Detik terus merambah di jam mungil itu, pelan tapi pasti. Langit semakin kelam dan Mona bisa mendengar samar-samar gemuruhnya hujan di luar sana. Ia termenung di meja belajar dengan Golden Village yang besarnya tak lebih dari kepalan tangannya.
“Jadi namaku Mona ya, Ma?” tanya gadis itu pada Sang nyokap di minggu pertama setelah ia sadar dari komanya.
“Iya, Sayang.”
“Ma, cerita dong kenapa aku bisa sampai kecelakaan begini,” tuntut Mona lagi.
Dan wanita paruh baya itu langsung berkaca-kaca, “Mama juga nggak tau.”
“Aku pingin cepet sembuh, terus sekolah lagi deh. Tapi aku sekolah dimana ya? Kok aku nggak inget apa-apa,” kata Mona muram, “Kenapa temen-temenku nggak ada yang jenguk aku?”
“Sayang, tolong jangan tanya lagi. Mama nggak sanggup jawabnya,” ratap Mama lalu isak tangisnya pun pecah.
Mona akan terdiam. Ia tak ingin melihat Mama bersedih lagi. Ia selalu menerima penjelasan apapun dari orang tuanya. Ia tak berani membantah, apalagi meragukannya. Namun sekarang, sesuatu seakan mengusik benaknya. Ia tahu ada yang salah.
Mona menghembuskan nafas panjang dan cukup lama memandangi bola kaca itu, ‘—gue harap Golden Village ini bisa buat lo inget terus sama gue,’ begitulah yang dikatakan cowok itu dalam mimpinya.
“Masalahnya gue amnesia,” erang Mona memijit keningnya dengan frustasi, “Lo siapa sih? Apa bener kalo lo tuh bagian dari masa lalu gue?”
Hening! Yang terdengar hanya suara guntur yang menggelegar. Mona menimang Golden Villagenya, “Seperti apa kata Flo, I have to find out the truth,” gumamnya penuh tekad. Seketika kilat menyambar, menerangi kamarnya yang gelap gulita.
Bersambung ...
Selasa, 03 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar