Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin (1995) mengemuka¬kan, "In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher". Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pem-belajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.
Sedangkan Johnson (dalam Hasan, 1994) me¬ngemukakan, "Cooperation means working together to accomplish shared goals. Within cooperative activities individuals seek outcomes that are beneficial to all other groups members. Cooperative learning is the instructional use of small groups that allows students to work together to maximize their own and each other as learning". Berdasarkan uraian tersebut, cooperative learning mengandung arti bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok itu. Prosedur cooperative learning didesain untuk mengaktifkan siswa melalui inkuiri dan diskusi dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-6 orang.
Anita Lie (2000) menyebut cooperative learning dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstuktur. Lebih jauh dikatakan, cooperative learning hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja.
Cooperative learning adalah suatu model pem¬belajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (studend oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model pembelajaran ini telah terbukti dapat dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia.
Istilah cooperative learning dalam pengertian bahasa Indonesia dikenal dengan nama pembelajaran kooperatif. Menurut Johnson & Johnson (1994) cooperative learning adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.
Slavin (1995) menyebutkan cooperative learning merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, di mana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Dalam melakukan proses belajar-mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka.
Ada banyak alasan mengapa cooperative learning tersebut mampu memasuki mainstream (kelaziman) praktek pendidikan. Selain bukti-bukti nyata tentang keberhasilan pendekatan ini, pada masa sekarang masyarakat pendidikan semakin menyadari pentingnya para siswa berlatih berpikir, memecahkan masalah, serta menggabungkan kemampuan dan keahlian. Walaupun memang Pendekatan ini akan berjalan baik di kelas yang ke-mampuannya merata, namun sebenarnya kelas dengan kemampuan siswa yang bervariasi lebih membutuhkan pendekatan ini. Karena dengan mencampurkan para siswa dengan kemampuan yang beragam tersebut, maka siswa yang kurang akan sangat terbantu dan termotivasi siswa yang lebih. Demikian juga siswa yang lebih akan semakin terasah pemahamannya.
Cooperative learning ini bukan bermaksud untuk menggantikan pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam kelas akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan kooperatif ini adalah sebagai alternatif pilihan dalam mengisi kelemahan kompetisi, yakni hanya sebagian siswa saja yang akan bertambah pintar, sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam ketidaktahuannya. Tidak sedikit siswa yang kurang pengetahuannya merasa malu bila kekurangannya diexpose. Kadang-kadang motivasi per¬saingan akan menjadi kurang sehat bila para murid saling menginginkan agar siswa lainnya tidak mampu, katakanlah dalam menjawab soal yang diberikan guru. Sikap mental inilah yang dirasa perlu untuk mengalami improvement (perbaikan).
Watchword of the American Revolution dalam Johnson & Johnson (1994) mengemukakan istilah "Together we stand, divided we fall" atau "bersama kita bisa, berpisah kita jatuh", untuk menggambarkan tentang cooperative learning. Kauchak dan Eggen dalam Azizah (1998) berpendapat cooperative learning merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan. Lie (2002) mengungkapkan, cooperative learning atau memberi landasan teoritis bagaimana siswa dapat sukses belajar bersama orang lain.
Dengan mempraktekkan cooperative learning di ruang-ruang kelas, suatu hal kelak kita akan menuai buah persahabatan dan perdamaian, karena cooperative learning memandang siswa sebagai makhluk sosial (homo homini socius), bukan homo homini lupus (manusia adalah srigala bagi sesamanya). Dengan kata lain, cooperative learning adalah cara belajar mengajar berbasiskan peace education (metode belajar mengajar masa depan) yang pasti mendapat perhatian.
Djahiri K (2004) menyebutkan cooperative learning sebagai pembelajaran kelompok kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang siswa sentris, humanistik, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan belajarnya. Dengan demikian, maka pembelajaran kooperatif mampu membelajarkan diri dan kehidupan siswa baik di kelas atau sekolah. Lingkungan belajarnya juga membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekaligus memberikan pelatihan hidup senyatanya. Jadi, cooperative learning dapat dirumuskan sebagai kegiatan pembelajaran kelompok yang terarah, terpadu, efektif-efisien, ke arah mencari atau mengkaji sesuatu melalui proses kerjasama dan saling membantu (sharing) sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (survive).
Masih membicarakan cooperative learning, beberapa ahli mencoba mengungkapkan pengertian istilah itu. Djajadisastra (1982) mengemukakan, metode belajar kelompok atau lazim disebut dengan metode gotong royong, merupakan suatu metode mengajar di mana murid-murid disusun dalam kelompok-kelompok pada waktu menerima pelajaran atau mengerjakan soal-soal dan tugas-tugas. Nasution (1989) mengemukakan belajar kelompok itu efektif bila setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap kelompok, anak turut berpartisipasi dan bekerja sama dengan individu lain secara efektif, menimbulkan perubahan yang konstruktif pada kelakuan seseorang dan setiap anggota aman dan puas di dalam kelas. Suryosubroto (2002) menyebutkan, belajar kelompok dibentuk dengan harapan para siswa dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran.
Beberapa ciri dari cooperative learning adalah; (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Tujuan Cooperatif Learning
Pelaksanaan model cooperative learning mempartisipasi dan kerja sama dalam kelompok pembelajaran. Cooperative learning dapat meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong-menolong dalam beberapa perilaku sosial. Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar cooperative learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik cooperative learning sebagaimana dikemukakan Slavin (1995), yaitu Penghargaan kelompok, pertanggungjawaban untuk dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Cooperative learning menggunakan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam rnenciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota ketompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas Iainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Cooperative learning menggunakan motode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
Bila dibandingkan dengan pembelajaran yang masih bersifat konvensional, cooperative learning memiliki keunggulan. Keunggulannya dilihat dari aspek adalah memberi peluang kepada siswa agar siswa mengemukakan dan membahas suatu pandangan, pengalaman, yang diperoleh siswa belajar secara bekerja sama dalam merumuskan ke arah satu pandangan kelompok (Cilibert-Macmilan, 1993).
Dengan melaksanakan model pembelajaran cooperative learning, siswa memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar, di samping itu juga bisa melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berpikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill), seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerjasama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan kelas (Stahl, 1994).
Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran, namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Selanjutnya menurut Sharan (1990), siswa yang belajar metode cooperative learning akan memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung dari anak sebaya. Cooperative learning juga menghasilkan peningkatan kemampuan akademik, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, membentuk hubungan persahabatan, menimba berbagai informasi, belajar gunakan sopan santun, meningkatkan motivasi siswa memperbaiki sikap terhadap sekolah dan belajar mengurangi tingkah laku yang kurang baik, serta membantu siswa dalam menghargai pokok pikiran orang lain (Johnson, 1993).
Stahl (1994) mengemukakan, melalui model cooperative learning siswa dapat memperoleh pengetahuan kecakapan sebagai pertimbangan untuk berpikir dan menentukan serta berbuat dan berpartisipasi sosial. Selanjutnya Zaltman et.al (1972) mengemukakan pula siswa yang sama-sama bekerja dalam kelompok akan menimbulkan persahabatan yang akrab, yang terbentuk kalangan siswa, ternyata sangat berpengaruh pada tingkah laku atau kegiatan masing-masing secara individual. Kerjasama antar siswa dalam kegiatan belajar menurut Harmin (dalam Santos, 1983) dapat memberikan berbagai pengalaman. Mereka lebih banyak mendapatkan kesempatan berbicara, inisiatif, menentukan pilihan dan secara umum mengembangkan kebiasaan yang baik.
Selanjutnya Jarolimek & Parker (1993) mengatakan keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran ini adalah: 1) saling ketergantungan yang positif, 2) adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu, 3) siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, 4) suasana kelas yang rileks dan menyenangkan, 5) terjalinnya hubungan . yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru, dan 6) memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.
Kelemahan model pembelajaran cooperative learning bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dari luar (ekstern). Faktor dari dalam, yaitu: 1) guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang,
disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu, 2) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan fasilitas,
alat dan biaya yang cukup memadai, 3) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan 4) saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif .
Cooperative learning menyediakan banyak contoh yang perlu dilakukan para siswa antara lain: (1) siswa terlibat di dalam tingkah-laku mendefinisikan, menyaring, dan memperkuat sikap-sikap, kemampuan, dan tingkah laku partisipasi sosial; (2) respek pada orang lain, memperlakukan orang lain dengan penuh pertimbangan kemanusiaan, dan memberikan semangat penggunaan pemikiran rasional ketika mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama; (3) berpartisipasi dalam tindakan-tindakan kompromi, negosiasi, kerja sama, konsensus dan pentaatan aturan mayoritas ketika bekerja sama untuk menyelesaikan tagas-tugas mereka, dan membantu meyakinkan bahwa setiap anggota kelompoknya belajar. Ketika mereka berusaha mempelajari isi dan kemampuan yang diharapkan, mereka juga menemukan diri bagaimana memecahkan konflik, menangani berbagai problem, dan membuat pilihan-pilihan yang merefleksikan situasi-situasi pribadi dan sosial yang mungkin mereka temukan dalam situasi dunia ini.
Mengacu pada pendapat tersebut maka dengan cooperative learning, para siswa dapat membuat kemajuan besar ke arah pengembangan sikap, nilai, dan tingkah laku, yang memungkinkan mereka dapat berpartisipasi dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang sesuai denean tujuan pendidikan sejarah, karena tujuan utama cooperate learning, adalah untuk memperoleh pengetahuan dari sesama temannya. Jadi, tidak lagi pengetahuan itu diperoleh dari gurunya, dengan belajar kelompok seorang teman haruslah memberikan kesempatan kepada teman yang lain untuk mengemukakan pendapatnya dengan cara menghargai pendapat orang lain, saling mengoreksi kesalahan, dan saling membetulkan sama lainnya.
Ketika cooperative learning dilaksanakan, guru harus berusaha menanamkan dan membina sikap berdemokrasi di antara para siswanya. Maksudnya suasana sekolah kelas harus diwujudkan sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan kepribadian siswa yang demokratis dan dapat diharapkan suasana yang terbuka dengan kebiasaan-kebiasaan kerja sama, terutama dalam memecahkan kesulitan-kesulitan. Seorang siswa haruslah dapat menerima pendapat dari siswa yang lainnya, seperti siswa satu mengemukakan pendapatnya lalu siswa yang lainnya mendengarkan di mana letak kesalahan, kekurangan atau kelebihan, kalau ada kekurangannya maka perlu ditambah, dan penambahan ini harus disetujui semua anggota, yang satu harus saling menghormati pendapat yang lain (Hasan, 2000).
Jadi, dengan cara menghargai pendapat orang lain dan saling membetulkan kesalahan secara bersama, mencari jawaban yang tepat dan baik, dengan cara mencari sumber-sumber informasi dan mana saja seperti buku paket, buku-buku yang ada di perpustakaan dan buku buku penunjang untuk dijadikan pembantu dalam mencari jawaban yang baik dan benar serta memperoleh pengetahuan, materi pelajaran yang diajarkan semakin luas dan semakin baik.
Pada dasarnya model cooperative learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
a. Hasil belajar akademik
Dalam cooperative learning meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, cooperative learning dapat memberi keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model cooperative learning adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga cooperative learning adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
Model-Model Cooperatif Learning
Model pembelajaran perlu dipahami guru agar melaksanakan pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Dalam penerapannya, model pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan siswa karena masing-masing model pembelajaran memiliki tujuan, prinsip, dan tekanan utama yang berbeda-beda.
Menurut Dahlan (1990), model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas. Sedangkan pembelajaran menurut Muhammad Surya (2003) merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Pembelajaran menurut Gagne (1985), "An active process and suggests that teaching involves facilitating active mental process by students", bahwa dalam proses belajaran siswa berada dalam posisi proses mental aktif, dan guru berfungsi mengkondisikan terjadinya pembelajaran. Dalam penerapannya model pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk model yang tepat, maka perlu diperhatikan relevansinya dengan pencapain tujuan pengajaran.
Model pembelajaran menurut Joice dan Well (1990) adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya. Dalam penerapannya model pembelajaran ini harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
Untuk memilih model yang tepat, maka perlu di¬perhatikan relevansinya dengan pencapaian tujuan pengajaran. Dalam prakteknya semua model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, semakin kecil upaya yang dilakukan guru dan semakin besar aktivitas belajar siswa, maka hal itu semakin baik. Kedua, semakin sedikit waktu yang diperlukan guru untuk mengaktifkan siswa belajar juga semakin baik. Ketiga, sesuai dengan cara belajar siswa yang dilakukan. Keempat, dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru. Kelima, tidak ada satupun motode yang paling sesuai untuk segala tujuan, jenis materi, dan proses belajar ada (Hasan, 1996).
Dalam cooperative learning terdapat beberapa variasi model yang dapat diterapkan, yaitu di antaranya: 1) Student Team Achievement Division (STAD), 2) Jigsaw, 3) Group Investigation (GI), 4) Rotating Trio Exchange, dan 5) Group Resume. Dari beberapa model pembelajaran tersebut model yang banyak dikembangkan adalah model Student Team Achievement Division (STAD) dan Jigsaw.
a. Student Team Achievement Division (STAD)
Tipe ini dikembangkan Slavin, dan merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Pada proses pembelajarannya, belajar kooperatif tipe STAD melalui lima tahapan yang meliputi: 1) tahap penyajian materi, 2) tahap kegiatan kelompok, 3) tahap tes individual, 4) tahap penghitungan skor perkembangan individu, dan 5) tahap pemberian penghargaan kelompok (Slavin, 1995).
Tahap Penyajian Materi, yang mana guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus dicapai hari itu dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari, dalam penelitian ini adalah materi tentang pencemaran lingkungan. Dilanjutkan dengan memberikan persepsi dengan tujuan mengingatkan siswa terhadap materi prasarat yang telah dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan materi yang akan disajikan dengan Pengetahuan yang telah dimiliki. Mengenai teknik Penyajian materi pelajaran dapat dilakukan secara klasikal aupun melalui audiovisual. Lamanya presentasi dan berapa kali harus dipresentasikan bergantung pada kekompleksan materi yang akan dibahas.
Dalam mengembangkan materi pembelajaran perlu ditekankan hal-hal sebagai berikut: a) mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok, b) menekankan bahwa belajar adalah memahami makna, dan bukan hapalan, c) memberikan umpan balik sesering mungkin untuk mengontrol pemahaman siswa, d) memberikan penjelasan mengapa jawaban pertanyaan itu benar atau salah, dan e) beralih kepada materi selanjutnya apabila siswa telah memahami permasalahan yang ada.
Tahap Kerja Kelompok, pada tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang dibahas, dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok.
Tahap Tes Individu, yaitu untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah dicapai, diadakan tes secara individual, mengenai materi yang telah dibahas. Pada penelitian ini tes individual diadakan pada akhir pertemuan kedua dan ketiga, masing-masing selama 10 menit agar siswa dapat menunjukkan apa yang telah dipelajari secara individu selama bekerja dalam kelompok Skor perolehan individu ini didata dan diarsipkan, yang akan digunakan pada perhitungan perolehan kelompok.
Tahap Perhitungan Skor Perkembangan Individu, dihitung berdasarkan skor awal, dalam penelitian ini berdasarkan pada nilai evaluasi hasil belajar semester I. Berdasarkan skor awal setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang diperolehnya. Penghitungan perkembangan skor individu dimaksudkan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi terbaik sesuai dengan kemampuannya. Adapun penghitungan skor perkembangan individu pada penelitian ini diambil dari penskoran perkembangan individu yang dikemukakan Slavin (1995)
b. Jigsaw
Pembelajaran kooperatif Jigsaw merupakan salah satu ripe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam penyeleng-garaannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu.
Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Dengan demikian, cara yang efektif untuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah guru membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang sangat disukainya misalnya sesama jenis, sesama etnik, dan sama dalam kemampuan.
Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan seringkali siswa tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Oleh karena itu, memberikan kebebasan siswa untuk membentuk kelompok sendiri bukanlah cara yang baik, kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat menghasilkan kelompok-kelompok yang heterogen. Pengelompokan secara acak juga dapat digunakan, khusus jika pengelompokan itu terjadi pada awal tahun ajaran baru dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa-siswanya.
Jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk dapat berkerja sama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok mempengaruhi kemampuan produktivitasnya. Dalam hal ini, Soejadi (2000) mengemukakan, jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin besar, dapat mengakibatkan makin kurang efektif kerjasama antara para anggotanya.
Menurut Edward (1989). kelompok yang terdiri dan empat orang terbukti sangat efektif. Sedangkan Sudjana (1989) mengemukakan, beberapa siswa dihimpun dalam satu kelompok dapat terdiri 4-6 orang siswa. Jumlah yang paling tepat menurut hasil penelitan Slavin adalah hal itu dikarenakan kelompok yang beranggotakan 4-6 orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.
Dalam Jigsaw ini setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dan kelompoknya masing-masing bertemu dengan anggota-anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Selanjutnya materi tersebut didiskusikan mempelajari serta memahami setiap masalah yang dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut.
Pada tahap ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menguasai materi yang ditugaskannya, kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok masing-masing atau kelompok asalnya. Selanjutnya masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan guru.
Pada tahap ini siswa akan banyak menemui permasalahan yang tahap kesukarannya bervariasi. Pengalaman seperti ini sangat penting terhadap perkembangan mental anak. Piaget (dalam Ruseffendi, 1991) menyatakan,"...bila menginginkan perkembangan mental maka lebih cepat dapat masuk kepada tahap yang lebih tinggi, supaya anak diperkaya dengan banyak pengalaman". Lebih lanjut Ruseffendi mengemukakan, kecerdasan manusia dapat ditingkatkan hingga batas optimalnya dengan pengayaan melalui pengalaman.
Pada tahap selanjutnya siswa diberi tes/kuis, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi. Dengan demikian, secara umum penyelenggaraan model belajar jigsaw dalam proses belajar mengajar dapat menumbuhkan tanggung jawab siswa sehingga terlibat langsung secara aktif dalam mahami suatu persoalan dan menyelesaikannya kelompok.
Dalam model Jigsaw versi Aronson, kelas dibagi suatu kelompok kecil yang heterogen yang diberi nama tim jigsaw dan materi dibagi sebanyak menurut anggota timnya. Tiap-tiap tim diberikan satu set materi yang lengkap dan masing-masing individu ditugaskan untuk memilih topik mereka. Kemudian siswa dipisahkan menjadi kelompok "ahli" atau "rekan" yang terdiri dari seluruh siswa di kelas yang mempunyai bagian informasi yang sama.
Di grup ahli, siswa saling membantu mempelajari materi dan mempersiapkan diri untuk tim Jigsaw. Setelah siswa mempelajari materi di grup ahli, kemudian mereka kembali ke tim jigsaw untuk mengajarkan materi tersebut kepada teman setim dan berusaha untuk mempelajari sisa materi. Teknik ini sama dengan teka-teki yang disebut pendekatan jigsaw. Sebagai kesimpulan dari pelajaran tersebut siswa dengan bebas memilih kuis dan diberikan nilai individu.
Model Jigsaw dapat digunakan secara efektif di tiap level dimana siswa telah mendapatkan keterampilan akademis dari pemahaman, membaca maupun ke¬terampilan kelompok untuk belajar bersama. Jenis materi yang paling mudah digunakan untuk pendekatan ini adalah bentuk naratif seperti ditemukan dalam literatur, penelitian sosial membaca dan ilmu pengetahuan. Materi pelajaran harus mengembangkan konsep daripada mengembangkan keterampilan sebagai tujuan umum.
c. Group Investigation (GI)
Pada model ini siswa dibagi ke dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang. Kelompok dapat dibentuk berdasarkan perkawanan atau berdasarkan pada keter-kaitan akan sebuah materi tanpa melanggar ciri-ciri cooperative learning. Pada model ini siswa memilih sub topik yang ingin mereka pelajari dan topik yang biasanya telah ditentukan guru, selanjutnya siswa dan guru merencanakan tujuan, langkah-langkah belajar berdasarkan sub topik dan materi yang dipilih. Kemudian siswa mulai belajar dengan berbagai sumber belajar baik di dalam atau pun di luar sekolah, setelah proses pelaksanaan belajar selesai mereka menganalisis, menyimpulkan, dan membuat kesimpulan untuk mempresentasikan hasil belajar mereka di depan kelas.
d. Rotating Trio Exchange
Pada model ini, kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 3 orang, kelas ditata sehingga setiap kelompok dapat melihat kelompok lainnya di kiri dan di kanannya, berikan pada setiap trio tersebut pertanyaan yang sama untuk didiskusikan. Setelah selesai berilah nomor untuk setiap anggota trio tersebut. Contohnya nomor 0, 1, dan 2. Kemudian perintahkan nomor 1 berpindah searah jarum jam dan nomor 2 sebaliknya, berlawanan jarum jam. Sedangkan nomor 0 tetap di tempat. Ini akan mengakibatkan timbulnya trio baru. Berikan kepada setiap trio baru tersebut pertanyaan-pertanyaan baru untuk didiskusikan, tambahkanlah sedikit tingkat kesulitan. Rotasikan kembali siswa seusai setiap pertanyaan yang telah disiapkan.
e. Group Resume
Model ini akan menjadikan interaksi antar siswa lebih baik, kelas dibagi ke dalam kelompok-kelompok setiap kelompok terdiri dari 3-6 orang siswa. Berikan penekanan bahwa mereka adalah kelompok yang bagus baik bakat atau pun kemampuannya di kelas. Biarkan kelompok-kelompok tersebut membuat kesimpulan yang di dalamnya terdapat data-data latar belakang pendidikan, pengetahuan akan isi kelas, pengalaman kerja, kedudukan yang dipegang sekarang, keterampilan, hobby, bakat dan lain-lain. Kemudian setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan kesimpulan kelompok mereka.
Peranan Guru Dalam Cooperatif Learning
Menciptakan lingkungan yang optimal baik secara fisik maupun mental, dengan cara menciptakan suasana kelas yang nyaman, suasana hati yang gembira tanpa tekanan, maka dapat memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran. Pengaturan kelas yang baik merupakan langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar siswa secara keseluruhan.
Sesuai dengan pendapat tersebut, maka dalam pelaksanaan model cooperative learning dibutuhkan kemauan dan kemampuan serta kreatifitas guru dalam mengelola lingkungan kelas. Sehingga dengan menggunakan model ini guru bukannya bertambah pasif, tapi harus menjadi ebih aktif terutama saat menyusun rencana pembelajaran Secara matang, pengaturan kelas saat pelaksanaan, dan membuat tugas untuk dikerjakan siswa bersama dengan kelompoknya.
Dalam model pembelajaran cooperative learning juga harus mampu menciptakan kelas sebagai laboratoriurn demokrasi, supaya peserta didik terlatih dan terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini penting dikondisikan sejak di bangku sekolah, agar peserta didik terbiasa berbeda pendapat, jujur, sportif dalam mengakui kekurangannya sendiri dan siap menerima pendapat orang lain yang lebih baik, serta mampu mencari pemecahan masalah. Perbedaan pendapat yang mengarah pada konflik interpersonal asalkan menurut aturan diskusi yang baik disertai sikap yang positif, sesungguhnya dapat membantu menumbuhkan kesehatan mental siswa. Hal yang perlu dihindari ialah bila perbedaan pendapat itu menjurus pada konflik yang bersifat intrapersonal yang dapat merugikan kesehatan mental siswa (Soemantri, 2001).
Dalam model cooperative learning dibutuhkan proses yang melibatkan niat dan kiat (will and skill) dari anggota kelompoknya sehingga masing-masing siswa harus memiliki niat untuk bekerjasama dengan anggota lainnya. Di samping itu, juga harus memiliki kiat-kiat bagaimana caranya berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain. Dalam pengelolaan kelas model cooperative learning ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni pengelompokan/pemberian motivasi kepada kelompok, dan penataan ruang kelas (Lie, 2000).
a. Pembentukan Kelompok
Pada saat pembentukan kelompok guru membuat kelompok yang heterogen. Pembentukan kelompok dibentuk dengan memperhatikan kemampuan akademis. Pada umumnya masing-masing kelompok beranggotakan empat orang yang terdiri atas satu orang yang berkemampuan tinggi, dua orang yang berkemampuan sedang dan satu orang yang berkemampuan rendah.
Alasan dibentuk kelompok heterogen adalah: Pertama, memberi kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung. Kedua, dapat meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik dan gender. Ketiga, memudahkan pengelolaan kelas karena masing-masing kelompok memiliki anak yang berkemampuan tinggi (special hilper), yang dapat membantu teman lainnya dalam memecahkan suatu pemasalahan dalam kelompok (Jarolimek & Parker, 1993).
b. Pemberian Semangat Kelompok
Agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran cooperative learning maka masing-masing kelompok perlu memiliki semangat kelompok. Pemberian semangat ini sangat penting agar kelompoknya dapat bekerja lebih baik ini. Pemberian semangat ini bisa dibina dengan melakukan beberapa kegiatan yang bisa mempererat hubungan antara anggota kelompok, yaitu melalui kegiatan kesamaan kelompok, identitas kelompok, maupun sapaan atau sorak kelompok.
Dengan demikian, diharapkan tertanam perasaan saling memiliki diantara anggota kelompok. Rasa saling memiliki menciptakan rasa kebersamaan, kesatuan, kesepakatan, dan dukungan dalam belajar. Dengan membangun rasa saling memiliki akan mempercepat proses pengajaran dan meningkatkan rasa tanggung jawab dari pelajar (Porter, 2001).
c. Penataan Ruang Kelas
Penataan ruang kelas sangat dipengaruhi oleh filsafat dan metode pembelajaran yang dipakai di kelas. Pada umumnya penataan ruang kelas diatur secara klasikal, karena hal ini sangat sesuai dengan metode ceramah. Dalam metode ini guru berperan sebagai narasumber yang utama atau mungkin satu-satunya narasumber.
Sementara untuk model cooperative learning guru tidak hanya sebagai satu-satunya narasumber, tetapi siswa juga bisa belajar dari temannya dan guru berperan sebagai fasilitator, motivator, mediator, dan evaluator. Sebagai konsekuensinya ruang kelas harus ditata sedemikian rupa sehingga dapat menunjang terjadinya dialog dalam cooperative learning.
Pengaturan bangku memainkan peranan penting dalam kegiatan belajar model cooperative learning sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas. Di samping itu, harus bisa melihat dan menjangkau rekan-rekan kelompoknya dengan baik dan berada dalam jangkauan kelompoknya dengan merata.
Penggunaan meja tapal kuda dan meja panjang dapat menempatkan siswa secara berkelompok di ujung meja (lihat gambar 1). Sedangkan penggunaan meja laboratorium (gambar 2) memudahkan siswa untuk mengerjakan tugas individu maupun kelompok. Penggunaan meja kelompok dan meja klasikal (gambar 3) dapat menempatkan siswa dalam kelompok secara berdekatan. Sedangkan penggunaan meja berbaris (gambar 4) dapat menempatkan dua kelompok duduk dalam satu meja sedangkan penataan terbaik dan relatif lebih mudah adalah dengan menempatkan bangku individu dengan meja tulisnya (gambar 5).
Guru mempunyai peranan penting terutama pada saat proses belajar mengajar berlangsung seperti halnya penentuan topik, permasalahan apa saja yang didiskusikan, memberikan saran-saran dan juga kalau sudah selesai guru haruslah memberikan pujian terutama bagi mereka yang telah menyelesaikan tugasnya paling cepat, tepat, dan benar.
Beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan guru terutama dalam melaksanakan pembelajaran dikemukakan Stahl (1994), yaitu: 1) kejelasan rumusan tujuan pembelajaran, 2) penerimaan siswa secara me-nyeluruh tentang tujuan belajar, 3) saling membutuhkan diantara sesama anggota, 4) keterbukaan dalam interaksi pembelajaran, 5) tanggung jawab individu; 6) heterogenitas kelompok; 7) sikap dan perilaku sosial yang positif, 8) depriefing (refleksi), dan 9) kepuasan dalam belajar.
Kejelasan rumusan tujuan pembelajaran, artinya sebelum menggunakan model pembelajaran ini, guru memulai dengan jelas dan spesifik. Tujuan ini menyangkut apa yang diinginkan guru dilakukan siswa dalam kegiatan belajarnya. Perumusan tujuan ini harus sesuai dengan tujuan kurikulum dan pembelajaran. Apakah kegiatan belajar siswa ditekankan pada pemahaman materi pelajaran, sikap dan proses dalam bekerjasama, ataukah keterampilan-keterampilan tertentu. Tujuan ini harus dirumuskan dalam bahasa dan konteks kalimat yang mudah dimengerti siswa secara keseluruhan. Hal ini hendak-nya dilakukan guru sebelum kelompok belajar terbentuk.
Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar adalah guru mengkondisikan kelas agar siswa menerima tujuan pembelajaran dari sudut kepentingan diri, dan kelas. Untuk itu siswa dikondisikan untuk mengetahui dan menerima kenyataan bahwa setiap orang dalam kelompoknya menerima dirinya untuk bekerjasama dalam mempelajari seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan untuk dipelajari.
Saling membutuhkan diantara sesama anggota. Untuk mengkondisikan terjadinya interdependensi diantara siswa dan kelompok belajar, maka guru mengkondisikan materi dan tugas-tugas pelajaran sehingga siswa memahaminya. Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran adalah suasana belajar dalam kelompok dengan adanya interaksi diantara sesama siswa pada saat mendiskusikan materi pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan guru. Dengan suasana belajar seperti ini akan memperoleh keberhasilan dalam belajarnya karena mereka saling memberi dan menerima masukan, ide, saran dan kritik dan sesama temannya dengan cara positif dan terbuka.
Tanggung jawab individu merupakan salah satu dasar penggunaan cooperative learning yang mahasiswa secara individu dituntut untuk mempunyai dua tanggung jawab, yaitu mengerjakan tugas dan memahami materi untuk keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Di antara sesama anggota kelompok berinteraksi dan bekerjasama meskipun anggota kelompoknya terdiri berbagai macam keadaan status diri, misalnya berasal dari etnik yang berbeda, berbeda agama, berbeda status sosial dan kelompok yang heterogen. Dengan belajar tentang perbedaan yang wajar, anak belajar juga memperlakukan mereka dengan demokratis. Hal ini merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik siswa yang berbeda pula. Suasana belajar seperti ini akan tumbuh berkembang sehingga dapat melahirkan suatu nilai hidup, sikap, moral dan perilaku siswa. Suasana ini merupakan media yang sangat baik bagi siswa dan akan mengembangkan kemampuan serta melatih untuk keterampilan dirinya dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis.
Sikap dan perilaku sosial yang positif adalah ketika siswa berinteraksi dengan siswa lainnya tidak begitu saja bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada anggota kelompok lainnya. Dalam kegiatan kelompok ini siswa harus belajar seperti bagaimana cara memimpin, cara berdiskusi, bernegosiasi, mengklarifikasikan berbagai masalah dan secara bertahap belajar mengambil keputusan.
Depriefing (refleksi). Pada saat kelompok belajar menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, dilakukan evaluasi terhadap penampilan dan hasil kerja siswa dalam kelompok belajar juga; (1) hasil kerja kelompok; (2) sistem tutorial dan kolaboratif dalam belajar di antara anggota kelompok; (3) sikap dan perilaku siswa selama pembelajaran; dan (4) antusiasme dan refleksi diri anggota kelompok untuk meningkatkan produktifitas kerja pembelajaran selanjutnya. Untuk itu guru harus mengevaluasi dan memberikan berbagai masukan terhadap hasil pekerjaan siswa dan aktivitas mereka selama kelompok belajar siswa tersebut bekerja. Dalam hal ini guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide dan saran, baik siswa lainnya maupun kepada guru dalam rangka ; perbaikan belajar dan hasilnya di kemudian hari.
Kepuasan dalam belajar. Setiap siswa dan kelompok I belajar memperoleh waktu yang cukup untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan siswa. Jangan sampai siswa tidak memperoleh waktu yang cukup dalam belajar maka program sekolah dalam penggunaan cooperative learning akan sangat terbatas karena memperoleh belajar siswa juga sangat terbatas. Untuk itu guru hendaknya merancang dan mengalokasikan waktu yang memadai.
1. Relevansi Cooperative Learning terhadap Guru
Terdapat tiga ciri atau sikap yang mungkin dimiliki guru. Ketiga sikap itu adalah apakah guru akan disiapkan menjadi guru yang: a) Propagandis, b) Netral, atau c) Berpengetahuan luas dan pengabdiannya tinggi (well-informed and well-dedicated).
Pertama, guru yang propagandis adalah sebutan bagi guru yang setiap penampilannya akan memukau anak-anak, namun bila terus menerus akan menimbulkan rasa jemu dari anak. Kedua, guru yang netral adalah guru yang punya pendirian, dan tak punya tanggung jawab menyampaikan pelajaran, karena ia sendiri tidak yakin akan maknanya. Ketiga, sikap guru yang baik, yaitu guru yang memiliki pengetahuan luas dan siap menyampaikannya dengan penuh ketulusan dan tanggung jawab kepada siswa, ia sadar sedang mengemban tertentu. Dengan cara ini, siswa akan hormat kepada gurunya.
Sikap ini dapat terlaksana bila dalam menyampaikan pembelajaran, guru berpegang pada prinsip sebagai berikut: 1) mengembangkan rasa ingin tahu siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk memperkaya pengetahuan tentang konsep ruang dan waktu, 2) mampu membedakan waktu (konsep waktu dan konsep kronologis), 3) mengembangkan proses pembelajaran yang terfokus pada diri siswa, 4) menggunakan media dan buku sumber. Media dan buku sumber itu dapat membantu siswa untuk lebih mengerti dan memahami pembelajaran.
2. Relevansi Cooperative Learning terhadap Siswa
Pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan efektif pada diri siswa bila ditanamkan unsur-unsur dasar belajar kooperatif. Dengan dilaksanakannya model cooperative learning secara berkesinambungan dapat dijadikan sebagai sarana bagi guru untuk melatih dan mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor siswa, khususnva keterampilan sosial siswa untuk bekal hidup bermasyarakat. Siswa selain dilatih mengembangkan kemampuan kognitifnya, juga dilatih aspek untuk mengembangkan social skill yang dimilikinya. Keberhasilan siswa dalam pembelajaran ini akan berdampak pada keberhasilan guru dalam mengelola kelasnya dengan menggunakan model cooperative learning.
3. Relevansi Cooperative Learning terhadap Tujuan Penelitian Tindakan Kelas
Banyaknya kritik yang ditujukan kepada pengajaran IPS, apakah karena membosankan, jenuh, lebih menekankan pada hafalan, siswa yang pasif, dan aktifitas dikoordinasi guru yang menyebabkan pelajaran IPS menjadi pelajaran nomor dua di sekolah jika dibandingkan dengan pelajaran IPA. Hal ini yang melatarbelakangi diadakannya penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk atau jawaban atas pemasalahan yang timbul, sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPS.
Selanjutnya tujuan penelitian tindakan secara makro akan mendukung inovasi pendidikan dengan memberikan peranan kepada guru agar terlibat dalam upaya tersebut dengan melakukan penelitian sehingga gerakan rekonstruksi mendapat landasan yang kuat dari bawah. Oleh karena itu, agar para pendidik mampu melakukan peranannya dalam upaya rekonstruksi ini maka dirasakan perlu pemberdayaan dalam profesi mereka. Sehingga penelitian tindakan akan membantu guru dalam meningkatkan layanan profesionalnya dalam pembelajaran di kelas.
Relevansi cooperalive learning terhadap tujuan penelitian tindakan kelas dapat menjadikan salah satu jawaban dan permasalahan-permasalahan yang timbul di kelas. Penelitian kelas telah membuat kontribusi berupa deskripsi pelaksanaan tindakan nyata proses belajar mengajar yang telah menolong guru dalam memahami pekerjaannya. Keunggulan dan kelemahan yang timbul dalam cooperative learning diharapkan dapat dijadikan masukan yang berharga untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah di kelas.
Strategi Cooperatif Learning
Tujuan penting dari cooperative learning ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki siswa sebagai warga masyarakat, bangsa dan negara, mengingat kenyataan yang dihadapi bangsa ini dalam mengatasi masalah-masalah sosial semakin kompleks. Apalagi tantangan bagi peserta didik supaya mampu dalam menghadapi persaingan global untuk memenangkan persaingan.
Era global yang ditandai dengan persaingan dan Kerja sama di segala aspek kehidupan mempersyaratkan Para siswa memiliki keterampilan sosial. Keterampilan serta sikap positif sosial sebagai anggota masyarakat lokal ataupun global yang demokratis dapat dikembangkan lebih lanjut melalui cooperative learning. Dengan demikian, dapat diduga para peserta didik akan mendapatkan makna dan manfaat praktis dari setiap proses pembelajaran tersebut
Model cooperative learning membuka peluang bagi upaya mencapai tujuan meningkatkan keterampilan sosial peserta didik. Seperti yang diungkapkan Stahl (2000), "The cooperative behaviors and attitudes that contributed to the success and or failure of these groups". Dalam kelompok ini mereka bekerja tidak hanya sebagai kumpulan individual tetapi merupakan suatu tim kerja yang tangguh. Seorang anggota kelompok bergantung kepada anggota kelompok lainnya. Seorang yang memlilki keunggulan tertentu akan membagi keunggulannya dengan lainnya. Di samping itu, (Slavin, 1992) menyebut cooperative learning sekaligus dapat melatih sikap dan keterampilan sosial sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat.
Salah satu sikap yang dimiliki siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran, yaitu setiap siswa memiliki sikap keterampilan sosial. Keterampilan sosial merupakan sikap yang dimiliki setiap individu sebagai hasil dari proses pemaknaan terhadap proses belajar, tetapi hasil ini tidak diperoleh secara menyeluruh oleh individu di dalam kelas, melainkan hanya sebagian saja yang dimiliki siswa tersebut. Hal ini tergantung dari tingkat pemaknaan setiap individu dalam proses belajar mengajar di kelas. Keterampilan sosial akan nampak jika individu itu merealisasikan apa yang ia peroleh sebagai hasil belajar. Sikap keterampilan sosial itu terlihat dari perbuatan siswa, misalnya siswa tanggap terhadap masalah kebersihan di kelas, tanggap terhadap keamanan di kelas, tanggap terhadap iuran wajib di kelas, tanggap terhadap hak sebagai siswa di kelas, di keluarga, di sekolah, di masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perilaku yang dicerminkan dari hasil belajar di sekolah bagi siswa yang memiliki keterampilan sosial bukan hanya ia sadar memiliki sikap tanggap saja, akan tetapi sikap tersebut direalisasikan dalam kehidupan sehari-harinya, yang pada akhirnya akan menjadi warga negara yang baik, yang ditandai dengan sikap memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Untuk tercapainya siswa sebagaimana yang digambarkan di atas, diperlukan adanya iklim yang sehat melalui jenjang persekolahan sehingga memungkinkan siswa sebagai generasi muda berkembang secara wajar dan bertanggung jawab. Karena itu, perlu ada usaha-usaha mengembangkan pemikiran siswa utuk dapat meng-analisis hal-hal yang terjadi dalam masyarakat, baik yang sudah menjadi maupun yang akan terjadi dan mengancam keadaan masyarakat secara umum. Maka siswa tersebut diharapkan akan menjadi siswa yang memiliki keterampil¬an sosial yang dibutuhkan dalam masyarakat yang modern seperti sekarang ini.
Dalam pembelajaran ini, terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas (Lie, 2000), yaitu:
1. Teknik Mencari Pasangan (Make a Mach), yaitu teknik yang dikembangkan Loma Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia
2. Bertukar pasangan, teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sama dengan orang lain. Pasangan bisa ditunjuk oleh guru atau berdasarkan Teknik Mencari Pasangan.
3. Berpikir Berpasangan Berempat (Think-Pare-Share), yaitu tehnik yang dikembangkan Frank Lyman (Think-Pair-Share) dan Spencer Kagan (Think-Pair-Square). Tehnik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan dari teknik ini adalah optimalisasi par-tisipasi siswa, yaitu memberi kesempatan delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.
4. Berkirim Salam dan Soal, teknik ini memberi ke¬sempatan kepada siswa untuk melatih pengetahuan dan keterampilan mereka. Siswa membuat pertanyaan sendiri sehingga akan merasa terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat teman sekelasnya.
5. Kepala Bernomor (Numbered Heads), teknik ini di¬kembangkan Spencer Kagan (1992). Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan pertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu teknik ini mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka.
6. Kepala Bernomor Terstruktur, teknik ini modifikasi dan Teknik Kepala Bernomor yang dipakai Spencer Kagan. Dengan teknik ini siswa bisa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dan saling keterkaitan dengan teman-teman kelompoknya.
7. Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray), teknik ini dikembangkan Spencer Kagan (1992) dan bisa digunakan dengan Teknik Kepala Bernomor. Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk membagikan hasil informasi dengan kelompok lain.
8. Keliling Kelompok, dalam teknik ini masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain.
9. Kancing Gemerincing, teknik ini dikembangkan juga oleh Speicer Kagan (1992), dimana masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran orang lain.
10.Keliling Kelas, teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk memamerkan hasil kerja mereka dan melihat hasil kerja orang lain
11.Lingkaran Kecil-Lingkaran Besar (Inside-Outside Cirle), dikembangkan Spencer Kagan untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan.
12.Tari Bambu, teknik ini merupakan modifikasi Ling¬karan Kecil-Lingkaran Besar, karena keterbatasan ruang kelas.
13.Bercerita Berpasangan (Paired Stotytelling), dikembangkan sebagai pendekatan interakif antara siswa, pengajar, dan bahan pengajaran. Dalam teknik ini guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata itu agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam kegiatan ini siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan ber-imajinasi sehingga siswa terdorong untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Teknik-teknik tersebut tidak harus dipraktekan seluruhnya di depan kelas, namun sebagai seorang guru yang professional, guru bisa memilih dan memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut agar lebih sesuai dengan situasi kelas.
Dalam teknik jigsaw yang dikembangkan Aronson et al, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi yang cocok. Langkah-langkah yang harus dtempuh yaitu: 1) Guru membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat bagian, 2) Sebelum bahan pelajaran diberikan, guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran saat itu. Guru bisa menuliskan topik di papan tulis dan menanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan braimstrorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru, 3) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok satu kelompok empat orang, 4) Bagian pertama bahan diberikan pada siswa yang pertama, sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua dan seterusnya, 5) Siswa mengerjakan bagian mereka masing-masing, 6) Setelah selesai, siswa saling berbagi mengenai bagian yang dikerjakan masing-masing. Dalam kegiatan ini siswa bisa saling melengkapi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, dan 7) Kegiatan ini diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan seluruh kelas.
Diskusi adalah unsur penting dalam belajar kelompok (Jarolimek & Parker, 1993). Dengan berdiskusi terdapat keanekaragaman pendapat dan sudut pandang dan berbagai anggota kelompok. Karena itu, partisipasi siswa secara luas sangat diperlukan. Dalam diskusi harus dihindari dominasi seseorang dalam berbicara sehingga guru harus memperhatikan jalannya diskusi, di samping agar terhindar dan topik permasalahan yang meluas.
Langkah kongkrit yang harus kita lakukan, menyusun serangkaian program pembinaan yang disusun secara baik, terarah, simultan dan berkesinambungan Langkah nyata tersebut diwujudkan guru dengan cara merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dalam bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya tujuan kurikulum bidang studi IPS adalah keterampilan sosial Tujuan-tujuan itu harus bersifat operasional sesuai dengan situasi kelas atau praktek.
Tujuan-tujuan itu terdiri dari berpikir sosial, kemampuan memahami makna fakta sosial, sikap-sikap sosial, kepercayaan, dan nilai-nilai, misalnya posisi dasar personal, keadaan sosial, minat-minat sosial, misalnya ikut serta dalam kegiatan sosial (yang bermakna), informasi sosial, misalnya fakta dan generalisasi, keterampilan perbuatan sosial, mampu melakukan perbuatan-perbuatan sosial.
Upaya guru yang dimaksud merupakan serang¬kaian kegiatan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar dengan tujuan untuk memberikan pengalaman, pengetahuan, dan pemahaman bagi peserta didik sehingga siswa dapat memiliki kemampuan, baik kemampuan akademis (intelectual question) maupun kemampuan emosional (emotional question).
Dewasa ini upaya guru dalam kegiatan belajar mengajar mutlak diperlukan. Hal ini tentu untuk tercapainya tujuan belajar yang sesungguhnya, yaitu adanya perubahan, dan perubahan yang diharapkan dapat berupa pertambahan ilmu pengetahuan maupun perubahan tingkah laku ke arah kedewasaan, baik dewasa berpikir, maupun betindak untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Stahl (1994) dan Slavin (1993) mengemukakan langkah-langkah dalam implementasi model cooperative learning secara umum yang dijelaskan secara operasional sebagai adalah berikut:
1. Merancang rencana program pembelajaran
Pada langkah ini guru mempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Disamping itu, guru juga menetapkan sikap dan keterampilan-keterampilan sosial yang diharapkan dikembangkan dan diperhatikan siswa selama berlangsungnya pembelajaran. Guru dalam merancang program pembelajarannya juga harus mengorganisasikan materi dan tugas-tugas siswa harus mencerminkan sistem kerja dalam kelompok kecil. Artinya, materi dan tugas-tugas itu adalah untuk dibelajarkan dan dikerjakan secara bersama dalam dimensi kerja kelompok.
Untuk memulai pembelajarannya guru harus menjelaskan tujuan dan sikap serta keterampilan sosial yang yang ingin dicapai dan diperhatikan siswa selama pembelajaran. Hal ini mutlak harus dilakukan guru, karena dengan demikian siswa tahu dan memahami apa yang harus dilakukan selama proses belajar mengajar.
2. Merancang lembar observasi
Hal ini dimaksudkan untuk mengobservasi kegiatan siswa dalam belajar secara bersama dalam kontek kelompok-kelompok kecil. Dalam menyampaikan materi guru tidak lagi menyampaikan materi secara panjang lebar karena pemahaman dan pendalaman materi itu nantinya akan dilakukan siswa ketika belajar secara berasama dalam kelompok. Guru hanya menjelaskan pokok-pokok materi dengan tujuan siswa mempunyai wawasan dan orientasi yang memadati tentang materi yang diajarkan.
Pada saat guru selesai menyajikan materi, maka langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah menggali pengetahuan dan pemahaman siswa tentang materi pelajaran berdasarkan apa yang telah dibelajarkan. Hal ini dimaksudkan untuk kesiapan belajar siswa. Selanjutnya guru pembimbing siswa untuk membentuk kelompok. Pemahaman dan konsepsi guna terhadap siswa secara individual sangat menentukan kebersamaan dan kelompok yang terbentuk.
Kegiatan ini dilakukan sambil menjelaskan tugas yang harus dilakukan siswa dalam kelompoknya masing-masing. Pada saat siswa belajar secara berkelompok guru mulai melakukan monitoring dan mengobservasi kegiatan belajar siswa berdasarkan lembar observasi yang dirancang sebelumnya.
3. Dalam melakukan observasi terhadap kegiatan siswa guru mengarahkan dan membimbing siswa baik secara individu maupun secara kelompok baik dalam memahami materi maupun mengenal sikap dan prilaku siswa selama kegiatan belajar.
Pemberian pujian dan kritikan membangun dan guru kepada siswa merupakan aspek penting yang harus diperhatikan guru pada saat siswa bekerja dalam ke¬lompoknya. Di samping itu, pada saat kegiatan kelompok berlangsung, guru secara periodik memberikan layanan kepada siswa baik secara individu maupun secara klasikal.
4. Guru memberikan kesempatan kepada siswa dari masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya
Pada saat diskusi di kelas, guru bertindak sebagai moderator. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengoreksi pengertian dan pemahaman siswa terhadap materi atau hasil kerja yang telah diterampilkannya. Pada saat presentasi siswa berakhir, maka guru mengajak siswa untuk melakukan refleksi diri terhadap proses jalannya pembelajaran dengan tujuan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan atau sikap serta perilaku menyimpang yang dilakukan selama pembelajaran.
Di samping itu, guru juga memberikan beberapa penekanan terhadap nilai, sikap, dan perilaku sosial yang harus dikembangkan dan dilatih siswa. Dalam melakukan refleksi, guru tetap berperan sebagai mediator dan moderator aktif. Maksudnya, pengembang ide, saran, dan kritik terhadap proses pembelajaran harus diupayakan berasal dan siswa, kemudian barulah guru melakukan beberapa Perbaikan dan pengarahan terhadap ide, saran, dan kritik yang berkembang.
Abdulhak (2001) menjelaskan, langkah-langkah cooperative learning adalah sebagai berikut: (1) merumuskan secara jelas apa yang harus dicapai peserta belajar, (2) memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang paling tepat (3) menjelaskan secara detail proses pembelajaran kooperatif, yaitu mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang diharapkan, (4) memberikan tugas yang paling tepat dalam pembelajaran, (5) menyiapkan bahan belajar yang memudahkan peserta belajar dengan baik, (6) melaksanakan pengelompokkan peserta belajar, (7) mengembangkan sistem pujian untuk kelompok atau perorangan peserta belajar, (8) memberikan bimbingan yang cukup kepada peserta belajar, (9) menyiapkan instrumen penilaian yang tepat, (10) mengembangkan sistem pengarsipan data kemajuan peserta belajar, baik perorangan maupun kelompok, dan (11) melaksanakan refleksi.
Pembelajaran dalam cooperative learning dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari cooperative learning meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari siswa dan pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu.
Salah satu implikasi teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran adalah penerapan cooperative learning. Dalam cooperative learning siswa atau peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan temannya. Melalui diskusi akan terjalin komunikasi di mana siswa saling berbagi ide atau pendapat. Melalui diskusi akan terjadi elaborasi kognitif yang baik sehingga dapat meningkatkan daya nalar, keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan memberi ke-sempatan pada siswa untuk mengungkapkan pendapatnya.
Beberapa penelitian menunjukkan, model cooperative learning memiliki dampak yang positif terhadap kegiatan belajar mengajar, yakni dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran, meningkatkan ketercapaian TPK, dan dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berikutnya.
Selain itu, cooperative learning merupakan lingkungan belajar di mana siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang heterogen maupun homogen untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Siswa melakukan interaksi sosial untuk mempelajari materi yang diberikan kepadanya, dan bertanggung jawab untuk menjelaskan kepada anggota kelompoknya. Jadi, siswa dilatih untuk berani berinteraksi dengan teman-temannya.
Keseluruhan aspek kooperatif yang dilakukan siswa selama pembelajaran yang berorientasi kooperatif merupakan bagian dari pendidikan akhlak atau moral kepada peserta didik. Dan apabila keterampilan-keterampilan kooperatif terus dilatihkan kepada siswa Selama pembelajaran maka cermin siswa yang berakhlak mulia yang ditunjukkan dengan sikap-sikap positif dapat tercapai
Mengulang Pelajaran Secara Kooperatif
Satu hari sebelum ujian. Para siswa membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengulang pelajaran. Secara bergantian mereka mengajukan pertanyaan kepada kelompok lain. Kelompok yang bisa menjawab pertanyaan mendapat poin untuk pertanya tersebut. Kelompok yang dipanggil pertama kali mendapatkan poin untuk jawaban yang benar. Lalu kelompok kedua me patkan poin apabila bisa menambahkan informasi penting kepada jawaban tersebut.
Dalam vasriasi terhadap mengulangi pelajaran secara kooperatif, guru bisa membuat pertanyaan tambahan. Variasi mengkombinasikan Menomori Orang Bersama dengan mengulang pelajaran secara kooperatif. Yaitu, apabila guru atau siswa menanyakan pertanyaan ulangan, para siswa terlebih dahulu mendiskusikan jawaban mereka bersama teman mereka. Setelah “rembuk bersama" yang singkat ini, sebuah nomor dipanggil : 1, 2, 3, atau 4. Siswa yang memiliki nomor yang dipanggil punya kesempatan untuk maju dengan jawaban yang benar. Nomor kedua dipanggil setelah diperoleh jawaban yang benar, dan siswa lainnya dapat mengumpulkan poin untuk timnya dengan menambahkan informasi pada jawaban benar awal. Bila guru merasa masih ada informasi penting yang harus disebutkan, nomor ketiga boleh dipanggil, dan seterusnya.
Berpikir-Berpasangan-Berbagi
Metode sederhana tetapi sangat bermanfaat dikembangkan oleh Frank Lyman dari University of Maryland. Ketika guru menyam-paikan pelajaran kepada kelas, para siswa duduk berpasangan dengan timnya masing-masing. Guru memberikan pertanyaan kepada kelas. Siswa diminta untuk memikirkan sebuah jawaban dari mereka sendiri, lalu berpasangan dengan pasangannya untuk mencapai sebuah kesepakatan terhadap jawaban. Akhirnya, guru meminta para siswa untuk berbagi jawaban yang telah mereka sepakati dengan seluruh kelas. Untuk informasi lebih lanjut me-ngenai Berpikir-Berpasangan-Berbagi, lihat Lyman (1981).
Manajemen Kelas Kooperatif
Kebanyakan kelas pembelajaran kooperatif berperilaku baik, karena Para siswa termotivasi untuk belajar dan terlibat secara aktif alarn kegiatan-kegiatan pembelajaran. Akan tetapi, banyak guru yang mungkin ingin melakukan langkah-langkah tambahan untuk memastikan bahwa para siswa akan menggunakan waktu kelas kelas dengan efektif dan mengarahkan energi mereka ke arah kegiatan-yang produktif. Bagian ini menggambarkan metode manajemen kelas yang diadaptasi dari Kagan (1992).
Teori : Penghargaan Positif Berdasarkan Kelompok
Pendekatan yang paling efektif terhadap manajemen kelas bagi pembelaran kooperatif adalah untuk menciptakan sebuah sistem penghargaan positif yang didasarkan pada kelompok. Guru memberikan perhatian terhadap perilaku kelompok yang diinginkannya di dalam kelas. Dengan segera kelompok lainnya menjadikan kelompok yang menerima perhatian positif dari tersebut sebagai model.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa dalam sebuah penataan kelas secara keseluruhan, apabila guru memberi perhatian kepada perilaku yang tidak diharapkan seperti rneninggalkan tempat duduk atau berbicara, frekuensi terhadap perilaku terse¬but akan menurun. Tidak menjadi masalah apakah perhatian yang diberikan bersifat negatif atau positif. Maksudnya, bahkan apabila guru memarahi siswa dengan keras apabila mereka bangun dari kursinya tanpa permisi, maka siswa lainnya akan membuat diri mereka menjadi seperti siswa yang menerima per¬hatian tersebut.
Jumat, 06 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar