang surya mulai tergelincir ke barat, menandakan senja akan segera tiba.
Aku membenarkan letak bantalku di kursi itu dan kian terbuai dalam belaian angin lembut. Dahan pohon mangga berderak dan berayun elok. Tiba-tiba mataku demikian berat ketika kantuk itu perlahan menyergap. Aku tidak tahu berapa lama aku terlelap ketika ku dengar denting petikan senar gitar yang disusul sebuah suara fals. Efeknya, top hits milik boy band Ungu jadi kedengaran ancur banget dinyanyiin orang tak dikenal itu.

Andai ku tahu, kapan tiba ajalku
Ku akan memohon Tuhan tolong panjangkan umurku
Andai ku tahu, kapan tiba masaku
Ku akan memohon Tuhan jangan Kau ambil nyawaku
Aku takut akan semua dosa-dosaku
Aku takut dosa yang terus membayangiku
Andai ku tahu malaikatMu ‘kan menjemputku
Ijinkan aku mengucap kata tobat padaMu
Aku takut akan semua dosa-dosaku
Aku takut dosa yang terus membayangiku
Ampuni aku dari segala dosa-dosaku
Ampuni aku, menangisku bertobat padaMu
Aku manusia yang takut neraka
Namun aku juga tak pantas di surga

“Busyet, nih pengamen bener-bener ganggu tidur gue,” gerutuku, terjaga. Dengan batin dongkol aku pun bangkit dan memungut serpihan receh di saku celanaku, “Nih, Mas,” ujarku menyodorkan dua keping lima ratusan. Dan orang di depanku tersentak kaget.
Kenapa nih orang? Gumamku dalam hati.
Laki-laki itu semakin tertunduk dan menarik ujung topinya hingga nyaris menyembunyikan seluruh wajahnya, “Makasih, Mba.”
Aku manggut-manggut. But there’s something wrong. Apa ya?
“Eh, tunggu, Mas,” cegahku sebelum orang itu berlalu, “Kayaknya wajah lo nggak asing deh. Apa gue kenal lo?”
“Maaf, mungkin Mba salah orang,” kata pengamen itu terburu-buru.
Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan bingung seperti orang kutuan. Aku yakin pernah lihat cowok itu. Tapi dimana ya? Cukup lama aku mencoba memutar memoriku dan …
“OH GOD!” aku terperangah ngeri. Tanpa sadar aku sudah berlari mengejar laki-laki yang berjalan amat cepat itu, “Tunggu, gue tau lo siapa. Lo Frans kan?”
Langkah cowok itu terhenti dan dia membalikan punggungnya—diam sesaat lalu tertunduk dalam, “Ya gue Frans,”ucapnya tak lebih dari bisikan.
Aku mengatupkan mulutku yang ternganga. Sungguh sulit dipercaya, Frans yang dulu begitu tampan kini terlihat mengerikan. Tubuh tingginya hanya tersisa sebagai tulang terbungkus kulit. Matanya cekung di balik wajah tirus mirip tengkorak. Dengan bibir hitam yang menandakan kalau dia pecandu rokok.
“Lo—lo kok bisa sampe gini,” seruku masih begitu shock, “Maksud gue—dulu lo kan—” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Yang bisa kulakukan hanya membasahi kerongkonganku yang kering kerontang.
Frans tertawa getir, “Maksud lo, kenapa gue bisa berubah gini?”
Aku meringis, sungguh tak enak hati. Sedetik berikutnya aku menyesal, lagi-lagi tak bisa mengerem mulut bawelku ini.
“Hidup gue emang berubah. Gue nge-drugs dan tiga bulan yang lalu gue dikeluarin dari kampus karena ketauan jadi pengedar. Gue juga diusir dari rumah. Bonyok pasti malu banget punya anak kayak gue,” ceritanya dengan nada pahit yang tergores tegas.
“OH!” aku nggak tahu harus bereaksi bagaimana. Di satu sisi aku ikut prihatin. Pergaulan rupanya telah menciptakan sosok Frans yang jauh dari segala kebaikan. Tapi kenapa rasa cintaku pada Frans kini pudar begitu aja ya?
Ada kalanya hidup perlu membenahi diri. Aku juga mesti bertanya pada hatiku lagi. Apa iya aku mau mengharapkan cinta Frans yang dulu pernah memandangku sebelah mata? Apa iya aku mau mengharapkan cinta Frans yang pecandu narkoba dan jadi pengamen? Ehm—may be not. Bisa-bisa aku jadi ikut berantakan.
I’m so sorry, Frans …



Karya Sri Sugiarti
atty_131186@yahoo.com

Tidak ada komentar: