Selasa, 03 Februari 2009

Cerpen 6

PRETTY OR UGLY


Masa Orientasi Siswa akhirnya usai sudah. Satu minggu yang teramat berat. Pergantian dari fase SMP ke SMA. Menyisakan duka? Tentu! Berpisah dengan teman se-geng dan mesti beradaptasi di lingkungan baru yang tak seorang pun bisa menjamin akan lebih menyenangkan daripada masa SMP dulu. Sungguh masa-masa sulit yang harus dilalui Zia. Dan gadis itu menghela nafas dengan berat.
Hari pertama tahun ajaran baru diawali dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Zia menempatkan dirinya di pojok kelas. Sendiri! Rasanya ia sungguh tak tahan harus mendengar bisik-bisik mencemooh dan tatapan jijik dari sekelilingnya. Lima menit yang lalu …
Zia mengayunkan langkah kakunya dan menghampiri satu demi satu kursi yang masih kosong, “Permisi, gue boleh duduk di situ?” tanyanya sembari bersikap seramah mungkin. Namun bukan jawaban yang ia peroleh, seorang cewek jangkung langsung bergidik ngeri seperti baru saja melihat hantu.
Hati Zia semakin kecut. Ia pun beranjak menghampiri tempat duduk yang lain dan melayangkan pertanyaan yang sama. Kali ini seorang cowok pura-pura muntah di hadapannya.
“Udah lo duduk sono aja, jauh-jauh dari kita. Bau tau,” teriak cewek lain yang berambut kribo.
Zia hanya bisa menggigit bibirnya yang bergetar. Matanya telah memanas dan ia berusaha keras agar kristal bening itu tak menyeruak. Ia sudah memperkirakan hal ini sebelumnya. Tapi ia tak pernah menyangka, kenyataannya jauh lebih menyakitkan dari apa yang dibayangkannya. Hingga akhirnya ia jadi penghuni sudut kelas. Di sinilah ia sekarang! Meratapi nasib!
Bel masuk memekik sejadi-jadinya, menandakan pelajaran harus segera dimulai. Bu Endang, guru Bahasa Indonesia seakan memaksakan setiap siswanya untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Alasannya ‘tak kenal maka tak sayang’. Klise banget!
Tibalah pada giliran Zia. Sudah dapat dipastikan, puluhan pasang mata tak bisa lepas dari sosok gadis itu. Dan hanya ada satu kesamaan, mereka seperti sedang menatap makhluk luar angkasa atau monster yang sedang dijadikan bahan eksperimen. Bahkan Bu Endang sampai meneguk ludah dan berkeringat dingin. Bukankah seharusnya Zia yang merasa panas dingin?
Zia berjalan semakin tertunduk dalam. Ia meremas ujung jemarinya yang membeku. Rasa gugup telah menyumbat tenggorokannya sampai ia sangat sulit untuk bernafas.
“Pe—perkenalkan nama saya—Prettyzia Azmaningtyas—” Zia tergagap. Tak sekali pun ia berani menegakkan kepalanya. Belum juga ia selesai berkata, sebuah celetukan tajam menggema di ruangan itu.
“Nama sih pretty, tampang ugly,” seru cowok yang tadi menghina Zia dengan berpura-pura muntah. Dan …
GEERRRR!
Tawa seisi kelas pun meledak yang kemudian disusul ejekan yang lain.
“Heran deh gue, kok ada ya manusia jelek kayak lo.”
“Pantesnya sih lo di kebun binatang atau di museum purba, bukan di sekolah elit kayak gini. Lo ngaca dulu dong.”
“Lo sadar nggak sih kalo muka lo tuh—SEREEEMM!”
Mereka pun semakin terpingkal-pingkal. Kelas yang tenang kini riuh oleh siswa yang tak henti-hentinya mengomentari betapa mengerikannya Zia. Tangis Zia pun tak terbendung lagi dan ia berdiri terpaku dengan air mata yang telah berurai.
“Maaf Bu, saya permisi,” kata Zia minta diri. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Endang yang masih tampak shock, gadis itu segera berhambur keluar. Dan sorak sorai ber’huuu’ ria mengiringi kepergiannya.
Di toilet sekolah ia masih terisak. Cermin yang super bersih itu memantulkan bayangan yang membuatnya semakin terbenam dalam tangisan panjang, “Seandainya mereka tahu apa yang menimpa gue,” ratapnya menyesali diri. Ia meraba wajahnya yang terlihat begitu hancur dan menjijikan hingga ia tak sanggup untuk tidak menjerit keras-keras.
BRAAKK!
Pintu toilet terbuka seketika menyebabkan Zia terlonjak kaget, “Gue denger teriakan. Lo nggak papa?” tanya seorang cowok yang masuk dengan nafas terengah-engah.
Zia berbalik dan cowok itu langsung berjengit, mengerutkan hidung. Reaksi yang sangat wajar bagi siapa saja yang melihat Zia. Tapi tetap saja semua itu membuat Zia sakit hati.
“Lo nggak papa?” tanya cowok itu lagi, berusaha bersikap sebiasa mungkin.
Zia mengangguk dan mengusap pipinya yang sekarang tak lebih dari gumpalan daging lengket dan kasar.
“Oya, gue Irfan. Sorry, harusnya gue nggak masuk toilet cewek. Tadi pas kebetulan lewat, gue denger lo teriak, jadi gue kira—” Irfan angkat bahu, merasa tak enak hati.
“Thanks,” Zia memaksakan sebuah senyum. Setidaknya ia bersyukur masih ada manusia yang tidak lari ataupun menghinanya begitu melihat wajahnya yang demikian rusak.
“Gue belum tau nama lo.”
“OH!” Zia tersentak, tak terpikirkan sedikit pun cowok itu berkenan mengenal dirinya. Sungguh keajaiban! Kedengarannya hiperbol memang, tapi begitulah adanya, “Gue—Prettyzia, tapi panggil aja gue Zia.”
“Sweet name,” puji Irfan.
Zia mendesah sedih seraya berkata, “Tapi nggak semanis tampang gue.”
“Lo jangan pesimis gitu dong,” ujar Irfan mencoba menyemangati, “Asal lo tau, ibarat buah mengkudu, dari luar kelihatan jelek. Baunya juga bikin orang eneg. Tapi ternyata khasiatnya, jangan ditanya. Lo ngerti kan maksud gue?” lanjutnya melankolis.
Zia hanya bisa memandang cowok di depannya dengan berkaca-kaca, “Ya, gue paham maksud lo,” ucapnya terharu.
“Intinya gue mau ngomong, sekurang apapun fisik lo, lo mesti terima dengan lapang dada. Gue yakin, di balik sosok Zia pasti ada mutiara yang bersinar. Itu yang harus lo tunjukin, sisi baik lo dan segala kelebihan lo. Sekarang saatnya lo tutup mata dan telinga. Nggak usah peduliin orang mau bilang apa. Dengerin aja kata hati lo. So don’t give up. Ok?!”
Zia mengiyakan dengan hati trenyuh. Sebelumnya tak pernah ada cowok yang memujinya. Tak pernah ada yang melihat keindahan dalam dirinya. Orang-orang itu selalu saja memandangnya dengan sebelah mata. Namun sekarang saatnya bangkit dari segala keterpurukan. Zia sungguh bahagia sampai butir hangat itu tak tertahankan dan terus mengalir indah bagai sungai-sungai di surga.
***
Zia menghembuskan nafas tertahan. Itu adalah email dari Kak Sam untuk kakak kembarnya, Prettania Azmaningtyas atau kerap dipanggil Nia. Bukan hanya sekali, tangannya selalu gemetar tiap menggerakkan mouse untuk membuka internet. Rasa sesal dan pedih itu menyusup di dadanya. Harusnya ia tak berhak membaca pesan itu, namun bagaimanapun juga Kak Nia takkan bisa lagi menerima email dari Kak Sam.
Dear Nia,
Apa kabar? Gue terus-terusan mikirin lo. Kalo keadaan gue sih baik. Email gue yang lalu kok nggak dibalas sih? Lo nggak pernah hubungi gue dan nomer Hp lo juga nggak aktif lagi. Lo nggak kangen ya sama gue (Hehe bercanda).
Nia, nggak tau kenapa, akhir-akhir ini perasaan gue nggak enak banget. Gue jadi pengin balik ke Indonesia, tapi mungkin liburan nanti. Lo mesti nunggu gue ya …
Kemarin gue ke East Coast bareng temen. Indah banget! Gue jadi inget Ancolnya Jakarta, tempat kita biasa ngedate dulu. Bedanya di sini lautnya jauh lebih bersih. Di East Coast juga ada kebunnya lho, banyak pohon-pohon gede and rindang abis kayak di Kebun Raya. Gue jadi ngerasa seperti berada di dua tempat yang berbeda. Sebenarnya gue pengin banget suatu saat nanti ngajak lo ke sini. Kalo bisa sih lo juga sekolah di Singapore bareng gue. Tapi semuanya terserah lo aja. Udah dulu ya, gue tunggu kabar dari lo. Love you so much.
Zia merebahkan diri dengan mata terpejam. Dadanya kian sesak mengingat hari naas itu. Yah, tepat sebulan yang lalu. Hidupnya yang semula nyaris sempurna, lebur bersama jilatan lidah api raksasa yang melahap seluruh kebahagiaannya.
Malam itu, yang Zia ingat adalah kepulan asap pekat yang membangunkan tidurnya. Ia terbatuk, tak bisa bernafas. Udara menjadi sangat panas diiringi jeritan-jeritan ketakutan memecahkan keheningan. Dalam kepanikan luar biasa, keluarganya berusaha menyelamatkan diri. Namun Zia masih terjebak. Si jago merah menyala di pintu kamarnya dan Zia menggedor-gedor jendela yang berterali itu, meminta pertolongan. Ia menangis, seakan bisa melihat maut yang sudah di depan matanya. Kak Nia yang sudah berada di luar rumah bersama orang tuanya, kembali masuk. Semua itu demi Zia. Demi menyelamatkan adiknya.
Kebakaran itu telah merampas istana, harta benda, kecantikan dan kepopulerannya. Tapi lebih dari segalanya, takdir merenggut Kak Nia dari sisi Zia. Zia semakin terisak. Luka bakar di wajahnya amat nyeri. Namun bekas dan rasa sakit di hatinya karena kepergian Kak Nia takkan pernah pudar oleh waktu sekalipun, “Kak Nia, gue harus gimana? Gue nggak sanggup bilang ke Kak Sam kalo Kak Nia udah meninggal. Kenapa Kak, kenapa semua ini mesti terjadi?” ratapnya pilu. Ia memeluk lututnya dan sepanjang sore itu ia lewati dengan tangisan.
***
“Jadi lo belum ngomong ke Kak Sam soal kakak kembar lo itu?” tanya Irfan prihatin setelah Zia menyelesaikan ceritanya.
Gadis itu hanya menggeleng lemah, “Gue nggak tega. Kak Sam itu cinta banget sama Kak Nia. Sampe sekarang aja gue masih sulit terima kenyataan kalo Kak Nia udah nggak ada,” gumamnya.
Irfan duduk termangu di taman berumput sebelah Zia, membiarkan dirinya terpapar hangatnya sinar mentari pagi, “Boleh gue minta nomer Hp Kak Sam?”
“Untuk apa?” Zia mendongak kaget.
“Just believe me,” kata Irfan berusaha meyakinkan. Cukup lama Zia terheran-heran dan berpikir, tapi akhirnya dia menyerah juga. Semenit kemudian hubungan telepon pun tersambung ke Singapore.
“Halo, Samuel ya?” tanya Irfan mengawali pembicaraan dan cowok itu langsung menekan tombol loud speaker agar Zia juga bisa ikut mendengarkan.
“Irfan, lo mau ngapain?” desis Zia panik. Dan Irfan cuma menoleh ke arah Zia yang duduk dengan gelisah.
‘Iya, ini siapa?’ terdengar sahutan dari seberang telepon.
“Gue Irfan di Jakarta. Gue tau nomer lo dari Nia.”
‘Nia? Maksud lo, Nia cewek gue?’
“Bener banget, tapi kayaknya ada yang harus diralat nih,” Irfan berpaling dengan sebelah alis terangkat. Dilihatnya Zia yang ternganga cemas, “Mungkin dulu Nia cewek lo, tapi sekarang dia cewek gue,” lanjutnya tajam.
Zia langsung tersedak mendengarnya, “Fan,” pintanya setengah memelas, berharap Irfan segera mengakhiri pembicaraan itu. Tapi rupanya Irfan tak peduli.
‘Maksud lo?’ tanya Kak Sam tak mengerti.
“Gue sayang Nia dan gue udah jadian kira-kira sebulan yang lalu.”
‘Nggak mungkin, gue nggak percaya. Gue tau, di situ pasti ada Nia. Gue pengin ngomong sama dia.’
Irfan mengedikkan kepala dan menyerahkan ponselnya pada Zia. Zia masih belum tersadar dari keterkejutannya tapi gadis itu seolah tahu apa yang harus dilakukan.
“Sam—maafin gue,” kata Zia dengan suara bergetar.
‘Nia, gue yakin lo nggak mungkin selingkuh kan?’
“Gue—gue udah duain lo.”
‘Please don’t lie to me,’ Kak Sam mengiba sampai Zia merintih perih.
“Sam, gue nggak cinta lagi sama lo. Apa lo pikir gue mau pacaran long distance terus? Gue capek, Sam,” pekik Zia berusaha menahan tangis tapi air matanya jatuh juga. Ia bisa membayangkan Kak Sam yang begitu terluka. Tapi akan jauh lebih menyakitkan kalau Kak Sam tahu soal kematian Kak Nia.
‘Tapi Nia—’
“Lo mesti lupain gue. Ngerti!” Zia menukas dingin walaupun benaknya bagai tercabik. Semakin ia mendengarkan Kak Sam bicara, ia semakin menderita. Keberadaan Kak Sam hanya akan membuatnya teringat pada Kak Nia. Sakit!
Usai percakapan itu, tanpa sadar Zia menangis di bahu Irfan lama sekali, “Udah Zi,” bisik Irfan membelai lembut rambut Zia, “Maaf gue nggak bermaksud bohongin Kak Sam. Gue cuma nunda aja, sampe lo siap ngomong yang sebenarnya. Lo dan Kak Sam wajib terima kenyataan ini. Sepahit apapun. Meski kesannya kejam, tapi itulah hidup.”
“Gue tau,” Zia menengadah dengan pipi yang telah basah dan ia tersenyum, “Thanks ya lo udah bantuin gue.”
“Tapi dari semua yang gue omongin ke Kak Sam, ada satu hal yang gue nggak bohong,” ucap Irfan lirih. Zia mengerutkan kening, bingung. Dan cowok itu mencoba menghindar dari tatapan Zia, “Gue sayang lo, Zi.”
Zia tercengang, tak sanggup berkata-kata. Tak pernah seorang pun menyatakan cinta padanya, apalagi dengan kondisinya yang sekarang buruk rupa. Hati Zia perlahan meleleh bersama air mata bahagia.


Karya Sri Sugiarti
atty_131186@yahoo.com

Tidak ada komentar: