Rabu, 13 Agustus 2008

Cerpen 3

HIKMAH DI HARI KEMENANGAN

Aku ingin seperti sungai yang memberikan kehidupan untuk sekitarnya. Andai aku setegar rumput teki yang selalu bangkit sesudah terinjak. Biarlah aku kecil laksana bunga melati, hingga di akhir nanti harapku kan membawa keharuman hati nan abadi. Dan kelak aku akan menggoreskan kenangan indah di tiap sanubari …

***

Aku masih terlalu muda hingga kupikir aku masih memiliki hidup yang amat panjang. Bisa saja itu benar dan bisa saja hal itu salah. Dan aku akan menceritakan sedikit pengalamanku. Peristiwa ini terjadi sekitar tiga tahun yang lalu tepatnya tanggal 13 November 2004.

“Allahu akbar … Allahu akbar … Allahu akbar …”

Senja telah berakhir dan malam kini menjelang. Langit temaram berangsur memudar dalam warna ungu kehitaman. Sayup-sayup nan jauh di sana terdengar suara bedug bertalu-talu diiringi lantunan indah gema takbir di penghujung Ramadhan.

Ada rasa miris yang menyelinap di hati. Seumur hidup aku tak pernah menyangka akan melewatkan Idul Fitri di rumah sakit. Seperti saat ini, aku masih terbaring lemah lengkap dengan infus yang menggantung dan kanula nasal bertengger di hidung. Bahkan untuk sekedar memiringkan badan aku pun tak bisa. Tepatnya satu minggu ini kondisi fisikku menurun drastis. Mendadak perut sebelah kanan terasa sakit sampai kolik. Ditambah demam, anoreksia dan muntah-muntah yang membuatku membatalkan puasa dengan terpaksa.

Berbagai pemeriksaan dilakukan mulai dari USG, tes laboratorium dan tes urine, akhirnya dokter mendiagnosaku terkena radang usus buntu atau istilah kerennya appendicitis. Keadaan umumku ternyata lebih parah dari yang ku kira dengan terjadinya infiltrate dan riwayat penyakit jantungku yang terdahulu. Awalnya aku berharap tidak perlu melalui tahap operasi. Namun rupanya mau tak mau tetap saja perlu dilakukan laparotomi. Dan dokter menegaskan hanya memberiku batas waktu dua hari. Selebihnya appendiksku bisa pecah sewaktu-waktu jika tidak segera diambil. Akibatnya akan sangat buruk bahkan fatal.

Mendengar kata ‘operasi’ saja menyebabkanku merinding, apalagi kalau harus mengalaminya sendiri. Sempat terbersit amarah, kekecewaan dan reaksi penolakan terhadap apa yang terjadi. Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kenapa aku sakit justru menjelang lebaran yang jatuh tepat di hari ulang tahunku. Sungguh kebetulan yang sangat ironis. Menurutku Allah sangat tak adil dengan memberikan hadiah ultah terburuk berupa appendicitis ini. Apalagi di saat bedug mulai bertabuh. But I don’t have any choice.

Post operasi aku sempat kritis dan harus mendekam di Intensive Care Unit (ICU). Berapa lama? Aku tidak tahu! Apa yang tampak olehku cuma kegelapan. Hitam! Itulah yang kurasakan di detik-detik yang menyakitkan. Bercampur dengan ketakutan yang luar biasa. Mata ini terpejam, mulut terkunci rapat, bibir tak dapat berkata dan tubuh demikian kaku. Hanya terdengar isak tangis orang tua yang selalu setia mendampingiku. Satu-satunya yang menandakan aku masih bernyawa tak lain denyut jantungku dalam garis-garis hijau di monitor echodoppler.

Untuk pertama kalinya aku baru tahu kalau kematian sesungguhnya amat dekat dengan kita. Kematian memeluk setiap manusia tanpa mereka sadari. Saat itu aku berpikir bahwa semuanya telah sangat terlambat untuk menyesali. Namun Allah kembali menunjukan segenap kasih sayangNya padaku. Aku akhirnya sadar dan aku seperti mendapat kehidupanku yang kedua. Mungkin Allah memang memberiku kesempatan untuk memperbaiki segala sesuatu yang pernah kulakukan.

Akhirnya kondisiku cukup baik untuk dipindahkan ke ruang perawatan. Meski tetap harus dengan bantuan oksigen untuk bernafas. Dan seperti saat ini, aku cuma bisa memandang iri keluar jendela. Masih lekat dalam memoriku lebaran-lebaran sebelumnya. Biasanya aku ke rumah Eyang dan berkumpul dengan keluarga besar. Beramai-ramai kami dan masyarakat sekitar keliling kampung membawa obor minyak dalam prosesi takbir keliling (tarling). Suka cita kami menggemakan asma Allah. Dan kebersamaan yang ada sungguh begitu kental.

Sekarang aku terbujur layaknya mayat hidup. Kesedihan ini terus bergayut. Esok adalah hari kemenangan untuk seluruh umat muslim di dunia. Sedangkan aku akan melewatkannya di tempat tidur berlaken putih ini. Aku pasti akan merindukan sholat Id berjamaah di Masjid Baitul Mujahidin, acara sungkeman dan tentu saja makan ketupat sayur buatan nenek.

Tapi inilah hidup, apa yang kita inginkan tidak selalu bisa kita dapatkan. Aku pun teringat sebuah pepatah ‘jagalah sehatmu sebelum datang sakitmu’. Rasanya aku perlu merenungkan makna kata-kata tersebut. Sementara gema takbir di luar sana terus berkumandang tiada henti. Dan gelombang kantuk itu perlahan menenggelamkanku sampai aku terseret dalam tidur yang gelisah …

***

Usai fajar menyingsing aku harus rela ditinggal sendirian di kamar ini. Sebenarnya Mama telah menawarkan diri untuk terus menjagaku. Tapi masak aku setega itu, cukup aku saja yang tak bisa sholat Id.

“Udah selesai ya, Ma?” tanyaku menyambut kedatangannya.

“Iya, tadi Mama dan Papa sholat Idnya di alun-alun kota dekat sini. Lumayan ramai juga,” sahut wanita paruh baya itu memasukkan bungkusan mukenah ke dalam lemari, “Papa lagi keluar, katanya mau beli ketupat sayur buat kamu.”

Aku terdiam. Ada sedikit rasa bersalah di benakku. Tak seharusnya aku merepotkan orang tuaku. Kenyataannya kebahagiaan mereka ikut terenggut karena aku, “Ma, maafin aku ya,” cetusku dengan pandangan menerawang jauh.

Mama tertegun, “Lho kok ngomongnya gitu, Sayang?”

“Kalau aku nggak sakit, Mama dan Papa tentu nggak perlu ngerayain lebaran di rumah sakit. Ya kayak gini nih.”

Mama hanya tersenyum dan menghampiriku, “Mama ngerti perasaan kamu. Bagaimanapun juga ini adalah cobaan dan kita harus bersyukur,” ucapnya lembut.

Aku menoleh bingung, “Bersyukur? Nggak salah nih?” tandasku agak sinis. Bagiku hari ini tak lebih dari bencana. Sungguh tidak masuk akal!

“Sayang, Allah memberi kita cobaan karena Dia menyayangi kita. Coba deh kamu pikir, karena kamu sakit pasti kamu jadi ingat Allah, ya kan?”

Aku mengangguk tanpa bersuara.

“Banyak hal yang bisa disyukuri. Saat kita membuka mata, itu artinya kita masih berhak untuk hidup.”

Aku mendesah berat. Meski sulit bagiku untuk mengakui, kurasa apa yang Mama katakan ada benarnya juga. Allah telah menyelamatkanku dari jurang maut. Kalau merunut ke belakang, sebenarnya selama ini rahmat, hidayah dan karunia Allah selalu melimpah untukku. Hanya saja mataku tertutup. Padahal di balik apa yang menimpaku ada nikmat Allah yang tak terhingga. Dan aku mengabaikan hal sepenting itu. Bagaimana bisa? Aku sepertinya lalai. Sekarang aku sungguh rindu akan bernafas. Bernafas sebebas-bebasnya tanpa tergantung alat bantu di tubuhku. Aku rindu ingin berdiri, berjalan atau mungkin sekedar duduk, bukannya terbaring tak berdaya tanpa bisa berbuat apa-apa.

Mama duduk di sebelahku, “Kamu jangan sedih ya, harus sabar,” ujarnya membelai rambutku, “Kamu sakit, alhamdulillah Papa dan Mama ada sedikit rejeki untuk biaya operasi kamu. Alhamdulillah juga Papa dan Mama masih bisa merawat kamu.”

“Ya,” bisikku saat haru itu menyeruak di dada, meninggalkan kabut panas di pelupuk mata.

“Pernah ada tunawisma, tidak punya siapa-siapa dan ditemukan di kolong jembatan dalam keadaan meninggal karena sakit. Atau Hamdan, teman kamu dulu yang anak tukang becak itu. Waktu dia panas tinggi nggak dibawa ke rumah sakit karena nggak ada biaya. Akhirnya dia lumpuh kan?”

Aku kembali membisu. Sesak!

Aku harusnya sadar kalau aku bisa menjumpai Idul Fitri kali ini sungguh anugrah yang tak terhingga. Meski tidak sesempurna yang aku bayangkan. Belum tentu juga tahun depan aku masih ada di dunia, di hari kemenangan yang sama.

“Kamu ngerti kan yang Mama omongin?”

“He-em,” isakku dan kuulurkan kedua lenganku untuk memeluk Mama, “I love you so much, Mom.”

“Mama juga sayang kamu,” balasnya mendekapku erat-erat, “Tau nggak, kalau kamu adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidup Mama dan nggak akan tergantikan dengan apapun.”

Aku tak meragukannya sedikit pun!

Cukuplah satu yang menjadi tujuan hidup ini, mencari amal dan ridho Allah sebanyak-banyaknya agar di penghujung umur mendapat khusnul khotimah dan kebahagiaan dunia akherat. Kenapa sesuatu yang sangat penting seperti itu bisa luput dari perhatianku?

Aku pernah mendengar bahwa satu amalan, pahalanya akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat. Sedangkan satu dosa akan dipikul sebagaimana adanya. Lalu kenapa tidak sedikit orang yang masuk neraka? Itu menandakan di antara manusia lebih banyak melakukan dosa dibandingkan berbuat kebaikan. Sekarang tak perlu ada yang disesali, tak ada yang perlu ditangisi, hanya perlu menghadapi semuanya dengan senyum dan tawa …

Karya : Sri Sugiarti

Huknah

Pemberian Huknah

Pengertian

Memasukkan larutan ke dalam rectum dan kolon

Tujuan

Meningkatkan defekasi dengan merangsang peristaltic

Untuk melunakan feses yang telah mengeras atau untuk mengosongkan rectum dan kolon bawah untuk prosedur diagnostic atau pembedahan

Jenis-jenis Huknah

Huknah rendah

Huknah tinggi

Huknah gliserin

Huknah Rendah dan Tinggi

Pengertian Huknah Rendah

Memasukkan cairan melalui anus sampai colon sigmoid (desenden)

Tujuan

Merangsang Peristaltik usus

Mengosongkan usus untuk persiapan tindakan operasi

Tindakan Pengobatan

Pengertian Huknah Tinggi

Memasukkan cairan melalui anaus sampai colon asenden

Tujuan

Membantu mengeluarkan feses akibat adanya knstipasi

Membantu defekasi yang normal

Tindakan pengobatan

Huknah Gliserin

Pengertian

Memasukkan cairan melalui anus kedalam kolon sigmoid dengan menggunakan spuit gliserin

Tujuan

Sebagai tindakan pengobatan

Merangsang BAB

Melunakan feses

KATETER

Pengertian :

Kateter adalah sebuah alat berbentuk tabung yang dimasukkan dalam kandung kemih dengan maksud untuk mengeluarkan air kemih yang terdapat dalam kandung kemih uretra.

Tujuan :

Kandung Kemih kosong

Sebagai bahan pemeriksaan

Dilakukan pada klien :

Retensio urine

persiapan operasi

in partu

urine untuk pemeriksaan bila diperlukan

Ada 2 macam Kateter

Menetap

Sementara

NGT

( Naso Gatric Tube)

Pengertian

Melakukan pemasangan selang (tube) dari rongga hidung ke lambung (gaster)

Tujuan :

  1. Memasukkan makanan cair atau obat-obatan cair atau padat yang dicairkan
  2. Untuk memberikan obat

Dilakukan pada :

  1. Pasien tidak sadar (koma)
  2. Pasien dengan masalah saluran pencernaan atas
  3. Pasien yang tidak mampu menelan

Cerpen 2

Pupus

Senja telah lewat. Langit tidak lagi kemerahan namun meninggalkan bias ungu lembayung. Sore yang semula hangat beranjak dalam udara sejuk. Dari jendela kamarku yang masih sedikit terbuka berhembus angin lembut dan menebarkan aroma wangi melati yang sengaja ditanam Mama di luar sana.

“Agustus yang berangin,” desahku membuka Laptop siap dengan segunung tugas makalah. Berat! Tapi beginilah nasib orang kuliahan. Ya masih untung aku tak perlu repot-repot kost seperti mahasiswa lainnya yang datang dari luar kota.

Aku mulai mengetik dengan kata Endometriosis sebagai judulnya. Sebuah kata yang membutuhkan banyak pemahaman dan literature. Bukan hanya dalam buku Ginekologi maupun Kapita Selekta Kedokteran, tapi membuatku terpaksa harus mengakses internet juga. Dua halaman berhasil kuselesaikan ketika suara ketukan pintu itu mengganggu.

Aku menengok hingga tampak Mama yang menjulurkan kepalanya ke dalam, “Sibuk ya, Sayang.”

“He-em,” gumamku kembali beralih ke tugasku. Terdengar suara langkah Mama yang mendekat.

“Ada temen kamu tuh,” Mama mendudukan diri di kasur.

“Siapa, Ma? Andi ya?” Andi yang kumaksud adalah teman dekatku yang menurutku saat ini sedang PDKT. Yah kalau boleh jujur, aku pun sudah mulai ada rasa pada cowok itu. Tapi apa daya, Andi harus melanjutkan studi S1nya di Jogja dan cuma pulang sebulan sekali.

“Bukan,” sahut Mama yang sekarang cukup akrab dengan manusia yang satu itu.

“Terus siapa dong?”

“Nggak tau. Mama kayaknya belum pernah lihat dia sebelumnya.”

“Oooh,” aku mengangguk sembari menyelesaikan beberapa kalimat, mensave data, exit dan menekan tombol turn off sebelum beranjak menuju ruang tamu. Sekilas aku melihat seorang laki-laki dengan kaos biru dan jeans usang. Wajahnya sedikit tertutup rambut ikal yang cukup panjang untuk ukuran cowok.

“Halo!” sapaku membuat dia berpaling. Selama beberapa menit aku hanya bisa memandanginya dengan penuh tanda tanya. Sosok jangkung berkulit putih, wajah jerawatan, bibir agak hitam yang menandakan dia pecandu rokok berat dan yang paling menarik perhatianku adalah sebuah anting di telinga kirinya.

Aku langsung mengernyit, ‘Makhluk dari planet mana nih? Memangnya aku kenal dia? Siapa ya?’ gumamku dalam hati. Jujur aku tak pernah suka cowok bergaya punk. Aku sudah akan menanyakan identitas orang tak dikenal itu ketika dia mengulurkan tangan. Dan aku menjabat bersamaan saat dia menyebutkan sebuah nama.

“Perkenalkan, aku Dimas!”

Aku nyaris tersedak, setengah berharap telah salah dengar. Antara kaget, shock dan tak percaya, “Ehm Di—Dimas yang mana ya?” aku gelapan pura-pura amnesia. Dan sesuatu yang kutakutkan pun terjadi.

“Aku Dimas temen kamu waktu SMP,” ujarnya menebarkan senyum yang entah kenapa membuatku jijik sekaligus merinding, “Masa sih kamu lupa?”

Aku cuma meringis dan kembali mempersilakannya duduk.

Mana mungkin aku bisa lupa. Dimas kan first love ku. Tapi kok kenapa sekarang dia kelihatan ancur banget. Baik dari fisik juga penampilannya. Aku jadi ngeri,’ pikirku dan aku sengaja memilih tempat duduk yang agak berjauhan.

Ada apa nih?” tanyaku to the point. Saat ini aku sedang tak ingin basa-basi. Dan aku sungguh sangat tidak suka dengan kunjungan ini. Mungkin karena beban makalahku yang belum kelar atau mungkin juga karena aku tak ingin bertemu Dimas beserta segala perubahan yang terjadi pada dirinya.

“Pingin main aja. Mudah-mudahan aku ganggu kamu.”

“OH,” hanya itu yang terlontar dari mulutku. Aku duduk gelisah di tempatku. Tidak tahu harus bicara apa dan aku benar-benar ingin cowok itu segera enyah dari hadapanku. Banyak alasan yang membuatku tidak menyukainya bahkan membencinya.

Memangnya kamu selama ini kemana aja? Kenapa sekarang baru muncul? Dan di saat yang sangat amat tidak aku harapkan,’ batinku sebal.

“Hei, kok diem,” tegur Dimas memecah kebisuan.

“Ya, habis aku bingung mau ngomong apa. Lagian mana aku tahu kalau kamu sudi datang ke rumahku.”

Dimas berdehem mencoba mengacuhkan perkataanku, “Inget nggak waktu dulu kita SMP?”

“Ya,” ucapku dalam bisikan. Bagaimana bisa aku melupakannya. Hal menyakitkan dalam hidupku. Dimas adalah kakak kelasku dan sejak aku duduk di kelas 7 aku naksir atau lebih tepatnya aku jatuh cinta padanya. Dimas yang saat itu adalah salah satu idola di sekolah. Dimas yang lumayan jadi incaran cewek-cewek mulai dari yang tajir, cantik sampai yang berdarah biru dengan gelar ‘Raden Roro’. Sedangkan aku bertampang pas-pasan dan dari keluarga biasa. Mungkin yang bisa kubanggakan cuma prestasi akademikku yang selalu berada dalam peringkat 3 besar. Tapi Dimas pun tak pernah memandangku meski dia tahu perasaanku ke dia. Dan sekarang aku tak habis pikir kenapa dulu aku bisa suka dia ya? Apa sih yang aku lihat dari dia? Kurasa istilah ‘cinta itu buta’ sungguh berlaku bagiku.

“Kok kamu nggak pernah ke rumahku lagi?”

Aku menoleh merasakan percikan api di hatiku, “Bukannya waktu aku main ke rumah kamu, malah kamunya nggak mau nemuin aku? Jadi untuk apa aku mempermalukan diriku sendiri untuk kedua kalinya?”

Dimas membisu dengan wajah bersalah, “Soal itu aku minta maaf ya.”

“Udah aku maafin kok dan kamu juga nggak perlu kasih penjelasan apa-apa. Kamu kan bukan siapa-siapa aku.”

Aku memang telah memaafkan cowok itu tapi aku selalu ingat apa yang pernah dia lakukan padaku. Rasanya baru kemarin peristiwa itu terjadi. Satu minggu Dimas absen karena sakit. Dan sebagai orang yang menyayangi Dimas, aku pun mencemaskannya apalagi kata teman sekelasnya Dimas terkena Demam Berdarah. Siang itu, sepulang sekolah aku dan sahabatku memutuskan untuk menjenguknya. Kubongkar tabunganku demi membeli buah, roti dan susu yang kiranya pantas dibawa untuk mengunjungi orang sakit. Aku rela berjalan dari sekolah sampai rumah Dimas yang berjarak 4 Km karena kehabisan ongkos untuk naik angkot. Bahkan seragamku sampai basah kehujanan. Semua itu kulakukan agar bisa bertemu Dimas. Aku ingin memastikan keadaannya baik-baik saja. Tapi apa yang aku dapatkan? Dimas sama sekali tak mau menemuiku. Ia tak menghargai jerih payahku sedikitpun.

Pernah suatu ketika aku ingin memberikan hadiah untuk Dimas di hari ulang tahunnya. Berbulan-bulan aku mengumpulkan uang sakuku, berharap bisa mempersembahkan sesuatu yang istimewa untuk orang yang istimewa pula. Dan dia menolak mentah-mentah pemberianku.

Apa yang terjadi bukanlah sepenuhnya salahku. Aku jatuh cinta pada Dimas juga bukan tanpa sebab. Awalnya Dimas yang mulai mendekatiku dan sebagai comblang tak lain adalah sahabatku. Berbagai upaya Dimas lakukan sampai akhirnya hatiku mencair dan aku merasa beruntung dari sekian banyak cewek yang menyukai Dimas ternyata dia memilihku. Hingga cinta itu perlahan-lahan tumbuh. Tapi asaku pupus. Ketika aku sudah terlanjur menyayanginya, dia justru menjauhiku tanpa sebab. Dan dia membanggakan dirinya karena berhasil menaklukan cewek sampai begitu banyak yang terobsesi padanya. Ada pula yang hingga depresi.

Pedih merayapiku setiap bertemu Dimas yang memicingkan mata dengan tatapan hina, ataupun melontarkan pandangan seakan aku ini sampah. Tak urung dia pun sering membuang muka begitu melihatku. Setiap malam aku menangis bahkan aku sempat menyalahkan Tuhan. Aku menganggap Tuhan sungguh tidak adil karena aku harus menerima kenyataan pahit kalau Dimas mencampakkanku. Puncaknya aku berjanji pada diriku sendiri, suatu saat Dimaslah yang akan mengejar cintaku.

Hari berlalu dan aku bersyukur aku beda SMA dengan Dimas. Namun aku seolah tak bisa lepas begitu saja dari dia. Aku menerima berbagai pesan dari Dimas lewat teman-temannya yang sengaja mendatangi SMAku dan menungguku di gerbang sekolah.

Kamu dapat salam dari Dimas.”

Dia sebenernya suka kamu.”

Dimas pingin ketemu kamu. Katanya kamu disuruh main ke rumahnya.”

Ayah Dimas meninggal, dia butuh kamu.”

Dan perkataan-perkataan semacam itu. Aku tak percaya sedikit pun. Bagiku Dimas tak lebih dari seorang pengecut sekaligus pecundang. Dia pikir dia itu siapa? Seenaknya menyuruhku ke rumahnya. Kalau dia membutuhkanku, kenapa bukan dia yang mendatangiku? Aku masih memiliki harga diri yang harus ku junjung tinggi. Aku tak mau terperosok dalam lubang yang sama. Dan kini aku luar biasa kaget Dimas ternyata punya nyali juga untuk menemuiku. Tapi menurutku, dia sungguh tak tahu malu.

“Hei, kok bengong!” tegur Dimas membuyarkan lamunanku, “Lagi mikirin apa?”

“Nggak! Bukan apa-apa.”

“Aku dengar kamu habis operasi ya?”

“Ya, sempat kritis juga,” kulihat raut terkejut dimuka cowok itu, “Kamu nggak tahu kan?”

Dimas tertunduk, “Sori. Aku khawatir sama kamu.”

Basi banget! Menurutku hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut, “Aku nggak ngerti permainan cinta kamu baik dulu maupun yang kamu lakukan sekarang. Jadi kamu nggak usah sok perhatian. Aku nggak bakal tertipu lagi dan jangan harap aku simpati ke kamu,” tegasku dalam nada getir.

“Von, aku sayang kamu.”

Pernyataan itu tidak mengagetkan tapi tetap saja membuatku menahan nafas, “Yang aku tahu, kamu cuma mainin aku. Ya kan? Selama ini aku tulus dan kamu manfaatin aku demi gelar player. ”

“Aku akui kalau aku salah, tapi sekarang aku cinta kamu.”

“Sejak kapan?” tandasku mengangkat kepala. Aku berusaha agar suaraku tidak meninggi dan itu tidaklah mudah, “Sejak aku masuk SMA favorit atau sejak aku diterima di fakultas kedokteran?”

Dimas tersentak dan memandangku dengan begitu terpukul.

“Aku kenal betul siapa kamu. Kamu memilih pacar yang bisa meningkatkan gengsi kamu kan? Seperti kamu yang ninggalin aku demi anak anggota DPRD yang model itu.”

“Tapi aku sudah sadar, Von. Aku coba cari tahu segala sesuatunya tentang kamu. Masak kamu nggak mau kasih aku kesempatan kedua? Aku yakin kamu juga masih suka aku kan?”

“Ih, PD banget sih kamu,” aku bergidik. Entah kenapa aku justru merasa semakin muak.

Dimas meraih tanganku tepat ketika seorang cowok muncul di ambang pintu yang terbuka. Aku terbelalak dan aku bagai menemukan cahaya di tengah gelapku. Andi!

Refleks aku bangkit dan menghampiri Andi yang membawa mawar merah kesukaanku, “Sori Dimas kalau aku ngecewain kamu, tapi ini Andi pacarku.”

Andi bengong dengan kedua alis bertaut. Aku langsung mengedipkan mataku dan pasang senyum semanis mungkin. Isyarat kecil itu membuat Andi mengerti dan di luar dugaan, dia mendaratkan kecupan lembut di pipiku.

“Aku kangen kamu,” katanya seakan di situ tidak ada orang lain. Aku tak sempat memperhatikan reaksi Dimas. Aku terlalu sibuk dalam usaha meredam degup jantungku yang berpacu lebih cepat dari akal sehatku. Meski ini hanya sandiwara, tapi aku merasa demikian melayang.

“Begitu?” Dimas beranjak dengan air muka sama keruhnya dengan selokan di depan rumahku. Dan dia berlalu begitu saja dalam amarah tertahan. Aku tak mempedulikannya dan tatapanku beradu dengan mata elang Andi.

“Ehm—soal tadi—aku minta maaf—aku nggak bermaksud—” gagapku salah tingkah. Kurasakan wajahku memanas. Aku takut Andi mendengar meriam di hatiku yang meledak-ledak. Bagaimanapun aku tak ingin persahabatanku dengan Andi porak poranda karena masalah ini.

“Tapi aku memang bermaksud begitu.”

Aku mengernyit bingung, “Aku nggak ngerti.”

Andi tertawa pelan, “Awalnya aku datang mau bilang kalau aku sayang kamu. Eh—malah kamu nembak aku duluan,” dan dia menyerahkan mawar itu.

Kepalaku rasanya semakin berputar. Cukup lama bagiku untuk bisa mencerna kata-kata yang diucapkan Andi. Cintaku bersambut dan aku mengiyakan dengan suka cita. Aku pun memahami Tuhan memang memberikan yang terbaik untuk umatNya. Untuk pertama kali aku sangat bersyukur cintaku terhadap Dimas bertepuk sebelah tangan. Dan Tuhan memberiku pengganti yang jauh lebih baik yaitu Andi …

Karya : Sri Sugiarti

Jumat, 28 Maret 2008

Cerpen 1

GWEN

Arloji di tanganku telah menunjukkan pukul 15 lewat sepuluh. Aku masih setia menjejakan kaki di sekitar gerbang sekolah. Tempat itu hampir sepi. Sudah bisa dipastikan kegiatan belajar mengajar telah selesai lebih dari sejam yang lalu. Dan aku bengong di sini kayak orang dungu demi menunggu seorang cowok brengsek yang akhir-akhir ini membuatku demikian resah. Siapa lagi kalau bukan Dika, kekasihku.

Berkali-kali aku menjulurkan leher berharap melihat sosoknya yang tegap muncul dengan Ninja biru kesayangannya. Perlahan rasa sesal mulai menggerogotiku. Harusnya tadi aku terima saja tawaran Vivi untuk pulang bareng.

“Bener nih lo nggak mau ikut?” tanya teman sebangkuku untuk kesekian kalinya.

“He-em, Dika janji mau jemput gue. Kan nggak enak kalo Dika ke sini guenya nggak ada,” sahutku meski aku agak ragu.

Dika adalah anak tenik sipil di salah satu universitas swasta nan elite di kota ini. Pertemuanku dengannya di SMA yang sama juga. Dengan kata lain Dika adalah kakak kelasku. Dia duduk di kelas XII sedangkan aku dua tingkat di bawahnya. Anehnya Dika mulai PDKT dan nembak aku setelah dia mau lulus. Tepat beberapa hari menjelang PROM NIGHT.

“Tapi nggak papa nih lo ditinggal sendirian?”

“Ya, nggak usah khawatir gitu,” ujarku meyakinkan.

Mata mungil Vivi mengamatiku dengan cemas, “Ooo ya udah deh kalo itu mau lo. Lagian gue juga nggak bisa maksa lo,” akhirnya cewek itu menyerah dan melambaikan tangannya saat Sirion itu perlahan melaju di jalanan yang cukup lengan.

Sekarang aku hanya bisa mendesah antara kesal dan tak sabar untuk bertemu Dika. Alone! Kakiku sudah terasa pegal dan aku tak berniat beranjak sedikit pun. Matahari sore kian memanggangku dan gerah rasanya berhadapan dengan cahaya silaunya yang seakan persis di depan wajahku. Debu dan keringat yang semakin bercucuran tak dapat menahanku untuk tidak mengeluh. Penantian ini mendadak terasa sangat menjengkelkan. Kalau terlambat beberapa menit masih bisa aku maklumi, tapi ini sudah hampir 2 jam. Nah lo, siapa yang nggak kesel coba?

Aku tersentak kaget merasa getar ponsel yang seperti menggelitiku. Sebuah nama tertera di layar ‘Dika memanggil

“Halo, Say!” seruku antusias tapi rasa senangku sirna begitu mendengar apa yang dikatakan Dika berikutnya.

“Ris, sori ya, hari ini gue nggak bisa jemput lo.”

“Tapi lo kan janji mau ngajak gue ke butik nyokap lo,” protesku tak mau kalah.

“Iya gue ngerti. tapi gue bener-bener nggak bisa.”

Aku menggigit bibir bawahku yang bergetar, “Terus kenapa lo nggak kasih tau gue dari tadi? Kalo tau gini, gue nggak bakal capek-capek nungguin lo,” seruku naik pitam.

“Gue lupa, Ris.”

“Lupa?” pekikku mengertakan gigi, “Lo bilang lupa?”

“Gue tau gue salah, tapi jangan kayak orang histeris gitu dong.”

“Eh, lo tau nggak, gue berdiri di sini 2 jam, panas terpanggang sampe gue mau pingsan dan lo seenaknya ngebatalin janji. Lo keterlaluan banget ya,” geramku meledak marah hingga tanpa sadar kabut panas menghalangi pandanganku.

“Sayang, gue kan udah minta maaf. Tolong lo ngertiin gue,” aku mendengar ada nada mununtut dari suara Dika.

“Lo tuh yang nggak bisa ngertiin gue,” kataku setengah berteriak, “Memangnya apa sih urusan yang lebih penting dari gue sampe lo ngebatalin janji tanpa nelpon dulu ke gue?”

“Masalahnya Gwen sakit, jadi gue mesti bawa dia ke dokter.”

Aku ternganga, nyaris tak percaya kata-kata yang singgah di telingaku, “Gwen?”

“Ya Ris, gue sayang banget sama dia jadi gue nggak mau dia kenapa-napa—” selebihnya aku mematikan Hp ku. Aku tak mau mendengar lagi apapun yang dikatakan Dika.

Gwen lagi Gwen lagi! Aku nggak bisa ngerti jalan pikiran Dika dan mungkin aku nggak akan pernah bisa mengerti. Siapa sebenarnya Gwen itu? Dilihat dari namanya pasti dia sangat cantik. Dan tadi Dika bilang dia sangat menyayangi Gwen. Mungkinkah Dika berpaling ke cewek lain? Ini sungguh menyakitkan. Dadaku begitu sesak dan tangis itu akhirnya pecah.

Yang ku tahu selama ini hubunganku dengan Dika baik-baik saja, tak pernah ada masalah. Teman-temanku maupun Dika banyak yang iri dengan kelanggengan kami dan cinta ini telah bertahan lebih dari setahun. Namun semuanya berubah sejak kehadiran sosok bernama Gwen yang tidak ku kenal sama sekali. Perhatian Dika terhadapku jauh berkurang. Paling tidak aku yang merasa seperti itu. Sementara Dika selalu menganggap everything’s fine.

Aku ingat betul di ulang tahun Dika yang ke 19 aku bersusah payah menyiapkan dinner seromantis mungkin di sebuah kafe kenamaan. Hanya ada aku dan Dika, itulah yang kuinginkan. Awalnya segala sesuatu berjalan sempurna, tapi kebahagiaan itu lenyap saat Dika menerima panggilan dari airport.

“Aduh, Sayang, gue harus jemput Tante Linda dan Gwen nih. Kenalan Mama dan kayaknya mereka baru tiba dari Aussie,” katanya waktu itu dan dia beranjak pergi sebelum aku sempat membuka mulut.

Hari itu menjadi saat terburuk dalam hidupku. Aku sangat sedih dan kecewa. Menurutku Dika tak lagi menghargai apapun yang kulakukan untuknya. Dan sepanjang malam aku duduk merana seorang diri sampai kafe itu tutup.

Dan di lain kesempatan, setiap kali aku bertemu Dika, yang selalu jadi bahan pembicaraan tak lain dan tak bukan adalah Gwen!

“Makin hari Gwen tambah imut lho.”

Aku mendengus, “Lo suka ya sama dia?” tanyaku ketus. Meski tak mau mengakui, ada rasa nyeri menyusup di kalbu.

“Ya jelas dong, siapa sih yang nggak suka sama Gwen. Dia itu luar biasa.”

“Terus kenapa lo milih gue, pacarin aja si Gwen itu,” sungutku semakin manyun.

Dika tertawa keras seolah ada yang lucu dengan ucapanku, “Ya nggak gitu dong, Risty.”

“Habisnya lo muji Gwen terus sih.”

“Cemburu ya?” ledek Dika dan dia terbahak-bahak.

Begitu selalu. Dika tak pernah menjelaskan siapa Gwen yang dimaksud itu. Aku merasa ada sesuatu yang Dika sembunyikan. Dan aku sungguh tak suka main kucing-kucingan begini.

***

Seharian aku mengurung diri di kamar, ponselku pun sengaja aku matikan. Aku ingin menyendiri kalau mungkin perlu aku akan keluar kota. Untuk sementara aku berharap tak bertemu Dika. Sakit sekali setiap harus melihat wajah cowok itu ataupun mendengar suaranya. Berkali-kali ketukan pintu dan seruan Mama tak aku hiraukan.

“Risty, pacarmu telepon lagi tuh. Masak kamu nggak mau angkat juga. Ini sudah keempat kalinya lho.”

“Tolong bilang ke Dika kalau Risty benci dia,” teriakku dalam suara serak karena kebanyakan menangis. Terdengar suara helaan nafas Mama, tanda menyerah.

Esoknya, Dika berusaha menemuiku di sekolah seperti yang aku duga. Segigih apapun dia aku masih punya seribu cara untuk menghindarinya. Apa yang Dika lakukan padaku sudah melampaui batas. Dan aku tak bisa lagi menerima penjelasan apapun.

Aku berusaha menikmati kesendirianku selama beberapa hari. Tapi itu tidak mudah. Ku pikir aku akan senang dengan menjauh dari Dika. Pada kenyataannya ada kerinduan mendalam yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Raga dan jiwa begitu hampa. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Sesuatu yang salah dan aneh. Dan aku kian resah ketika Vivi yang baru datang langsung menarikku menuju halaman parkir SMA.

“Ris, lo kemana aja sih selama ini?”

“Maksud lo?” tanyaku tak mengerti.

“Dari semalem Hp lo nggak aktif dan gue telepon ke rumah lo juga nggak diangkat.”

“Kan gue udah bilang kalo gue sengaja biar Dika nggak bisa hubungi gue,” ujarku mengingatkan apa yang pernah ku katakan pada sahabatku itu tempo hari.

“Dan itulah masalahnya,” Vivi menegaskan dengan tak sabar, “Udah! Lo masuk ke mobil gih. Kita mesti secepetnya pergi dari sini,” desaknya setengah mendorongku.

Aku mengernyit, benar-benar bingung, “Ada apa sih? Jangan-jangan lo mau nyulik gue ya.”

“Terserah deh lo mau ngomong apa,” Vivi menutup pintu dan menyuruh sopirnya segera berangkat entah kemana aku tak tahu.

“Tapi, Vi, bentar lagi kan kita masuk. Inget lho jam pertama Fisika. Pak Harno itu killer abis dan gue nggak mau kena hukuman karena telat ataupun bolos pas pelajaran dia.”

Vivi menoleh tajam dan matanya menyipit, “Dengar, Ris, lo bisa pilih. Lo mau tetep di sekolah atau ikut gue ke rumah sakit?”

“Rumah sakit?” seruku terkejut.

Vivi mengangguk tanpa memandangku lagi, “Dika masuk rumah sakit.”

“A-apa?” aku tersentak berharap salah dengar. Seolah ada batu besar yang tiba-tiba jatuh di atas kepalaku, “Lo bercanda kan?”

“Apa gue kelihatan sedang bercanda?” sinis Vivi tajam. Ada kilat marah dalam sorot matanya, “Dia kecelakaan sepeda motor semalam. Dia pingin minta maaf langsung ke lo dan dia sengaja datang ke rumah lo. Tapi gue nggak nyangka kejadiannya bakal kayak gini.”

Aku terhenyak di tempatku. Lemas! Mendadak ada suatu kekuatan besar yang meremas hatiku. Penyesalan dan kekhawatiran luar biasa menikamku demikian hebat. Kenyataan bahwa Dika kecelakaan dalam usaha meminta maaf padaku sungguh membuatku ngilu. Sesak!

“Ris, lo nggak papa? Lo pucat banget.”

Aku menggeleng lemah, “Gimana keadaan Dika?” tanyaku masih begitu terguncang.

“Tangan kirinya patah dan gegar otak ringan,” jawab Vivi hati-hati, “Tapi lo tenang aja, dokter bilang nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” aku tahu sahabatku itu tengah berusaha agar tidak membuatku cemas.

***

Aku trenyuh melihat Dika yang terbaring lemah di atas tempat tidur yang serba putih dengan botol infus menggantung di atasnya. Kepala dan salah satu lengannya dibebat perban sementara wajah cakepnya penuh goresan luka lecet.

“Hai!” sapanya memaksakan sebuah senyum kemudian meringis kesakitan.

Aku menghampirinya dan tanpa sadar aku sudah memeluknya, menumpahkan segala tangisku, “Kalo lo mau minta maaf ke gue kan nggak perlu sampai kayak gini. Pakai acara nyium aspal segala.”

“Usaha gue nggak sia-sia kan, lo akhirnya mau juga ketemu gue,” kekeh Dika mencoba berkelakar.

“Lo kelihatan ancur banget,” aku membalas di tengah isakku.

“Gue sayang lo, Ris.”

Deg!

Aku terpekur dan dentuman di rongga dada kian bergema.

“Nggak ada cewek lain yang bisa gantiin lo di hati gue,” lanjut Dika bersugguh-sungguh.

Ku seka air mata haru yang mulai jatuh, “Gue percaya,” ujarku masih dengan perasaan bersalah.

“Oya, ini Gwen.”

Aku berpaling ke sosok kucing Persia berbulu lebat yang tampak meringkuk di sudut sofa beludru. Keningku pun berkerut.

“Gwen?” gumamku meneguk ludah, “Dia—Gwen?”

“Ya.”

“Jadi selama ini gue jealous sama—KUCING?” seruku masih tak percaya.

Dika mengiyakan seraya menahan tawa sementara di belakangku Vivi ngakak. Seumur hidup aku tak pernah semalu ini. Pasti sekarang mukaku semerah tomat. Aduh nggak tahu mesti ngomong apa. Sebel tapi lucu juga. Habisnya nama tuh kucing lebih keren dari aku, jadi aku pikir Gwen siapa. Yang jelas, dari kejadian ini aku yakin cinta Dika hanya untukku …

Karya : Sri Sugiarti