Rabu, 13 Agustus 2008

Cerpen 2

Pupus

Senja telah lewat. Langit tidak lagi kemerahan namun meninggalkan bias ungu lembayung. Sore yang semula hangat beranjak dalam udara sejuk. Dari jendela kamarku yang masih sedikit terbuka berhembus angin lembut dan menebarkan aroma wangi melati yang sengaja ditanam Mama di luar sana.

“Agustus yang berangin,” desahku membuka Laptop siap dengan segunung tugas makalah. Berat! Tapi beginilah nasib orang kuliahan. Ya masih untung aku tak perlu repot-repot kost seperti mahasiswa lainnya yang datang dari luar kota.

Aku mulai mengetik dengan kata Endometriosis sebagai judulnya. Sebuah kata yang membutuhkan banyak pemahaman dan literature. Bukan hanya dalam buku Ginekologi maupun Kapita Selekta Kedokteran, tapi membuatku terpaksa harus mengakses internet juga. Dua halaman berhasil kuselesaikan ketika suara ketukan pintu itu mengganggu.

Aku menengok hingga tampak Mama yang menjulurkan kepalanya ke dalam, “Sibuk ya, Sayang.”

“He-em,” gumamku kembali beralih ke tugasku. Terdengar suara langkah Mama yang mendekat.

“Ada temen kamu tuh,” Mama mendudukan diri di kasur.

“Siapa, Ma? Andi ya?” Andi yang kumaksud adalah teman dekatku yang menurutku saat ini sedang PDKT. Yah kalau boleh jujur, aku pun sudah mulai ada rasa pada cowok itu. Tapi apa daya, Andi harus melanjutkan studi S1nya di Jogja dan cuma pulang sebulan sekali.

“Bukan,” sahut Mama yang sekarang cukup akrab dengan manusia yang satu itu.

“Terus siapa dong?”

“Nggak tau. Mama kayaknya belum pernah lihat dia sebelumnya.”

“Oooh,” aku mengangguk sembari menyelesaikan beberapa kalimat, mensave data, exit dan menekan tombol turn off sebelum beranjak menuju ruang tamu. Sekilas aku melihat seorang laki-laki dengan kaos biru dan jeans usang. Wajahnya sedikit tertutup rambut ikal yang cukup panjang untuk ukuran cowok.

“Halo!” sapaku membuat dia berpaling. Selama beberapa menit aku hanya bisa memandanginya dengan penuh tanda tanya. Sosok jangkung berkulit putih, wajah jerawatan, bibir agak hitam yang menandakan dia pecandu rokok berat dan yang paling menarik perhatianku adalah sebuah anting di telinga kirinya.

Aku langsung mengernyit, ‘Makhluk dari planet mana nih? Memangnya aku kenal dia? Siapa ya?’ gumamku dalam hati. Jujur aku tak pernah suka cowok bergaya punk. Aku sudah akan menanyakan identitas orang tak dikenal itu ketika dia mengulurkan tangan. Dan aku menjabat bersamaan saat dia menyebutkan sebuah nama.

“Perkenalkan, aku Dimas!”

Aku nyaris tersedak, setengah berharap telah salah dengar. Antara kaget, shock dan tak percaya, “Ehm Di—Dimas yang mana ya?” aku gelapan pura-pura amnesia. Dan sesuatu yang kutakutkan pun terjadi.

“Aku Dimas temen kamu waktu SMP,” ujarnya menebarkan senyum yang entah kenapa membuatku jijik sekaligus merinding, “Masa sih kamu lupa?”

Aku cuma meringis dan kembali mempersilakannya duduk.

Mana mungkin aku bisa lupa. Dimas kan first love ku. Tapi kok kenapa sekarang dia kelihatan ancur banget. Baik dari fisik juga penampilannya. Aku jadi ngeri,’ pikirku dan aku sengaja memilih tempat duduk yang agak berjauhan.

Ada apa nih?” tanyaku to the point. Saat ini aku sedang tak ingin basa-basi. Dan aku sungguh sangat tidak suka dengan kunjungan ini. Mungkin karena beban makalahku yang belum kelar atau mungkin juga karena aku tak ingin bertemu Dimas beserta segala perubahan yang terjadi pada dirinya.

“Pingin main aja. Mudah-mudahan aku ganggu kamu.”

“OH,” hanya itu yang terlontar dari mulutku. Aku duduk gelisah di tempatku. Tidak tahu harus bicara apa dan aku benar-benar ingin cowok itu segera enyah dari hadapanku. Banyak alasan yang membuatku tidak menyukainya bahkan membencinya.

Memangnya kamu selama ini kemana aja? Kenapa sekarang baru muncul? Dan di saat yang sangat amat tidak aku harapkan,’ batinku sebal.

“Hei, kok diem,” tegur Dimas memecah kebisuan.

“Ya, habis aku bingung mau ngomong apa. Lagian mana aku tahu kalau kamu sudi datang ke rumahku.”

Dimas berdehem mencoba mengacuhkan perkataanku, “Inget nggak waktu dulu kita SMP?”

“Ya,” ucapku dalam bisikan. Bagaimana bisa aku melupakannya. Hal menyakitkan dalam hidupku. Dimas adalah kakak kelasku dan sejak aku duduk di kelas 7 aku naksir atau lebih tepatnya aku jatuh cinta padanya. Dimas yang saat itu adalah salah satu idola di sekolah. Dimas yang lumayan jadi incaran cewek-cewek mulai dari yang tajir, cantik sampai yang berdarah biru dengan gelar ‘Raden Roro’. Sedangkan aku bertampang pas-pasan dan dari keluarga biasa. Mungkin yang bisa kubanggakan cuma prestasi akademikku yang selalu berada dalam peringkat 3 besar. Tapi Dimas pun tak pernah memandangku meski dia tahu perasaanku ke dia. Dan sekarang aku tak habis pikir kenapa dulu aku bisa suka dia ya? Apa sih yang aku lihat dari dia? Kurasa istilah ‘cinta itu buta’ sungguh berlaku bagiku.

“Kok kamu nggak pernah ke rumahku lagi?”

Aku menoleh merasakan percikan api di hatiku, “Bukannya waktu aku main ke rumah kamu, malah kamunya nggak mau nemuin aku? Jadi untuk apa aku mempermalukan diriku sendiri untuk kedua kalinya?”

Dimas membisu dengan wajah bersalah, “Soal itu aku minta maaf ya.”

“Udah aku maafin kok dan kamu juga nggak perlu kasih penjelasan apa-apa. Kamu kan bukan siapa-siapa aku.”

Aku memang telah memaafkan cowok itu tapi aku selalu ingat apa yang pernah dia lakukan padaku. Rasanya baru kemarin peristiwa itu terjadi. Satu minggu Dimas absen karena sakit. Dan sebagai orang yang menyayangi Dimas, aku pun mencemaskannya apalagi kata teman sekelasnya Dimas terkena Demam Berdarah. Siang itu, sepulang sekolah aku dan sahabatku memutuskan untuk menjenguknya. Kubongkar tabunganku demi membeli buah, roti dan susu yang kiranya pantas dibawa untuk mengunjungi orang sakit. Aku rela berjalan dari sekolah sampai rumah Dimas yang berjarak 4 Km karena kehabisan ongkos untuk naik angkot. Bahkan seragamku sampai basah kehujanan. Semua itu kulakukan agar bisa bertemu Dimas. Aku ingin memastikan keadaannya baik-baik saja. Tapi apa yang aku dapatkan? Dimas sama sekali tak mau menemuiku. Ia tak menghargai jerih payahku sedikitpun.

Pernah suatu ketika aku ingin memberikan hadiah untuk Dimas di hari ulang tahunnya. Berbulan-bulan aku mengumpulkan uang sakuku, berharap bisa mempersembahkan sesuatu yang istimewa untuk orang yang istimewa pula. Dan dia menolak mentah-mentah pemberianku.

Apa yang terjadi bukanlah sepenuhnya salahku. Aku jatuh cinta pada Dimas juga bukan tanpa sebab. Awalnya Dimas yang mulai mendekatiku dan sebagai comblang tak lain adalah sahabatku. Berbagai upaya Dimas lakukan sampai akhirnya hatiku mencair dan aku merasa beruntung dari sekian banyak cewek yang menyukai Dimas ternyata dia memilihku. Hingga cinta itu perlahan-lahan tumbuh. Tapi asaku pupus. Ketika aku sudah terlanjur menyayanginya, dia justru menjauhiku tanpa sebab. Dan dia membanggakan dirinya karena berhasil menaklukan cewek sampai begitu banyak yang terobsesi padanya. Ada pula yang hingga depresi.

Pedih merayapiku setiap bertemu Dimas yang memicingkan mata dengan tatapan hina, ataupun melontarkan pandangan seakan aku ini sampah. Tak urung dia pun sering membuang muka begitu melihatku. Setiap malam aku menangis bahkan aku sempat menyalahkan Tuhan. Aku menganggap Tuhan sungguh tidak adil karena aku harus menerima kenyataan pahit kalau Dimas mencampakkanku. Puncaknya aku berjanji pada diriku sendiri, suatu saat Dimaslah yang akan mengejar cintaku.

Hari berlalu dan aku bersyukur aku beda SMA dengan Dimas. Namun aku seolah tak bisa lepas begitu saja dari dia. Aku menerima berbagai pesan dari Dimas lewat teman-temannya yang sengaja mendatangi SMAku dan menungguku di gerbang sekolah.

Kamu dapat salam dari Dimas.”

Dia sebenernya suka kamu.”

Dimas pingin ketemu kamu. Katanya kamu disuruh main ke rumahnya.”

Ayah Dimas meninggal, dia butuh kamu.”

Dan perkataan-perkataan semacam itu. Aku tak percaya sedikit pun. Bagiku Dimas tak lebih dari seorang pengecut sekaligus pecundang. Dia pikir dia itu siapa? Seenaknya menyuruhku ke rumahnya. Kalau dia membutuhkanku, kenapa bukan dia yang mendatangiku? Aku masih memiliki harga diri yang harus ku junjung tinggi. Aku tak mau terperosok dalam lubang yang sama. Dan kini aku luar biasa kaget Dimas ternyata punya nyali juga untuk menemuiku. Tapi menurutku, dia sungguh tak tahu malu.

“Hei, kok bengong!” tegur Dimas membuyarkan lamunanku, “Lagi mikirin apa?”

“Nggak! Bukan apa-apa.”

“Aku dengar kamu habis operasi ya?”

“Ya, sempat kritis juga,” kulihat raut terkejut dimuka cowok itu, “Kamu nggak tahu kan?”

Dimas tertunduk, “Sori. Aku khawatir sama kamu.”

Basi banget! Menurutku hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut, “Aku nggak ngerti permainan cinta kamu baik dulu maupun yang kamu lakukan sekarang. Jadi kamu nggak usah sok perhatian. Aku nggak bakal tertipu lagi dan jangan harap aku simpati ke kamu,” tegasku dalam nada getir.

“Von, aku sayang kamu.”

Pernyataan itu tidak mengagetkan tapi tetap saja membuatku menahan nafas, “Yang aku tahu, kamu cuma mainin aku. Ya kan? Selama ini aku tulus dan kamu manfaatin aku demi gelar player. ”

“Aku akui kalau aku salah, tapi sekarang aku cinta kamu.”

“Sejak kapan?” tandasku mengangkat kepala. Aku berusaha agar suaraku tidak meninggi dan itu tidaklah mudah, “Sejak aku masuk SMA favorit atau sejak aku diterima di fakultas kedokteran?”

Dimas tersentak dan memandangku dengan begitu terpukul.

“Aku kenal betul siapa kamu. Kamu memilih pacar yang bisa meningkatkan gengsi kamu kan? Seperti kamu yang ninggalin aku demi anak anggota DPRD yang model itu.”

“Tapi aku sudah sadar, Von. Aku coba cari tahu segala sesuatunya tentang kamu. Masak kamu nggak mau kasih aku kesempatan kedua? Aku yakin kamu juga masih suka aku kan?”

“Ih, PD banget sih kamu,” aku bergidik. Entah kenapa aku justru merasa semakin muak.

Dimas meraih tanganku tepat ketika seorang cowok muncul di ambang pintu yang terbuka. Aku terbelalak dan aku bagai menemukan cahaya di tengah gelapku. Andi!

Refleks aku bangkit dan menghampiri Andi yang membawa mawar merah kesukaanku, “Sori Dimas kalau aku ngecewain kamu, tapi ini Andi pacarku.”

Andi bengong dengan kedua alis bertaut. Aku langsung mengedipkan mataku dan pasang senyum semanis mungkin. Isyarat kecil itu membuat Andi mengerti dan di luar dugaan, dia mendaratkan kecupan lembut di pipiku.

“Aku kangen kamu,” katanya seakan di situ tidak ada orang lain. Aku tak sempat memperhatikan reaksi Dimas. Aku terlalu sibuk dalam usaha meredam degup jantungku yang berpacu lebih cepat dari akal sehatku. Meski ini hanya sandiwara, tapi aku merasa demikian melayang.

“Begitu?” Dimas beranjak dengan air muka sama keruhnya dengan selokan di depan rumahku. Dan dia berlalu begitu saja dalam amarah tertahan. Aku tak mempedulikannya dan tatapanku beradu dengan mata elang Andi.

“Ehm—soal tadi—aku minta maaf—aku nggak bermaksud—” gagapku salah tingkah. Kurasakan wajahku memanas. Aku takut Andi mendengar meriam di hatiku yang meledak-ledak. Bagaimanapun aku tak ingin persahabatanku dengan Andi porak poranda karena masalah ini.

“Tapi aku memang bermaksud begitu.”

Aku mengernyit bingung, “Aku nggak ngerti.”

Andi tertawa pelan, “Awalnya aku datang mau bilang kalau aku sayang kamu. Eh—malah kamu nembak aku duluan,” dan dia menyerahkan mawar itu.

Kepalaku rasanya semakin berputar. Cukup lama bagiku untuk bisa mencerna kata-kata yang diucapkan Andi. Cintaku bersambut dan aku mengiyakan dengan suka cita. Aku pun memahami Tuhan memang memberikan yang terbaik untuk umatNya. Untuk pertama kali aku sangat bersyukur cintaku terhadap Dimas bertepuk sebelah tangan. Dan Tuhan memberiku pengganti yang jauh lebih baik yaitu Andi …

Karya : Sri Sugiarti

Tidak ada komentar: