Rabu, 13 Agustus 2008

Cerpen 3

HIKMAH DI HARI KEMENANGAN

Aku ingin seperti sungai yang memberikan kehidupan untuk sekitarnya. Andai aku setegar rumput teki yang selalu bangkit sesudah terinjak. Biarlah aku kecil laksana bunga melati, hingga di akhir nanti harapku kan membawa keharuman hati nan abadi. Dan kelak aku akan menggoreskan kenangan indah di tiap sanubari …

***

Aku masih terlalu muda hingga kupikir aku masih memiliki hidup yang amat panjang. Bisa saja itu benar dan bisa saja hal itu salah. Dan aku akan menceritakan sedikit pengalamanku. Peristiwa ini terjadi sekitar tiga tahun yang lalu tepatnya tanggal 13 November 2004.

“Allahu akbar … Allahu akbar … Allahu akbar …”

Senja telah berakhir dan malam kini menjelang. Langit temaram berangsur memudar dalam warna ungu kehitaman. Sayup-sayup nan jauh di sana terdengar suara bedug bertalu-talu diiringi lantunan indah gema takbir di penghujung Ramadhan.

Ada rasa miris yang menyelinap di hati. Seumur hidup aku tak pernah menyangka akan melewatkan Idul Fitri di rumah sakit. Seperti saat ini, aku masih terbaring lemah lengkap dengan infus yang menggantung dan kanula nasal bertengger di hidung. Bahkan untuk sekedar memiringkan badan aku pun tak bisa. Tepatnya satu minggu ini kondisi fisikku menurun drastis. Mendadak perut sebelah kanan terasa sakit sampai kolik. Ditambah demam, anoreksia dan muntah-muntah yang membuatku membatalkan puasa dengan terpaksa.

Berbagai pemeriksaan dilakukan mulai dari USG, tes laboratorium dan tes urine, akhirnya dokter mendiagnosaku terkena radang usus buntu atau istilah kerennya appendicitis. Keadaan umumku ternyata lebih parah dari yang ku kira dengan terjadinya infiltrate dan riwayat penyakit jantungku yang terdahulu. Awalnya aku berharap tidak perlu melalui tahap operasi. Namun rupanya mau tak mau tetap saja perlu dilakukan laparotomi. Dan dokter menegaskan hanya memberiku batas waktu dua hari. Selebihnya appendiksku bisa pecah sewaktu-waktu jika tidak segera diambil. Akibatnya akan sangat buruk bahkan fatal.

Mendengar kata ‘operasi’ saja menyebabkanku merinding, apalagi kalau harus mengalaminya sendiri. Sempat terbersit amarah, kekecewaan dan reaksi penolakan terhadap apa yang terjadi. Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kenapa aku sakit justru menjelang lebaran yang jatuh tepat di hari ulang tahunku. Sungguh kebetulan yang sangat ironis. Menurutku Allah sangat tak adil dengan memberikan hadiah ultah terburuk berupa appendicitis ini. Apalagi di saat bedug mulai bertabuh. But I don’t have any choice.

Post operasi aku sempat kritis dan harus mendekam di Intensive Care Unit (ICU). Berapa lama? Aku tidak tahu! Apa yang tampak olehku cuma kegelapan. Hitam! Itulah yang kurasakan di detik-detik yang menyakitkan. Bercampur dengan ketakutan yang luar biasa. Mata ini terpejam, mulut terkunci rapat, bibir tak dapat berkata dan tubuh demikian kaku. Hanya terdengar isak tangis orang tua yang selalu setia mendampingiku. Satu-satunya yang menandakan aku masih bernyawa tak lain denyut jantungku dalam garis-garis hijau di monitor echodoppler.

Untuk pertama kalinya aku baru tahu kalau kematian sesungguhnya amat dekat dengan kita. Kematian memeluk setiap manusia tanpa mereka sadari. Saat itu aku berpikir bahwa semuanya telah sangat terlambat untuk menyesali. Namun Allah kembali menunjukan segenap kasih sayangNya padaku. Aku akhirnya sadar dan aku seperti mendapat kehidupanku yang kedua. Mungkin Allah memang memberiku kesempatan untuk memperbaiki segala sesuatu yang pernah kulakukan.

Akhirnya kondisiku cukup baik untuk dipindahkan ke ruang perawatan. Meski tetap harus dengan bantuan oksigen untuk bernafas. Dan seperti saat ini, aku cuma bisa memandang iri keluar jendela. Masih lekat dalam memoriku lebaran-lebaran sebelumnya. Biasanya aku ke rumah Eyang dan berkumpul dengan keluarga besar. Beramai-ramai kami dan masyarakat sekitar keliling kampung membawa obor minyak dalam prosesi takbir keliling (tarling). Suka cita kami menggemakan asma Allah. Dan kebersamaan yang ada sungguh begitu kental.

Sekarang aku terbujur layaknya mayat hidup. Kesedihan ini terus bergayut. Esok adalah hari kemenangan untuk seluruh umat muslim di dunia. Sedangkan aku akan melewatkannya di tempat tidur berlaken putih ini. Aku pasti akan merindukan sholat Id berjamaah di Masjid Baitul Mujahidin, acara sungkeman dan tentu saja makan ketupat sayur buatan nenek.

Tapi inilah hidup, apa yang kita inginkan tidak selalu bisa kita dapatkan. Aku pun teringat sebuah pepatah ‘jagalah sehatmu sebelum datang sakitmu’. Rasanya aku perlu merenungkan makna kata-kata tersebut. Sementara gema takbir di luar sana terus berkumandang tiada henti. Dan gelombang kantuk itu perlahan menenggelamkanku sampai aku terseret dalam tidur yang gelisah …

***

Usai fajar menyingsing aku harus rela ditinggal sendirian di kamar ini. Sebenarnya Mama telah menawarkan diri untuk terus menjagaku. Tapi masak aku setega itu, cukup aku saja yang tak bisa sholat Id.

“Udah selesai ya, Ma?” tanyaku menyambut kedatangannya.

“Iya, tadi Mama dan Papa sholat Idnya di alun-alun kota dekat sini. Lumayan ramai juga,” sahut wanita paruh baya itu memasukkan bungkusan mukenah ke dalam lemari, “Papa lagi keluar, katanya mau beli ketupat sayur buat kamu.”

Aku terdiam. Ada sedikit rasa bersalah di benakku. Tak seharusnya aku merepotkan orang tuaku. Kenyataannya kebahagiaan mereka ikut terenggut karena aku, “Ma, maafin aku ya,” cetusku dengan pandangan menerawang jauh.

Mama tertegun, “Lho kok ngomongnya gitu, Sayang?”

“Kalau aku nggak sakit, Mama dan Papa tentu nggak perlu ngerayain lebaran di rumah sakit. Ya kayak gini nih.”

Mama hanya tersenyum dan menghampiriku, “Mama ngerti perasaan kamu. Bagaimanapun juga ini adalah cobaan dan kita harus bersyukur,” ucapnya lembut.

Aku menoleh bingung, “Bersyukur? Nggak salah nih?” tandasku agak sinis. Bagiku hari ini tak lebih dari bencana. Sungguh tidak masuk akal!

“Sayang, Allah memberi kita cobaan karena Dia menyayangi kita. Coba deh kamu pikir, karena kamu sakit pasti kamu jadi ingat Allah, ya kan?”

Aku mengangguk tanpa bersuara.

“Banyak hal yang bisa disyukuri. Saat kita membuka mata, itu artinya kita masih berhak untuk hidup.”

Aku mendesah berat. Meski sulit bagiku untuk mengakui, kurasa apa yang Mama katakan ada benarnya juga. Allah telah menyelamatkanku dari jurang maut. Kalau merunut ke belakang, sebenarnya selama ini rahmat, hidayah dan karunia Allah selalu melimpah untukku. Hanya saja mataku tertutup. Padahal di balik apa yang menimpaku ada nikmat Allah yang tak terhingga. Dan aku mengabaikan hal sepenting itu. Bagaimana bisa? Aku sepertinya lalai. Sekarang aku sungguh rindu akan bernafas. Bernafas sebebas-bebasnya tanpa tergantung alat bantu di tubuhku. Aku rindu ingin berdiri, berjalan atau mungkin sekedar duduk, bukannya terbaring tak berdaya tanpa bisa berbuat apa-apa.

Mama duduk di sebelahku, “Kamu jangan sedih ya, harus sabar,” ujarnya membelai rambutku, “Kamu sakit, alhamdulillah Papa dan Mama ada sedikit rejeki untuk biaya operasi kamu. Alhamdulillah juga Papa dan Mama masih bisa merawat kamu.”

“Ya,” bisikku saat haru itu menyeruak di dada, meninggalkan kabut panas di pelupuk mata.

“Pernah ada tunawisma, tidak punya siapa-siapa dan ditemukan di kolong jembatan dalam keadaan meninggal karena sakit. Atau Hamdan, teman kamu dulu yang anak tukang becak itu. Waktu dia panas tinggi nggak dibawa ke rumah sakit karena nggak ada biaya. Akhirnya dia lumpuh kan?”

Aku kembali membisu. Sesak!

Aku harusnya sadar kalau aku bisa menjumpai Idul Fitri kali ini sungguh anugrah yang tak terhingga. Meski tidak sesempurna yang aku bayangkan. Belum tentu juga tahun depan aku masih ada di dunia, di hari kemenangan yang sama.

“Kamu ngerti kan yang Mama omongin?”

“He-em,” isakku dan kuulurkan kedua lenganku untuk memeluk Mama, “I love you so much, Mom.”

“Mama juga sayang kamu,” balasnya mendekapku erat-erat, “Tau nggak, kalau kamu adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidup Mama dan nggak akan tergantikan dengan apapun.”

Aku tak meragukannya sedikit pun!

Cukuplah satu yang menjadi tujuan hidup ini, mencari amal dan ridho Allah sebanyak-banyaknya agar di penghujung umur mendapat khusnul khotimah dan kebahagiaan dunia akherat. Kenapa sesuatu yang sangat penting seperti itu bisa luput dari perhatianku?

Aku pernah mendengar bahwa satu amalan, pahalanya akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat. Sedangkan satu dosa akan dipikul sebagaimana adanya. Lalu kenapa tidak sedikit orang yang masuk neraka? Itu menandakan di antara manusia lebih banyak melakukan dosa dibandingkan berbuat kebaikan. Sekarang tak perlu ada yang disesali, tak ada yang perlu ditangisi, hanya perlu menghadapi semuanya dengan senyum dan tawa …

Karya : Sri Sugiarti

Tidak ada komentar: