Selasa, 31 Maret 2009

Cuplikan Bab VI Laxiance

Heliost membuka matanya seketika itu juga didengarnya ketukan pintu yang bertalu talu. Ia segera beranjak dan meringis saat dirasakannya rasa nyeri yang seakan merobek perutnya. Ia berjalan tertatih ke arah pintu seraya meremas perut bagian kiri. Begitu pintu dibuka dilihatnya Amoze yang berdiri dengan gelisah.
“Maaf mengganggu tidur Anda, Tuan,” Amoze sedikit menundukan kepalanya ke arah Heliost.
Heliost mempersilakannya masuk ke kediamannya, “Kelihatannya ada sesuatu yang penting,” katanya kemudian.
“Benar, Tuan,” sahut Amoze dengan nada mendesak. “Seorang pengawal kerajaan melihat ada sihir yang menyerang tempat orang bandit di pelabuhan Laxiance. Menurutnya itu adalah salah satu penghuni Archiecarias. Dan dia juga melihat seorang berlari meninggalkan pelabuhan setelah kejadian itu. Tapi pengawal kerajaan tidak yakin orang itu pria atau wanita.”
Sebelah alis Heliost terangkat dan menatap Amoze tak mengerti, “Bukankah hal yang wajar kalau sesekali penghuni Archiecarias pergi ke Laxiance?”
“Saya khawatir masalahnya jauh lebih buruk dari hal itu, Tuan.”
“Maksudmu?” Heliost masih memandangi Amoze dengan bingung.
“Yang Mulia putri Claryn tidak ada di istana kristal maupun Archiecarias. Saya sudah berusaha mencarinya,” lanjut Amoze dan Heliost terbelalak lebar.
Selama beberapa saat hanya ada keheningan yang menyelimuti, “Tidak mungkin! Bagaimana bisa putri Claryn pergi ke Laxiance?” serunya tak percaya.
Amoze sudah hendak menjawab ketika dilihatnya seberkas cahaya putih keperakan menerobos masuk.
“Maafkan saya Tuan Heliost, Amoze tapi saya perlu menyampaikan sesuatu. Ratu Blue Fly menghilang dan pangeran duyung Azola melihat putri Claryn dan ratu Blue Fly menuju teluk Danderloin,” sayap perak Zhives membelah dua. Dengan panik, makhluk mungil itu terbang mengitari Heliost dan Amoze.
Masalahnya kini semakin jelas dan jiwa petarung kembali mengalir deras di pembuluh darah Heliost. Ia berusaha keras untuk tetap berkepala dingin meskipun sesuatu berkecamuk dalam hatinya, “Zhives, umumkan pada seluruh penghuni Archiecarias untuk siaga. Perasaanku mengatakan waktunya telah tiba. Mungkin kita akan kembali berhadapan dengan Fortescue,” perintahnya.
Amoze dan Blue Fly tercengang menatap tuannya itu.
“Lewat matamu, kau pasti sudah meramalkan itu kan, Amoze,” sambung Heliost. Amoze masih belum tersadar dari keterkejutannya tapi kemudian ia mengangguk.
Heliost menyibakkan jubah putihnya dan segera beranjak. Ia mencoba untuk tidak mempedulikan rasa perih yang menusuk nusuk perutnya. Ia tahu ia harus bergegas. Waktunya begitu sempit. Putri Claryn dalam bahaya dan itu artinya Laxiance terancam. Terlambat sedikit saja maka hancurlah Laxiance dalam sekejap. Itu tak boleh terjadi.
Keluar dari istana kristal Heliost mengubah dirinya menjadi Pegazuse. Sedangkan Amoze memanggil Terragon dalam sebuah siulan panjang. Sayap Pegazuse itu terbentang di udara dan ia mulai melesat terbang membumbung meninggalkan Archiecarias di bawahnya. Dan Amoze dengan Terragon mengikutinya dari belakang.
Heliost sadar dengan terbang dan merubah dirinya menjadi Pegazuse akan memakan banyak energi dan itu dapat membahayakannya dalam kondisi terluka seperti itu. Tapi ia tak peduli. Semuanya demi Laxiance bahkan lebih dari itu. Keselamatan putri Claryn! Mungkin itu yang menjadi prioritasnya saat ini. Ia merasa sungguh sangat bersalah. Seharusnya ia lebih menomor satukan Laxiance. Tapi perasaannya sungguh tak bisa dimengerti. Ia tidak hanya merasa cemas tapi juga marah dan kecewa dengan tindakan Blue Fly.
Ratu peri itu tahu betapa bahayanya putri Claryn kalau meninggalkan Archiecarias. Tapi kenapa Blue Fly mengkhianati kepercayaannya? Seharusnya Blue Fly bisa lebih menjaga putri Claryn. Dan kenyataannya tidaklah begitu.
* * *
Nancy menghentikan langkahnya begitu keluar dari hutan Birch. Terdengar suara nafasnya yang menderu dan ia tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Ia terus terpana. Dihadapannya terbentang padang rumput hijau yang membentang luas. Bukit bukit kecil yang mengelilinginya dan pepohonan kokoh yang tumbuh diantara padang rumput itu.
Angin berdesir pelan membelainya dan membuat rerumputan bergoyang indah layaknya ombak pantai yang berwarna hijau. Nan jauh disana tampak sebuah kastil yang berdiri megah di atas sebuah tebing. Beberapa atap menaranya berbentuk kerucut dan dindingnya sepertinya terbuat dari batu yang kokoh. Sebuah benteng batu yang begitu tinggi melindungi seisi kota Laxiance. Mungkinkah itu Big castle seperti yang diceritakan Blue Fly? Kastil tempat tinggalnya dulu!
“Luar biasa! Jauh lebih indah dari yang kulihat di mimpi,” gumamnya dengan mata berkaca kaca, “Ternyata memang bukan mimpi. Tempat ini benar benar ada.”
Kini ia bisa melihat lebih jelas. Padang rumput itu! Kastil itu! Dan lebih dari itu. Semua ini sungguh nyata dan ia dapat merasakan hampir setiap detailnya. Mimpinya benar benar terjadi dan ia langsung muram saat teringat bagai akhir dari mimpinya.
Semuanya seakan telah diatur. Awan awan hitam bergerak cepat dari arah selatan. Langit cerah kini berubah menjadi kelabu hingga yang terlihat mendung yang begitu pekat. Angin bertiup semakin kencang membuat dahan dahan pepohonan berderak keras.
“Yang Mulia, kita harus segera pergi,” Blue Fly terbang mendekati dan ia mencoba melindungi dirinya agar tidak terhempas.
“A-apa yang terjadi?” tanya Nancy. Ia merasakan udara yang tiba tiba membeku. Dan ia terlonjak saat langit bergemuruh. Kilat terus menyambar membelah langit yang mendadak kelam.
“Saya tidak tahu, Yang Mulia, tapi saya merasakan aura kejahatan yang luar biasa,” Blue Fly baru selesai bicara ketika dilihatnya sekawanan burung melayang rendah ke arah mereka. Burung burung itu memekik, mengeluarkan suara melengking tinggi yang memekakkan telinga. Mereka terbang menukik dan menyemburkan api ke udara.
Nancy ternganga. Tenggorokannya nyeri seakan baru saja menelan buah berduri, “A-apa itu?”
“Ya Tuhan, itu burung api Fortescue,” Blue Fly memekik ketakutan. Tubuh mungilnya menegang, hanya sayapnya yang tampak bergerak gerak.
Nancy meneguk ludah dengan susah payah. Sesuatu seperti menonjok perutnya. Dan ia merasa benar benar mual apalagi saat dilihatnya kawanan burung api itu semakin mendekat, “kau benar rasanya kita harus segera pergi,” ucapnya dengan susah payah.
Tanpa pikir panjang ia langsung mengayunkan seribu langkah. Burung burung itu kembali memekik dan menyemburkan hawa panas dari belakang Nancy. Gadis itu semakin mempercepat larinya. Nafasnya terengah engah dan paru parunya serasa akan meledak. Padang rumput itu seakan tak bertepi. Ia tidak tahu sampai kapan ia akan terus berlari. Di satu sisi ia merasa iri pada Blue Fly. Seandainya ia bisa terbang seperti peri itu.
Ia menyadari burung api itu sudah begitu dekat dan tepat di belakangnya, “AAARRGH!” jeritnya nyaring saat paruh burung yang keras menghantamnya. Ia pun jatuh tersungkur.
“Yang Mulia,” Blue Fly memekik panik.
Burung burung itu mulai menyerang Nancy, mematuk dan cakarnya seakan merobek robek kulitnya. Seluruh tubuh Nancy sakit dan perih. Ia berusaha melindungi wajahnya dengan kedua tangannya tapi sia sia. Sesuatu yang tajam menggores pelipisnya dan ia berteriak kesakitan saat seekor burung api membuka mulutnya dan menyemburkan api ke arahnya.
“Yang Mulia, bertahanlah,” seru Blue Fly. Ratu peri itu berusaha menyelamatkan Nancy dengan bubuk putih yang kelihatannya Poison Ivy. Tapi semua itu nampaknya sia sia. Jumlah burung itu terlalu banyak dan Blue Fly terlalu kecil bagi mereka.
Nancy mengerang kala rasa panas itu membakar tubuhnya. Mendadak ia merasa begitu lemah. Tubuhnya lemas dan pandangannya mulai kabur. Ia merasakan sakit yang tak tertahankan. Ia sudah berpikir dirinya akan mati ketika didengarnya suara itu. Suara ringkihan kuda!
Nancy berusaha keras untuk tidak pingsan. Dan samar samar ia melihat kuda putih itu bersinar di tengah kegelapan dengan sayap berkembang.
“Heliost!” ucapnya lemah. Ia juga melihat Amoze yang mendarat dengan naga hitam kesayangannya, Terragon.
Pegazuse itu merubah dirinya menjadi Heliost dan cahaya yang luar biasa terang menyinari padang rumput itu layaknya sinar mentari, “Blue Fly, cepat bawa putri Claryn ke Big castle,” perintahnya pada peri mungil yang sejak tadi bersembunyi di belakang Nancy begitu melihat kedatangan Heliost.
“Ba-baik Tuanku,” ujarnya takut takut.
Nancy berusaha untuk bangkit dan dengan susah payah ia kembali berlari. Sekali ia menoleh ke belakang. Tampak Heliost yang melawan burung burung api itu dengan pedang emasnya. Dan Amoze bertarung dengan tongkat kayunya yang selalu setia dibawanya. Dengan semburan apinya, Terragon cukup membantu. Keadaan tidak menjadi lebih baik saat bermunculan burung api Fortescue dari segala arah. Jumlah mereka semakin banyak setiap menitnya.
“Tuan Heliost, sebaiknya Anda mengejar Yang Mulia Claryn,” kata Amoze di tengah tengah pertarungannya, “Tenang saja, dengan Terragon di sisi saya semuanya akan bisa teratasi.”
Heliost mengayunkan pedangnya yang berkilat ke beberapa burung api itu. Ia menatap sekilas ke arah Amoze dan mulai berbicara, “Aku rasa kau benar. Aku tak bisa mengandalkan Blue Fly sepenuhnya.”
Amoze mengangguk kecil dan tersenyum hangat. Dilihatnya penjaga Archiecarias itu berubah menjadi Pegazuse dan melesat pergi.
Sementara itu Nancy terus berlari melintasi hamparan padang rumput yang begitu luas. Kakinya terasa begitu pegal dan nafasnya terengah engah. Keringat bercucuran semakin deras. Dadanya terasa luar biasa sesak dan seakan mau meledak. Pandangannya berkunang kunang. Ia sungguh letih berlari terus. Namun ia tak bisa mengambil resiko dengan menghentikan langkahnya.
“Kita harus cepat, Yang Mulia,” seru Blue Fly ketika dilihatnya langkah Nancy yang melambat.
Mereka sudah semakin dekat dengan Big castle. Dari jarak pandang beberapa ratus meter ia bisa melihat kastil itu sungguh begitu agung dan indah.
“Aku capek sekali,” kata Nancy. Tenaganya seakan terkuras habis. Ia tak yakin akan sanggup mendaki tebing curam itu untuk bisa mencapai Big Castle.
“Yang Mulia,” pekik Blue Fly memecahkan lamunannya.
Gadis itu membelalak saat dilihatnya puluhan burung api memenuhi sekeliling benteng kota Laxiance, “Sekarang bagaimana?” tanyanya putus asa. Rasa panik bagaikan arus listrik yang kini menyengatnya.
“Burung api Fortescue memang tak bisa masuk ke kota Laxiance. Tapi kita takkan bisa mencapai gerbang benteng dalam keadaan hidup.
Nancy merasakan lehernya begitu kering. Ia tahu ia tak mungkin kembali ke Heliost dan Amoze. Dan di sisi lain kawanan burung api juga muncul dari balik sisi bukit. Sekarang hanya ada satu jalan, “Ayo,” serunya berlari ke kiri.
KAAAK! KAAAK!
Suara burung api itu seakan mengejarnya dan terdengar begitu jelas, nyaris di belakang telinganya.
“Yang Mulia, lebih cepat lagi!” pekik Blue Fly saat salah satu burung api hampir mematuk kepala Nancy.
Nancy mengerahkan sisa tenaga terakhirnya. Ia mencoba berlari lebih cepat lagi. Paru parunya terasa penuh dan begitu sakit. Ia megap megap namun ia tak melambatkan langkahnya sedikit pun.
KAAKK! KAAKK!
Burung burung api itu memekik nyaring. Suaranya yang melengking tinggi seakan hampir membuat gendang telinga Nancy pecah.
“A-aku nggak kuat lagi,” keluhnya. Ia mengerjap kerjapkan matanya. Pemandangannya di depannya mulai mengabur.
“Yang Mulia, lihat itu!” Blue Fly membelalak lebar dan menatap tak percaya, “mereka sengaja menggiring kita.”
Nancy tercengang dan ia mengerem langkahnya ketika dilihatnya jalannya terputus. Sekarang ia berdiri di puncak tebing dan di bawahnya terlihat sebuah jurang yang menganga lebar.
“Sekarang apa lagi!” jeritnya frustasi. Matanya sudah mulai memanas dan rasanya ia ingin sekali menangis. Ia benar benar kesal dan rasa takut begitu meremas hatinya.
Ia berbalik dan tersentak saat burung burung api itu menukik tajam ke arahnya.
“Yang Mulia, burung api itu kelihatannya mengincar Anda.”
Hati Nancy semakin mencelos. Dilihatnya kawanan burung itu kembali menyerangnya. Ia memekik saat paruh paruh mereka yang tajam mulai mematuknya. Ia mencoba mengibaskan tangannya berusaha mengusir mereka. Tapi itu tak berhasil sedikit pun!
Burung burung itu semakin garang dan menyerang dengan membabi buta. Nancy melangkah mundur. Ia bisa merasakan tanah di bawahnya retak.
“AAAAGH!” Pekiknya saat pijakannya tiba tiba runtuh. Ia mencengkram tanah sisi jurang yang rapuh dan tubuhnya bergelayutan. Dengan ngeri ia menoleh ke bawah. Jurang menganga itu siap menelannya. Jurang yang diapit oleh dua tebing curam berbatu yang dingin. Berpuluh puluh meter di bawahnya mengalir sebuah sungai yang gelap dan diselimuti kabut tebal. Nancy tak bisa melihat dengan jelas tapi ia mendengar suara arus sungai yang begitu deras. Dan ia tahu ada banyak batu cadas mencuat dari permukaan sungai itu.
“Bertahan Yang Mulia, saya akan coba menghalau mereka,” Blue Fly balas menyerang burung burung api itu.
Nancy bergelayutan hanya dengan satu tangan. Buku buku jarinya memutih dan rasanya sakit sekali. Hatinya menciut setiap kali melihat ke bawah. Ia ngeri membayangkan apa jadinya kalau ia jatuh ke jurang. Tubuhnya pasti akan dihantam batu batu tajam itu dan tulang tulangnya akan hancur seketika. Ia meneguk ludah dan langsung bergidik.
“Tolong aku Blue Fly,” erangnya kesakitan. Tangannya sudah mulai kram dan tubuhnya mulai terasa melayang. Ia bisa melihat Blue Fly yang mengeluarkan berbagai sihirnya. Tapi peri itu nampak kewalahan.
Hati Nancy seakan hancur saat di dengarnya jeritan parau keluar dari mulut mungil Blue Fly. Salah satu burung api mematuk Blue Fly dan mengoyak sayapnya. Keseimbangannya goyah dan ia terhempas ke arah jurang kelam yang seakan tak berdasar.
“Tidaakk!” jerit Nancy histeris. Cahaya biru Blue Fly perlahan meredup dan peri kecil itu menghilang dalam kabut pekat, dibelah kegelapan, “Tidaaaaak!” jeritnya lagi memecahkan keheningan. Sesuatu yang panas menghantam matanya dan dadanya kembali sesak, “Maafkan aku, Blue Fly,” tangisnya pun pecah. Untuk pertama kalinya ia merasa begitu merana. Rasa bersalah itu bagaikan sebilah sembilu yang menikam hatinya lagi dan lagi.

Tidak ada komentar: