Masih dengan seragam sekolah Nancy memasuki rumah dengan gontai. Ransel berat yang disandangnya seakan mengiris kulit di bahunya. Ia merasa begitu lelah dan juga lapar. Dari kejauhan indra pembaunya bisa mencium aroma ayam panggang yang sedap.
Ia menengok ke arah jam tua antik kala di dengarnya dentang jam yang menggema di ruang tamu itu. Dan sekarang seluruh lampu di rumah mungil itu telah dinyalakan. Ia bisa membayangkan apa yang akan dikatakan bila Monda nanti.
Nancy kembali membenarkan letak ranselnya dan melintasi ruang tamu itu, memasuki ruang keluarga dan sudah hendak naik ke kamarnya di lantai 2 ketika terdengar seruan melengking tinggi itu.
“Kau mengendap endap seperti pencuri,” bibi Monda memicingkan mata dan menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wanita paruh baya itu melepas celemek yang dipakainya. Tubuhnya yang pendek dan gempal selalu membuatnya mendongak saat berbicara dengan Nancy. Dan hal itu membuatnya semakin terlihat angkuh. Rambutnya yang mulai beruban kini disanggul asal asalan.
“Maaf, bibi, tadi ada pelajaran tambahan di sekolah. Dan karena tadi pagi bibi tidak memberikan uang saku, jadi Nancy pulang jalan kaki,” gumamnya dengan suara sedikit gemetar.
Bibi Monda langsung berdecak pinggang, “Oh ... jadi kau menyalahkanku atas keterlambatanmu,” tukasnya kesal, “bilang saja kalau kau keluyuran sepulang sekolah.”
Nancy benar benar tak suka dengan kata kata kasar yang selalu dilontarkan bibi Monda ataupun tatapan matanya yang selalu penuh curiga. Tapi baginya tidak ada pilihan lain, seandainya ia bisa berkumpul dengan keluarganya, tentu ia akan lebih bahagia.
“Sungguh bibi ....” Nancy mencoba membela diri tapi lagi lagi ucapannya terpotong oleh seruan bibi angkatnya lagi.
“Sudah sudah, aku nggak mau dengar apa apa lagi,” dengan geram bibi Monda mengangkat kedua tangannya, “Sekarang lebih baik kau cari kayu bakar untuk perapian sebelum aku nanti kedinginan.
“Tapi bibi, sekarang kan sudah malam, Nancy takut kalau harus ke hutan malam malam begini,” protes gadis itu dengan air muka cemas. Tanpa sadar ia telah mencengkram tali ransel kuat kuat hingga buku buku jarinya memutih. Ia tahu ia takkan bisa menolak perintah bibi Monda. Tapi baginya, pergi ke hutan malam malam begini untuk mencari kayu bakar adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
“Dengar ya anak manja,” Bibi Monda menggertakan giginya, wajahnya mulai merah padam, “Aku mengasuhmu bukan untuk jadi pembangkang. Apa kau tidak tahu kalau sekarang aku sudah kedinginan. Kau ingin aku mati ya.”
Nancy cepat cepat menggeleng. Ia memang tahu kalau bibi Monda tak tahan udara dingin. Dan mungkin kayu bakar di perapian sudah habis. Bibi Monda pasti tak bermaksud jahat. Semua ini salahnya, kalau saja ia tak pulang semalam ini tentu bibi Monda tak mengomel seperti ini.
“Kau mau mencari kayu bakar atau tidak,” bentak bibi Monda membuat Nancy terlonjak.
“I Iya bi,” Nancy tergagap, “tapi Nancy mandi dan ganti baju dulu ya.”
Bola mata Bibi Monda melebar, “Aku minta kau cari kayu bakar sekarang sebelum terlalu malam.”
Nancy membuka mulutnya sudah hendak akan bicara tapi ia segera mengurungkan niatnya, “Baik bibi,” ujarnya kemudian dan dengan lunglai diletakkannya ranselnya di kursi ruang keluarga.
“Ingat, kalau kau tidak mendapat cukup kayu bakar, kau tidak akan mendapat makan malam.”
Selasa, 03 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar